Protesnya: kalau sampai rumusannya mengistimewakan agama Islam sebagai mayoritas di Indonesia bagian barat, maka sebaiknya Indonesia timur tidak usah bergabung dengan indonesia. Serius menanggapi hal itu kemudian Hatta memfasilitasi agar rumusan itu direvisi. Dia segera membuat pertemuan dengan tokoh tokoh Islam baik dari kalangan Muhammadiyah maupun NU, dengan golongan nasionalis. Muhammadiyah yang diwakili Bagus hadikusuma yang paling menolak penghapusan 7 kata itu. Sedangkan kyai hasyim Asyari dan juga tokoh tokoh Islam nasionalis sepakat agar Pancasila lebih bersifat universal. Sebab kalau tidak, hal tersebut akan mementahkan kembali apa yang sudah disepakati oleh BPUPKI.
Dalam arti inilah kemudian kita melihat bahwa baik mayoritas maupun minoritas adalah satu keindonesiaan. Tidak ada tuan rumah, tidak ada pula tamu. Hatta jelas jelas melihat bahwa keindonesiaan, kebangsaan, mencoba untuk merangkul semua seadiladilnya. Sayangnya dengan politik identitas sekarang ini, keadilan sosial menjadi jauh panggang dari api. Apa yang dikhawatirkan Hatta terjadi, bahwa indonesia Barat khususnya, merangkul indonesia Timur lebih seperti mentalitas yang sama dengan penjajah ketika menguasai Indonesia. Mereka hanya dieksploitasi dan kini kita mempraktekkan politik balas budi.
Maka, kalau mau mengatakan Indonesia jangan bicara siapa menghargai siapa mayoritas minoritas.... tapi keadilan diberlakukan kepada semua. Masalah harga menghargai jelas, namun juga harus dipikirkan batas batasnya. Sejauh mana hal itu kemudian sejalan dengan asas demokrasi dan kebebasan berpendapat. Bolehlah bahwa orang beragama lain harus tidak boleh mengolokolok yang beda agama dengannya. Tapi, sekali lagi keadilan harus ditegakkan, berlaku untuk semua dan tidak sewenang wenang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H