Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bahkan Guru dan Dosen Pun Membodohi

15 Desember 2016   19:15 Diperbarui: 16 Desember 2016   10:40 2204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sapere Aude (Beranilah Berfikir) gambar dari http://redstateeclectic.typepad.com/

Suatu ketika, saya bertanya pada mahasiswa saya, "kalian tahu Darwin? apa teorinya?"

Hampir semuanya serempak merasa tahu dan mengatakan bahwa teori Darwin manusia berasal dari monyet atau kera. Kemudian saya tanya, "kata siapa?"

Jawab mereka umumnya sama, "dulu di sekolah kami diajari begitu pak..." Jadi yang mengajari ya guru guru mereka.

Karena mahasiswa saya umumnya membawa smartphone yang bisa mengakses internet lalu saya beri mereka waktu yang cukup dengan instruksi, "cobalah sekarang buka HP kalian, tanya mbah google kutipan langsung dari Darwin yang mengatakan manusia berasal dari monyet! boleh yang bahasa Indonesia boleh yang bahasa Inggris."

merekapun sibuk mencari. Berbagai kata kunci dibuat. Ada yang mengatakan bisa menemukan, "ini pak... mengatakan bahwa Darwin mengatakan manusia berasal dari kera..." 

Lalu saya tanggapi, "itu orang lain menulis tentang teorinya Darwin atau Darwin sendiri yang menuliskan?"

"Orang lain sih pak..."

"Ada dua kemungkinan untuk menelusuri keakuratan sebuah data apalagi sebuah teori... pertama lihat sumber referensinya dan yang kedua cari sumber awal dari referensi itu. Baru dengan ini, kalian bisa memiliki ilmu itu yang sesungguhnya. Kalau ga kalian tidak tahu seandainya dibohongi. Meskipun itu oleh guru kalian..."

"Berarti selama ini kita dibodohi dong pak..."

"Tapi memang kita suka dibodohi. Buktinya kita ga pernah ngecek sendiri kebenarannya. Setidaknya sampai saat ini, saya belum menemukan Teori Darwin tersebut. Mungkin saya yang salah, dan barangkali kalian bisa membetulkan kesalahan saya ini dengan cara menunjukkan sumbernya"

***

Cerita di atas hanya sebuah analogi dari pengalaman nyata saya ketika memberikan pengantar perkuliahan. Bahkan guru dan dosen pun membodohi. Setidaknya kasus kasus yang terjadi belakangan ini membuat saya kembali tertarik membicarakan hal tersebut. Pertama kasus Buni Yani yang 'salah mendengar' transkrip video Ahok, kedua kasus guru yang mengunggah foto foto uang berbentuk 212 yang di dalamnya ada ajakan rush money, dan yang ketiga guru SMP di Purbalingga yang membuat soal dengan memuat kasus Ahok sebagai penista agama.

Buni Yani adalah dosen komunikasi di London School. Pernah berkuliah di Universitas Udayana Bali dan kemudian mendapatkan beasiswa untuk menempuh pendidikan di Ohio University. Pernah menjadi jurnalis di beberapa media, termasuk di VOA Washington. Sekarang konon sedang menyelesaikan disertasi program doktoral di Leiden Belanda. Dari segi akademis dan pengalaman, jelas dia pinter. Bahkan saya pun ingin memiliki karier pendidikan seperti beliau. Ketika membaca captionnya beliau di FB, jelas saya tetap mengakui kepandaian beliau.

'Bapak Ibu (pemilih muslim).. Dibohongi Surat Almaidah 51 (masuk neraka) juga bapak ibu. Dibodohi'. Begitu captionnya. Memang ini bukan transkrip. Memang kalau dilihat dari kalimat kalimat aslinya, nuansanya menjadi lebih tajam karena kalimat asilnya tidak begitu.

“bapak ibu ga bisa pilih saya, karena dibohongin pake surat almaidah 51 macem-macem itu. Itu hak bapak ibu ya. Jadi kalau bapak ibu perasaan ga bisa pilih nih, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, gapapa. Karena ini kan hak pribadi bapak ibu. Program ini jalan saja. Jadi bapak ibu ga usah merasa ga enak. Dalam nuraninya ga bisa pilih Ahok”

Masalah bahwa ayat suci bisa disalahgunakan seperti kata Rizieq Shihab, "... ulama yang bejat, ulama yang buruk, ulama yang busuk, ulama yang suka memutarbalikkan ayat, yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal," diabaikan. Masalah bahwa sang Gubernur memberi kesempatan untuk tidak memilihnya juga tidak pernah disinggung. Yang jelas dan kuat sebagai sarana provokasi ya kalimat pada captionnya Buni Yani tersebut.

Maka, sebagai pakar komunikasi jelas si Buni Yani ini cerdas. Dia tahu memilih-milih kalimat dan memberikan penafsiran. Perhatikan kata-kata di dalam kurung di atas dan juga pemilihan kalimatnya. Jelas yang semacam itu, melibatkan unsur kecerdasan dan tentu saja kesengajaan.

Maka, kalau beliau mengatakan "lupa" sehingga tidak menggunakan kata pakai besar kemungkinan beliau berbohong. Apalagi ditambah dengan ungkapan, "saya tidak tahu kalau masalahnya akan menjadi sebesar ini..." Bayangkan seorang kandidat Doktor di Leiden tiba tiba saja menjadi sedemikian lugu. Demikian kata pengacara beliau yang mengesankan bahwa Buni Yani ini orang lugu dan juga dosen yang tidak kaya. Buni Yani orang biasa-biasa saja, tidak punya kepentingan politik apapun.

