Bagi penyuka fotografi, makro itu keren dan untuk yang bagus tentu relatif mahal. Meskipun, untuk sebuah hobby sebenarnya ya ga mahal mahal amat.
Tapi untuk yang amatiran dan sekedar senang, ketika harga lensa lebih mahal dari kameranya, ya itu sudah mahal. Apalagi di era booming media sosial ini, fotografi menjadi sangat menarik. Ada trik yang bisa dipelajari, dapat foto keren a la generik dan tidak mahal.
Ada banyak sekali serangga yang bisa dijadikan objek di desa. Di Jakarta barangkali juga ada, namun tidak semelimpah kalau di kampung halaman. Dan untuk mendapatkan foto foto bagus, tentu saja kalau pakai DSLR harus membawa bekal banyak lensa.
Hal ini tentu ribet. Dan selain ribet, alasan utamanya karena ga punya. Hahaha... lensa kit-lah yang jadi andalan. Bisa digunakan dalam segala suasanya sebenarnya.
Termasuk untuk mendapatkan foto-foto makro, atau foto kecil yang detil dan tajam. Hanya saja, yang namanya generic, hasilnya tetap saja generic. Santai saja bisa ditingkatkan hasilnya dengan murah meriah.
Terakhir yang bagi saya sangat terobsesi adalah memotret laba laba yang matanya delapan itu. Jarang ada makhluk hidup yang matanya lebih dari dua, kan? Di Jakarta juga ada sih laba laba, tapi tak semudah di kampung halaman ketika mencoba untuk mengeksplornya.
Lensa kit apakah bisa tajam? Kayaknya bisa deh. Kalau mencoba searching di internet setidaknya ada 3 cara untuk mendapatkan gambar tajam, makro dengan lensa kit.Â
Pertama dengan membalikkan kamera, kedua dengan cara menyambungnya dengan tabung atau extension tube, dan yang ketiga dengan menambahkan filter makro atau close up.
Bagi saya, ketiganya tidak berbeda jauh hasilnya, tapi cukup berbeda kalau hanya menggunakan lensa kit saja. Budget yang dikeluarkan juga ga banyak, kalau itu semua digabungkan untuk beli alatnya ga sampai 200.000,-
Untuk cara memotret makro dengan membalikkan lensa, sepertinya tidak bisa digabungkan dengan dua cara lainnya. Sedangkan menyambung lensa dengan tabung, bisa digabungkan dengan menambahkan filter close up. Hanya saja, untuk cara ini objek harus benar benar tenang. Jaraknya juga lebih dekat, tentu saja hasil pembesarannya akan lebih keren.Â
Saya sendiri hanya memilih salah satunya dan sangat jarang membalikkan lensa. Alasannya sih males saja. Oh ya, saya malas bukan karena masang ringnya untuk membalik atau cara motretnya lebih susah, bukan. Tapi karena waktu mau melepas ring dari kamera kok susah banget.
Kenapa ga pakai smartphone saja yang praktis?
Yup.. memang dengan teknologi digital sekarang ini smartphone menawarkan banyak kemudahan dan hasilnya biasanya bagus banget. Tapi ga tahu ya, saya sendiri bukan penikmat yang instan instan, kecuali kalau kepepet saja atau pas males. Atau memang momennya begitu cepat baru kemudian pakai smartphone maupun smartcamera. Punya sih sony experia yang hasilnya instan tapi kok gimana ya, ga puas gitu rasanya.
Hampir ga pernah mempelajari dan baru sekarang sekarang saja ketika mencoba dan mendapatkan hasilnya yang lebih bervariasi saya menikmati yang manual ini.
Pada mode manual, kita bisa menyesuaikan dengan keadaan cahaya yang ada. Dan di situlah indahnya ketika kamera bisa diatur penyaringan cahayanya. Bandingkan dengan pencahayaan yang otomatis dari kamera, biasanya hasilnya ya gitu gitu saja, cenderung over exposure dan tidak terlalu tajam. Maka,mengatur dengan manual jauh lebih menyenangkan.
Ada sesuatu yang lain, dan di situlah kita bisa lebih melihat banyak keajaiban di bumi ini. Termasuk dari hal hal kecil yang luput dari mata telanjang kita. meskipun untuk mendapatkan gambar tersebut kita sering sering harus mengkropnya, kecuali foto dengan objek besar seperti yang paling bawah itu sedikit sekali kroppingnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H