Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mayoritas Bukan Tuan Rumah dan Minoritas Bukanlah Penumpang

23 Mei 2017   19:16 Diperbarui: 24 Mei 2017   13:20 1872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demikian sebenarnya kalau dalam demokrasi menggunakan politik identitas antara mayoritas dan minoritas, pertanyaannya adil tidak? fair tidak?

Meskipun wajar dan normal, kalau politik identitas dikedepankan sangat jauh dari fair.

Politik identitas dalam kaitan dikotomi antara mayoritas dan minoritas bukanlah yang dicitacitakan oleh para pendiri bangsa ini. Apa yang terjadi pada era era krusial, terbentuknya negeri ini sesungguhnya ingin mengakomodir bahwa kita adalah satu, kita adalah tuan rumah semua. Itulah sebabnya, dalam pembentukan BPUPKI misalnya tidak ada misalnya pertimbangan mayoritas dan minoritas, mana yang jumlahnya sedikit dengan yang jumlahnya banyak. Bagaimana proses penghapusan 7 kata dalam piagam Jakarta memperlihatkan hal tersebut dengan terang.

Marilah kita bicara tentang bagaimana geopolitik indonesia. Ketika berbicara tentang sila nasionalisme, sila yang sekarang menjadi sila ketiga persatuan Indonesia paling tidak dibahas apa dan bagaimana persatuan dan kesatuan yang dimaksud: pertama siapa bangsa indonesia itu, kedua menyangkut wilayah indonesia mana saja yang terikat, dan yang ketiga komponen apa saja yang mengikat keindonesiaan?

Muhammad Yamin secara implisit menyinggung soal persatuan nasional ini dalam kaitan dengan apa yang disebutnya sebagai “E’tat nation, nationale state, negara kebangsaan”, yang mensyaratkan “kedaulatan ke dalam dan kedaulatan keluar”. “Kedaulatan ke dalam: memberi perlindungan dan pengawasan pada putra negeri. Kedaulatan ke luar: kesempatan luas mengatur pertaliannya dengan negara lain”.
Sosrodinigrat mengatakan, “Berani merdeka berarti berani mempertahankan Indonesia, dan ini berarti berani berperang. Buat ini perlu persatuan sekokoh-kokohnya. Persatuan berarti bebas dari rasa perselisihan antara golongan, menyingkirkan diri, dan golongan sendiri, yang dapat tercapai dengan korban”. 

Soekarno mendasarkan pembentukan suatu bangsa pertama-tama karena adanya “kesamaan riwayat (nasib) dan kehendak untuk bersatu”. Tapi juga tempatnya, inilah kemudian geopolitiknya. Hal ini mengacu pada pemikiran Renan dan Bauer.

Lalu pada tanggal 10 dan 11 Juli 1945 sebelum proklamasi, didiskusikan kembali tentang kebangsaan.

Yamin menyetujui A.K. Moezakir yang menyampaikan bagaimana wilayah indonesia pada 10 Juli. Indonesia adalah gabungan antara majapahit dan Sriwijaya. Dia menambahkan bahwa penentuan batas wilayah jangan hanya melihat hukum internasional, tapi juga kemanusiaan dan hukum ilahi. Dia mengatakan, “tidak memberikan sejengkal daerah tumpah darah kita kepada kekuasaan lain, tapi juga tidak menghendaki sejengkal tumpah darah yang bukan kekuasaan kita.”

Di dasarkan pada itu, kemudian usulan wilayah Indonesia menjadi sangat luas mulai dari Sumatra, Malaysia sampai Papua Nugini. Menurutnya, “adalah kebetulan dalam sejarah dunia yang terberkati oleh Allah yang mahakuasa, yaitu seluruh daerah yang kita perbincangkan ini bersatu di dalam tangan bala tentara Nippon…”

Saya tertarik sebenarnya dengan apa yang dipikirkan Hatta. DIa adalah orang yang tidak setuju kalau Papua masuk indonesia. Hatta mengusulkan agar kita menghindari kesan bahwa kita melepaskan diri dari imperialis tapi menjadi imperialis juga. Papua sebaiknya diberikan kemerdekaan sendiri, bisa ditukar dengan Borneo lebih sebangsa. “jangan-jangan kita tidak puas hanya dengan Papua saja, tapi juga Solomon terus ke Laut tengah. Apakah kita bisa mempertahankan wilayah yang begitu luas?” katanya.

Hanya karena Papua pernah menjadi tempat pembuangan para tokoh nasional, lalu Papua masuk wilayah indonesia. Menarik bagi saya, meskipun Hatta tidak menyetujui masuknya Papua sebagai bagian dari Indonesia, toh dia menerima, menghargai, dan konsisten untuk memperjuangkan kesatuan Indonesia. Hal itu terbukti manakala Panitia kecil merumuskan dasar negara dalam pembukaan undang undang yang dikenal dengan Piagam Jakarta, Hatta merasa bahwa rumusan yang mengistimewakan Islam meskipun mayoritas ini bermasalah. Benar saja bahwa kemudian rumusan tersebut mendapatkan protes dari A.A. Maramis dan juga Latuharhary.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun