"Kalau penistaan agama itu seperti kasus Ahok. Berbeda dengan hal itu (pemakaian bahasa Arab). Misal saya jadi warga negara Amerika, terus saya agamanya Islam dan saya meledek agama mayoritas di sana. Nah saya pasti dibilang orang stres," kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Ferry Juliantono. Kalimat tersebut disampaikan kaitannya dengan penggunaan kata juz sebagai kode dalam korupsi antara Kurniawan dan Yudi. Logikanya sederhana, karena penuturnya atau yang menggunakannya adalah orang Islam dan itu termasuk golongan mayoritas, maka itu bukanlah sebuah penistaan. Berbeda seandainya ini yang menggunakan atau memakainya adalah orang Kristen, katakanlah apalagi, Ahok... sudah bisa dipastikan akan ada demo berjilid jilid kalau sampai tidak diusut. MUI segera berkepentingan untuk menyatakan sikap keagamaan. Berbeda kasusnya dengan sekarang, yang menggunakan adalah 'orang dalam' tidak perlulah sikap keagamaan. Pertanyaannya, adilkah cara pandang semacam ini?
Pertanyaan tersebut kemudian mengantar pada pertanyaan lain sebagai pendalaman, keadilan itu mutlak, universal, atau relatif? Kalau keadilan mengacu pada sebuah nilai moral, harus dilihat bahwa nilai moral yang dicari oleh semua orang ini semestinya adalah nilai yang universal, nilai yang mutlak dengan ukuran yang mungkin sulit tapi haruslah jelas. Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Adil diartikan sebagai "1 sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak:-; 2 berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran; 3 sepatutnya; tidak sewenang-wenang."
Maka di situ kelihatan ketika ada dikotomi antara mayoritas dan minoritas, maka pertanyaannya: berat sebelah tidak? memihak tidak? kalau ini pada acuan arti pertama. Paradoks terjadi, ketika keadilan justru berpihak pada yang mayoritas dengan posisi di pihak yang kuat. Mengapa ini paradoks? nanti kita lihat dalam konteks rasional filosofisnya, bahwa namanya keadilan justru harus menguntungkan pihak yang lemah.. pihak yang sulit untuk mengakses keadilan itu. Maka, ungkapan bahwa keadilan berarti ketidakberpihakan dalam arti netral, di sini menjadi tidak lagi netral. Dalam arti ini, keadilan jelas dilanggar.
Berikutnya, adil juga dimaknai sebagai berpihak pada yang benar, berpegang pada kebenaran. Bisa dipertanyakan kembali, apakah cara pandang di atas secara rasional berpihak pada yang benar? Lihatlah bahwa apa yang disampaikan AHok, sesungguhnya juga disampaikan oleh tokoh tokoh lain, terutama dari pihak Islam. Tak kurang, banyak tokoh Islam yang juga bukan orang jahat dan bodoh, berada di pihak yang mendukung Ahok. Bahwa yang disampaikan Ahok itu benar adanya. Buya Syafii Maarif, Quraish Sihab, dll... Sementara sekarang, kasus ketika penggunaan kata juz jadi kode untuk korupsi, jelas ini penistaan yang tidak diperdebatkan lagi. Maka, sebenarnya, adil di sini berpihak pada yang mana?
Lalu dikaitkan dengan pengartian ketiga bahwa adil berarti tidak sewenang wenang, pertanyaannya dengan pernyataan di atas, ketika keadilan ada dalam dikotomi mayoritas minoritas dan lebih menguntungkan pihak minoritas, ada tidak unsur kesewenangwenangan di sini?
Seolah olah, dengan demikian mayoritas lebih punya hak dibandingkan dengan minoritas. Dalam konteks keadilan di sini sudah tidak adil sejak dari akarnya. Dikotomi itu punya konsekwensi yang sebenarnya bertentangan dengan tujuan didirikannya negara ini karena di situ seakan akan mayoritas adalah tuan rumah sedangkan minoritas adalah penumpang yang semata mata tergantung pada kebaikan hati si tuan rumah.
John Rawls, seorang pemikir sosial tentang keadilan membedakan antara prinsip kesamaan (equality) dan prinsip ketidaksamaan (inequality). Secara sederhana, saya memahami prinsip kesamaan itu adalah prinsip kesamaan di depan hukum, misalnya. Di situ tidak ada pembedaan antara mayoritas minoritas, dalam arti kwantitas, tidak ada pembedaan dalam arti gender, tidak ada juga pembedaan dalam arti kwalitas misalnya secara intelektual. Sama, semua kedudukannya sama di depan hukum. Pun demikian, untuk menetapkan sebuah keadilan perlulah kemudian mempertimbangkan asas ketidaksamaan. Yang sebenarnya dipikirkan oleh Rawls kaitannya dengan asas ketidaksamaan ini berkaitan dengan keadaan sosial ekonomi, bisa juga berlaku dalam arti hukum. Di hadapan hukum, siapa saja memang sama kedudukannya, toh demikian juga harus dipertimbangkan bahwa masing masing khas, punya latar belakang yang berbeda beda, sehingga keadilan tidak bisa disamaratakan.
Lebih lanjut, Rawls berpandangan bahwa ketidaksamaan-ketidaksamaan sosial dan ekonomi ditata sedemikian rupa sehingga: (a) paling menguntungkan bagi yang paling tertinggal, dan (b) posisi-posisi dan jabatan-jabatan terbuka bagi semua di bawah syarat kesamaan kesempatan yang fair. Dalam kasus hukum dan sosial saya menerjemahkannya bahwa hukum setidaknya menguntungkan dia yang dalam posisi sulit mendapatkan keuntungan dan harus fair. Dalam dikotomi mayoritas minoritas, mana yang lebih rawan ditekan dan mendapatkan ketidakberuntungan? Dalam arti tertentu, jumlah yang banyak jelas menguntungkan dan memberikan ketidakuntungan bagi yang jumlahnya sedikit. Apalagi dalam konteks demokrasi.
Saya beri contoh sederhana: Ada lomba lari, di situ siapa saja boleh memenangkan dan mendapatkan hadiah.
Lalu di antara peserta ada yang cacat kakinya, ada yang pelari profesional. Kalau kemudian panitia mengatakan dan tetap ngotot, siapa saja silahkan berlari dan memenangkan perlombaan, kira kira ini adil atau ga? Fair tidak?
Demikian sebenarnya kalau dalam demokrasi menggunakan politik identitas antara mayoritas dan minoritas, pertanyaannya adil tidak? fair tidak?
Meskipun wajar dan normal, kalau politik identitas dikedepankan sangat jauh dari fair.
Politik identitas dalam kaitan dikotomi antara mayoritas dan minoritas bukanlah yang dicitacitakan oleh para pendiri bangsa ini. Apa yang terjadi pada era era krusial, terbentuknya negeri ini sesungguhnya ingin mengakomodir bahwa kita adalah satu, kita adalah tuan rumah semua. Itulah sebabnya, dalam pembentukan BPUPKI misalnya tidak ada misalnya pertimbangan mayoritas dan minoritas, mana yang jumlahnya sedikit dengan yang jumlahnya banyak. Bagaimana proses penghapusan 7 kata dalam piagam Jakarta memperlihatkan hal tersebut dengan terang.
Marilah kita bicara tentang bagaimana geopolitik indonesia. Ketika berbicara tentang sila nasionalisme, sila yang sekarang menjadi sila ketiga persatuan Indonesia paling tidak dibahas apa dan bagaimana persatuan dan kesatuan yang dimaksud: pertama siapa bangsa indonesia itu, kedua menyangkut wilayah indonesia mana saja yang terikat, dan yang ketiga komponen apa saja yang mengikat keindonesiaan?
Muhammad Yamin secara implisit menyinggung soal persatuan nasional ini dalam kaitan dengan apa yang disebutnya sebagai “E’tat nation, nationale state, negara kebangsaan”, yang mensyaratkan “kedaulatan ke dalam dan kedaulatan keluar”. “Kedaulatan ke dalam: memberi perlindungan dan pengawasan pada putra negeri. Kedaulatan ke luar: kesempatan luas mengatur pertaliannya dengan negara lain”.
Sosrodinigrat mengatakan, “Berani merdeka berarti berani mempertahankan Indonesia, dan ini berarti berani berperang. Buat ini perlu persatuan sekokoh-kokohnya. Persatuan berarti bebas dari rasa perselisihan antara golongan, menyingkirkan diri, dan golongan sendiri, yang dapat tercapai dengan korban”.
Soekarno mendasarkan pembentukan suatu bangsa pertama-tama karena adanya “kesamaan riwayat (nasib) dan kehendak untuk bersatu”. Tapi juga tempatnya, inilah kemudian geopolitiknya. Hal ini mengacu pada pemikiran Renan dan Bauer.
Lalu pada tanggal 10 dan 11 Juli 1945 sebelum proklamasi, didiskusikan kembali tentang kebangsaan.
Yamin menyetujui A.K. Moezakir yang menyampaikan bagaimana wilayah indonesia pada 10 Juli. Indonesia adalah gabungan antara majapahit dan Sriwijaya. Dia menambahkan bahwa penentuan batas wilayah jangan hanya melihat hukum internasional, tapi juga kemanusiaan dan hukum ilahi. Dia mengatakan, “tidak memberikan sejengkal daerah tumpah darah kita kepada kekuasaan lain, tapi juga tidak menghendaki sejengkal tumpah darah yang bukan kekuasaan kita.”
Di dasarkan pada itu, kemudian usulan wilayah Indonesia menjadi sangat luas mulai dari Sumatra, Malaysia sampai Papua Nugini. Menurutnya, “adalah kebetulan dalam sejarah dunia yang terberkati oleh Allah yang mahakuasa, yaitu seluruh daerah yang kita perbincangkan ini bersatu di dalam tangan bala tentara Nippon…”
Saya tertarik sebenarnya dengan apa yang dipikirkan Hatta. DIa adalah orang yang tidak setuju kalau Papua masuk indonesia. Hatta mengusulkan agar kita menghindari kesan bahwa kita melepaskan diri dari imperialis tapi menjadi imperialis juga. Papua sebaiknya diberikan kemerdekaan sendiri, bisa ditukar dengan Borneo lebih sebangsa. “jangan-jangan kita tidak puas hanya dengan Papua saja, tapi juga Solomon terus ke Laut tengah. Apakah kita bisa mempertahankan wilayah yang begitu luas?” katanya.
Hanya karena Papua pernah menjadi tempat pembuangan para tokoh nasional, lalu Papua masuk wilayah indonesia. Menarik bagi saya, meskipun Hatta tidak menyetujui masuknya Papua sebagai bagian dari Indonesia, toh dia menerima, menghargai, dan konsisten untuk memperjuangkan kesatuan Indonesia. Hal itu terbukti manakala Panitia kecil merumuskan dasar negara dalam pembukaan undang undang yang dikenal dengan Piagam Jakarta, Hatta merasa bahwa rumusan yang mengistimewakan Islam meskipun mayoritas ini bermasalah. Benar saja bahwa kemudian rumusan tersebut mendapatkan protes dari A.A. Maramis dan juga Latuharhary.
Protesnya: kalau sampai rumusannya mengistimewakan agama Islam sebagai mayoritas di Indonesia bagian barat, maka sebaiknya Indonesia timur tidak usah bergabung dengan indonesia. Serius menanggapi hal itu kemudian Hatta memfasilitasi agar rumusan itu direvisi. Dia segera membuat pertemuan dengan tokoh tokoh Islam baik dari kalangan Muhammadiyah maupun NU, dengan golongan nasionalis. Muhammadiyah yang diwakili Bagus hadikusuma yang paling menolak penghapusan 7 kata itu. Sedangkan kyai hasyim Asyari dan juga tokoh tokoh Islam nasionalis sepakat agar Pancasila lebih bersifat universal. Sebab kalau tidak, hal tersebut akan mementahkan kembali apa yang sudah disepakati oleh BPUPKI.
Dalam arti inilah kemudian kita melihat bahwa baik mayoritas maupun minoritas adalah satu keindonesiaan. Tidak ada tuan rumah, tidak ada pula tamu. Hatta jelas jelas melihat bahwa keindonesiaan, kebangsaan, mencoba untuk merangkul semua seadiladilnya. Sayangnya dengan politik identitas sekarang ini, keadilan sosial menjadi jauh panggang dari api. Apa yang dikhawatirkan Hatta terjadi, bahwa indonesia Barat khususnya, merangkul indonesia Timur lebih seperti mentalitas yang sama dengan penjajah ketika menguasai Indonesia. Mereka hanya dieksploitasi dan kini kita mempraktekkan politik balas budi.
Maka, kalau mau mengatakan Indonesia jangan bicara siapa menghargai siapa mayoritas minoritas.... tapi keadilan diberlakukan kepada semua. Masalah harga menghargai jelas, namun juga harus dipikirkan batas batasnya. Sejauh mana hal itu kemudian sejalan dengan asas demokrasi dan kebebasan berpendapat. Bolehlah bahwa orang beragama lain harus tidak boleh mengolokolok yang beda agama dengannya. Tapi, sekali lagi keadilan harus ditegakkan, berlaku untuk semua dan tidak sewenang wenang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H