Mengambil istilah Soren Kierkegaard, renungan ini barangkali hanya sebuah interupsi di tengah kepadatan situasi pandemi covid-19. Tetapi memang, suatu peristiwa tidak melulu sekedar peristiwa. Manusia, sebagai makhluk pemakna, memiliki kesempatan untuk memberi makna pada setiap peristiwa, termasuk peritiwa pandemi ini. Situasi sekarang, mengajak umat Kristiani pada khususnya dan semuanya saja, untuk lebih menjernihkan makna iman di tengah pergumulan hidup manusia.
Dalam tradisi Kristen, Paskah adalah puncak peristiwa iman. Bagi saya yang menarik ketika mendengar bacaan Kitab Suci adalah ketika cerita disampaikan dengan begitu jujur, seakan akan benar benar bercerita, tanpa bermaksud untuk melebih lebihkan atau menutup nutupi peristiwa kesengsaraan seorang manusia Yesus.Â
Yesus benar benar seperti tidak berdaya, dalam situasi dihina, diludahi, dan ditelanjangi kemanusiaanNya. Dia benar benar dipermalukan. Dan penulis kitab suci yang menceritakan mengambil resiko itu, masa iya, Yesus yang memiliki kuasa besar dan mereka imani, sedemikian hina dan tak berdaya. Bahkan ada banyak tantangan yang semacam menantang harga diri dan martabat Yesus, kalau Dia Tuhan, masa tidak mampu berbuat apa apa?
Penulis injil Markus, menceritakan  bahwa pada peristiwa sengsara itu, orang-orang yang lewat di sana menghujat Dia, dan sambil menggelengkan kepala mereka berkata: "Hai Engkau yang mau merubuhkan Bait Suci dan mau membangunnya kembali dalam tiga hari, turunlah dari salib itu dan selamatkan diri-Mu!" Demikian juga imam-imam kepala bersama-sama ahli Taurat mengolok-olokkan Dia di antara mereka sendiri dan mereka berkata: "Orang lain Ia selamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan!" (Mark. 15:29-31)
Atau ketika dua orang penjahat yang disalibkan bersama Yesus sebagaimana diceritakan oleh Lukas , salah satunya berkata, "Bukankah Engkau adalah Almasih? Selamatkanlah diri-Mu dan kami!" (Luk. 23:39)
Demikian halnya para murid Yesus, dengan harap harap cemas mereka mau melihat hal besar apa yang dibuat olehNya. Banyak ahli tafsir kontemporer yang melihat bahwa Yudas, misalnya, bukanlah pengkhianat-pengkhianat amat. Dia adalah salah satu murid Yesus yang punya motif politis, motif pembebasan, yang secara garis keras menginginkan Yesus melepaskan bangsa Israel dari penjajahan Romawi.Â
Motifnya menyerahkan Yesus adalah mau melihat hal besar apa atau bagaimana caranya Yesus akan membuat sesuatu yang menegaskan eksistensinya sebagai seorang mesias. Apakah Yesus akan menjadi seorang panglima perang yang akan melawan orang orang Romawi dan imam imam kepala yang bersekongkol dengan mereka? Kalau seandainya Yudas menyerahkan Yesus dengan motif uang semata, tentu dia akan pergi dan menikmati uangnya. Nyatanya, dia malah bunuh diri.
Yudas bukan satu satunya yang punya motif politis untuk mengikuti Yesus. Mesianisme Yahudi, waktu itu adalah mesianisme politik. Dan politik yahudi memang teosensentris. Dalam arti, ada hubungan tak terpisahkan antara politik dengan religiusitas.Â
Penjajahan terhadap mereka sebagai sebuah bangsa, maka dilihat sebagai pelecehan terhadap Allah. Atau ada juga pandangan bahwa itulah cara Allah bertindak atas diri mereka yang telah tidak setia. Mereka terhukum.Â
Dan karenanya, mereka menantikan mesias politik sebagai wakil Allah yang akan membebaskan mereka dari penjajahan itu. Wajar  bila kemudian banyak kontroversi berkaitan dengan gerakanNya. Murid murid Yesus yang lain juga tidak lebih baik dari Yudas dalam hal ini. Mereka juga membayangkan bahwa Yesus akan menjadi seorang raja. Mesias secara politik.
Lukas, dalam kisah perjalanan ke Emaus tentang dua orang murid Yesus yang patah hati, segera setelah peristiwa kematian Yesus, mengatakan, "Apa yang terjadi dengan Yesus orang Nazaret. Dia adalah seorang nabi, yang berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan di hadapan Allah dan di depan seluruh bangsa kami. Tetapi imam-imam kepala dan pemimpin-pemimpin kami telah menyerahkan Dia untuk dihukum mati dan mereka telah menyalibkan-Nya. Padahal kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel..."
Bahkan nanti, setelah peristiwa kebangkitan Yesus, menjelang naiknya Yesus ke surga, para murid Yesus masih juga melihat mesianisme Yesus ini mesianisme politik. Kata mereka, "Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?"
Yesus mengecewakan mereka. Para pengikut dan juga para pengagumnya. Nyatanya Dia menerima jalan lain, jalan penderitaan, dan tidak ada satupun ciri ciri Dia sebagai seorang mesias. Dia Menyerahkan diri ketika ditangkap, menjalani penderitaan dan mati. Penderitaan inilah yang sulit dipahami oleh para murid Yesus kalau memang Dia adalah Almasih. Bagaimana mungkin Allah membiarkan manusia pilihanNya ini mati dengan begitu sengsara dan hina?
Penderitaan Yesus bukan hanya penderitaan fisik. Bahwa dia disiksa, iya. Tapi juga Dia ditinggalkan oleh murid muridNya. Murid murid yang bersama mereka Dia hidup. Juga ketika Dia melihat orang orang yang dikasihiNya, ibunya, sadara saudaraNya, wanita wanita Yerusalem yang mengikutiNya, dll. Bahkan termasuk orang yang dikasihiNya itu adalah orang orang yang memperlakukan Dia secara kejam. Dia seperti tidak berdaya menghadapi itu semua, dan hanya bisa mengatakan, "Ya Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan!"
Secara psikologis jelas hal semacam ini tidak mudah. Dan puncak penderitaanNya adalah dalam kesepian yang total menjelang kematianNya, hingga teriakannya begitu nyaring hingga saat ini, "Eloi Eloi lama Sabakhtani..."
Dalam teologi Kristen, Dia dengan sadar sebagai seorang manusia menerima 'tugas' tersebut untuk menggenapi nubuat Kitab Suci. sebagai anak domba yang kelu di pembantaian. Untuk memahami tentang anak domba ini, butuh uraian panjang tersendiri.Â
Tetapi umumnya hal itu untuk menggenapi nubuat Yesaya, "seperti banyak orang akan tertegun melihat dia--begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi, dan tampaknya bukan seperti anak manusia lagi--demikianlah ia akan membuat tercengang banyak bangsa, raja-raja akan mengatupkan mulutnya melihat dia; sebab apa yang tidak diceritakan kepada mereka akan mereka lihat, dan apa yang tidak mereka dengar akan mereka pahami."
Penderitaan Manusia Yesus, Solidaritas Allah
Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, menuliskan refleksi imannya yang kemudian menjadi kata kunci teologi solidaritas Allah kepada manusia ini, "yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib."
Refleksi iman semacam ini, muncul dari sebuah pemaknaan atas peristiwa Yesus yang menderita. Dia yang seharusnya bisa melakukan apa saja dengan kekuasaan yang ada padanya seperti tampak pada saat Dia berkarya, harus menempuh jalan penderitaan. Hal ini, dan memahami peristiwa ini hanya bisa dilihat dalam refleksi iman umat Israel waktu itu.Â
Penulis surat kepada jemaat Ibrani, membuka suratnya begini: Â Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.
Artinya, melalui Yesus Allah mau menyampaikan pesan kepada umat manusia. Salah satunya tentang solidaritas. Solidaritas Allah atas penderitaan manusia, atas kesulitan hidup manusia, atas pergumulan manusia dan kemanusiaanNya.Â
Kalau dalam kotbah kotbah saya sering mengatakan begini: jangan kita merasa menderita sendirian, bukan hanya orang orang lain memiliki masalah dan pergumulan yang sama, bahkan lebih berat dari penderitaan kita, bahkan Allahpun pernah merasakan penderitaan kita. Penderitaan fisik, penderitaan psikologis, maupun penderitaan religius. Juga solidaritas Allah atas pergumulan manusia untuk bekerja, untuk berfikir, untuk berusaha hidup suci.
Apa yang mau dikatakan: bahwa penderitaan kita saat ini, pergumulan kita saat ini, termasuk situasi pandemi, adalah juga apa yang dirasakan dan pernah dirasakan Allah. Allah tidak semata mata menjatuhkan hukuman atas keserakahan manusia, tapi tentu juga sedih atas itu semua. sekaligus pada saat yang sama, kalau Allah yang diimani saja solider kepada pergumulan manusia, semestinya orang atau manusia yang mengimaninya juga punya solidaritas yang sama pada sesamanya.Â
Masalah global saat ini bukan hanya pandemi, tapi pandemi covid-19 menegaskan tuntutan kehidupan untuk bisa solider. Solidaritas yang dituntut, melampaui sekat sekat identitas individualisme kita. Covid melintasi batas batas agama, batas batas rasial, batas batas regional, batas batas ekonomi, dll. Semuanya dituntut untuk bisa solider dan saling bergandeng tangan menyelesaikan masalah. tetapi harus diingat bahwa masalahnya bukan hanya pandemi.Â
Ada masalah kemiskinan, pengangguran, pengungsian, kelaparan, ketidakadilan, keserakahan, dll. Banyak orang yang menyadari dan mengalami situasi ketidakpastian, situasi berhadapan dengan bahaya, situasi ketidakberdayaan, dan semoga yang semacam ini menyadarkan mereka, di manapun, bahwa banyak situasi masyarakat yang sudah lebih dahulu mengalami hal serupa. Para pengungsi akibat perang, pengungsi akibat diskriminasi, mereka yang tinggal di negara negara miskin, para pengangguran, dll. Satnya untuk membangun solidaritas.
Mengapa kita harus peduli? pertanyaan etisnya begitu. Martin Heidegger mengatakan manusia hidup dalam situasi yang tidak dia pilih. Kita tidak bisa memilih untuk lahir di mana dalam situasi bagaimana. Dia merumuskan bahwa hidup adalah keterlemparan. Maka, dalam situasi ketidakpastian dan keterlemparan semacam itu, kita harus membangun solidaritas.Â
Kita harus peduli, karena bahkan sewaktu waktu kita akan mengalami hal yang mungkin serupa dengan mereka. Suatu saat kita juga akan membutuhkan kepedulian orang lain. saat kita sakit, saat kita menjadi seorang tua yang manula, saat kita sendirian dan kesepian, dll. Kita menginginkan atau sewaktu waktu kita butuh kepedulian orang lain, maka kitapun dituntut untuk peduli. Moment ini, pandemi menjadi moment yang menyadarkan kita.
Cahaya Pengharapan
Kalau tadi kita bicara Allah yang solider, Allah yang juga merasakan penderitaan manusia, lalu kita bertanya, kalau Allahnya saja menderita, lalu bagaimana dengan kita, yang manusia fana ini? Peristiwa paskah adalah serangkaian utuh, penderitaan, kematian, dan kebangkitan. Ada kata kata menarik dari Yesus tentang hal ini, Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah (Yoh 12:24)
Saya tidak membayangkan bahwa Yesus sebagai manusia yang menjalani kisah sengsara itu sudah membayangkan kebangkitan. Meskipun banyak menubuatkan hal hal tersebut, seperti ketika mengobrak abrik bait Allah yang dijadikan tempat berdagang, Dia mengatakan, "robohkanlah bait Alllah ini, dan dalam tiga hari Aku akan membangunnya kembali."Â
Satu hal yang tampak dalam ketaatanNya pada penyelenggaraan dan perutusanNya adalah pengharapan. Bahwa penderitaan bukan akhir dari segala galanya. Sebaliknya, seperti biji gandum yang mati untuk sebuah kehidupan baru, demikian penderitaan dijalani untuk mewujudkan sebuah harapan kehidupan baru. Paskah, yang dari kata pasca, setelah, terlewati adalah sebuah cahaya pengharapan.
Dalam peristiwa paskah, pembebasan mesianik dipahami secara baru dan lebih universal daripada sekedar pembebasan politik bangsa Israel dari penjajahan Romawi. Dalam perkembangan modern, ada banyak sekali konsep konsep kristologi, permenungan tentang mesianisme secara lebih kontekstual. Maka, mengaitkan peristiwa pandemik ini dengan peristiwa pembebasan mesianik, juga bisa dilihat bahwa pandemi sekarang ini banyak sekali membuka kesadaran baru. Secara ekologis, alam menjadi lebih bersih, polusi berkurang, langit jakarta menjadi lebih biru, lubang ozon mengecil. Secara sosial, memunculkan kesadaran pentingnya menjaga diri, menjaga kesehatan, menjaga persaudaraan dan solidaritas, berlaku adil kepada sesama, dan peduli pada mereka yang membutuhkan. Secara religius, membuka kesadaran baru bahwa beragama tidak semata mata formalitas, kadang harus melampaui itu, ketika kita dituntut untuk beribadah dari rumah.Â
Secara kekeluargaan, kita bisa semakin dekat dengan keluarga, dipaksa oleh alam untuk selalu berkumpul dan bertatap muka dengan mereka. Secara keilmuan, kita dituntut untuk semakin melek dengan teknologi yang semestinya membantu peradaban manusia. Bukan sebaliknya, banyak teknologi yang justru merusak manusia dan kemanusiaan kita.
Mungkin, kita menangis ketika tidak bisa beribadah ke tempat tempat ibadah. Ingatlah, bahwa itu juga yang dirasakan banyak saudara kita yang juga terpaksa tidak bisa beribadah di tempat tempat ibadah. Tidak usah jauh jauh, di Indonesiapun ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H