Sementara di film India, bukan hanya polisi yang antagonis, polisi telat datang, bahkan polisi konyolpun ada. Lebih sadis lagi, polisi sudah konyol bahkan cenderung absurd seperti di cerita animasi anak anak, Shiva juga biasa saja. Tentu saja ada sosok inspektur vijay yang keren sebagai polisi di film film India.
Pertanyaannya: apakah dalam kenyataannya tidak ada kejahatan dan kesalahan oknum kepolisian di Indonesia? Sepertinya banyak dan itu bukan rahasia lagi. Kasus salah tangkap, kasus penganiyaan seperti dalam film Karnan itu tadi. Kasus salah tangkap disertai penganiayaan juga ada bahkan sampai kasus pembunuhan yang melibatkan oknum kepolisian dengan mengatasnamakan kepolisian. sebutlah nama nama Sengon Karta, Salim Kancil, Herman, dll yang cukup ikonik untuk diingat sebagai ketidakprofesionalan polisi. Atau kasus kasus pungli di jalanan yang kemudian terekam kamera.
jadi kalau difilmkan, ini bukan masalah kurangnya inspirasi sebuah film untuk menunjukkan kenyataan, tapi ada hal lain sebagai nilai yang ingin diperjuangkan. kewibawaan institusi kepolisian. Sayangnya ada nilai moral lain yang dikorbankan. kejujuran. Kebiasaan menjaga kehormatan semacam ini, malah justru melahirkan kemunafikan.
Kalau kita melihat di film film Indonesia, sosok sosok pejabat yang bisa jadi sosok antagonis sudah ada, misalnya wakil rakyat, bahkan ada parodinya, kepala daerah atau stafnya hingga muncul film film kritik sosial yang mengkritik kekuasaan seperti film Alangkah Lucunya Negeri Ini. Tapi tentang kepolisian sepertinya nihil yak....
Memang akan menjadi pertanyaan, beranikah ada yang mengangkat film sebagai sebuah film seperti baru baru ini The Oost di Belanda yang  menceritakan tentang kekejaman Westerling di Indonesia, atau mengangkat tokoh tokoh perjuangan seperti Munir atau Marsinah yang de facto semua kasusnya menggantung di Indonesia.
Masalahnya memang bukan hanya sekedar di harga diri dan kewibawaan sebuah bangsa yang bisa menutupi aib. Tetapi bukankah jauh lebih tidak berharga sebuah bangsa yang kehilangan keberanian untuk menerima kenyataan dan mengakuinya? Kita menjadi sangat munafik dengan mengutuki kekejaman bangsa lain misalnya Nazi Jerman terhadap etnis Yahudi, Myanmar terhadap Rohingya, China terhadap Uighur, ataupun Israel terhadap Palestina.
Sementara di depan mata kita, kita seakan menutup mata terhadap warga syiah yang sampai saat ini masih terusir dari rumahnya dan jadi pengungsi di rumah singgah, kita secara politis sangat diskriminatif terhadap orang orang yang dicap keturunan PKI, kita tutup mata terhadap mereka yang hilang karena diculik oleh aparat yang menjalankan tugas. Kita meneriakkan keadilan dengan menutup mata terhadap ketidakadilan di depan kita. Ya, jujur saja... sangat politis ketika kita melihat misalnya terbunuhnya 6 laskar FPI di mobil yang dikuasai oleh polisi.
Bahkan, sebegitu gilanya dan munafiknya sebuah institusi kalau sampai kemudian UU ITE digunakan untuk menjerat mereka yang berusaha merekam dan memviralkan polisi yang kedapatan sedang melakukan pungli.
Saya akan mengakhiri tulisan ini dengan sebuah cerita, bukan dari film India, tapi mirip dengan kisah Karnan... sama sama terinspirasi dari kisah nyata...
Adalah Salim kancil, seorang yang tidak berpendidikan dan seorang petani desa biasa. Meskipun tidak berpendidikan, dia menyadari bahwa kegiatan penambangan pasir pantai oleh perusahaan sangat merusak lingkungan.
Ia kemudian bersama sekelompok orang yang seide dengannya menyampaikan protes baik kepada pemerintah kota maupun pemerintah desa setempat. Sempat meminta perlindungan kepada aparat kepolisian yang menjamin hidupnya dan kawan kawannya.