Tapi data survei SMRC ini menarik:

45,2% setuju bahwa Ahok menistakan agama. Dari 45,2% yang setuju tersebut, hanya 11,5% yang mengaku mengetahui secara persis. Sisanya tidak. "Pertanyaan selanjutnya apakah sudah menonton video lengkap? 12,9% menjawab ya, sudah menonton. Sementara 87,1% mengaku tidak menonton video secara penuh,"

Dari 12,9% yang menonton, sebanyak 37,4% responden mengaku menonton video versi 'dibohongi Al-Maidah 51' dan 46,6% menonton video 'dibohongi memakai Al-Maidah 51. Sumber dari Detiknews.

Perhatikan, gerakan semasif 411 dan juga 212 dilatarbelakangi oleh data semacam itu. Data ini jelas mengingatkan saya pada cerita Teori Evolusi Darwin di atas.

Berikutnya kasus Rush Money yang ada hubungannya dengan aksi 212 oleh Abdul Rozak, seorang guru SMK di Pluit. Sebelum mengetahui temuan polisi tentang asal usul uang tersebut, bahkan sayapun berfikir ini ajakan serius yang provokatif. Lagi-lagi melalui media sosial, guru tersebut memposting barisan uang ratusan ribu dan juga limapuluhan ribu dengan bentuk 212. Formasi tersebut ditulis dengan ungkapan, ‘ini uang habis saya menarik’. Tentu bayangan pembaca menarik uang dari bank.

Sebelumnya, beliau melalui akun Facebook-nya, Abu Uwais, cukup gencar menyuarakan aksi rush money. Beliau mengatakan, “Ayo dukung ulama dengan aksi “RUSHMONEY” sebelum kehabisan uang,” tulis Abdul Rozak. Dia menyertakan foto salah satu cuitan di Twitter dari akun Tengku Zulkarnaen @UstadTengku yang menulis ‘Memindahkan Serentak Semua Uang Umat Ke Bank Syariah Tidak Akan Membuat Ekonomi Kolaps. Paling Hanya Membuat Bank Milik TAIPAN Bangkrut’. sumber dari jurnalindonesia.id.

Ketika tahu dari informasi polisi bahwa uang tersebut bukan uangnya sendiri, melainkan uang SPP anak-anak, jelas sekali bahwa hal ini merupakan sebentuk aksi pembodohan sekaligus memang pembohongan publik yang mencari legitimasi dari tokoh agama. Selain itu bukan uangnya, juga diketahui dia tidak punya ATM BCA. Nah, pengakuannya lagi yang mencengangkan dan jauh dari seorang cendekiawan yang mengajarkan siswa agar cerdas, dia mengatakan bahwa hal itu hanya iseng. Waduh! guru iseng dengan menggunakan uang siswa.

Terakhir adalah kasus guru membuat soal ujian yang mencantumkan kasus Ahok di SMP Muhamadiyah I Purbalingga:

“Siapakah nama calon Gubernur Jakarta yang melecehkan Al-Quran saat ini?” Soal pilihan ganda itu menyediakan jawaban: a. Paijo b. Ahik c. Ken Arok d. Basuki Candra (ahok).

Memangnya siapa Paijo?, siapa Ahik? dan siapa Ken Arok? juga siapa itu Basuki Candra? Soal ini jelas dibuat dengan main-main. Soal ujian itu soal konyol-konyolan dan siswa dididik dengan serampangan semacam ini, apa jadinya? Alih alih mencerdaskan, pembuat soal justru merawatkan dendam pada peserta didik. Padahal, bagi siswa mengerjakan soal ujian adalah mempersiapkan masa depannya.

***

Dari Cerdas Menjadi Bijaksana

Dosen berasal dari bahasa latin docere yang artinya mengajar. Sebagaimana kita tahu, jelas tanggung jawab guru adalah mengajarkan ilmunya kepada anak yang diajarnya. Menurut Anies Baswedan, tugas seorang guru bukan hanya mentransfer ilmu tapi juga menanamkan nilai, membangun karakter. Mentransfer ilmu, lebih pada taraf kognitif. Itupun bukan hanya sekadar membagikan pengetahuan. 

Tapi juga, sebagai seorang ilmuwan juga mengajarkan seseorang untuk menjadi rasional, kritis, dan tidak begitu saja percaya apa yang dikatakan orang lain. Termasuk gurunya. Seandainya Thomas Alfa Edison hanya jadi anak manis yang mendengarkan dan mematuhi sang guru, belum tentu ia akan menjadi seorang inovator yang akan diakui oleh dunia.

Ya, murid yang baik harus menguji sendiri apa yang diajarkan sang guru. Ilmu memberikan ruang untuk koreksi atas apa yang sebelumnya dianggap sebgai kebebenaran. Bukan hanya gurunya yang kemungkinan salah, tapi juga ilmunya sendiri harus diuji kebenarannya.

Dengan demikian, pola pendidikan yang mengandalkan kepatuhan dan menutup diskusi cenderung bersifat membodohi. Kalaupun kemudian yang diajari dan yang diajarkan itu benar, cenderung menjadi buta, karena belum diuji sendiri. Yang menarik juga dalam dunia ilmu sekarang adalah bahwa dalam dunia ilmu tidak lagi mengklaim kebenaran mana yang mutlak atau teori mana yang dianggap benar. Tapi menggunakan prinsip, kemungkinan mana yang paling besar kemungkinan benarnya. Bagi saya ini menarik karena di situ ada sikap terbukanya. Cerdas itu terbuka pada kemungkinan lain dan baik kalau kemungkinan kemungkinan itu didalami dan diuji.

Makanya, belajar dari satu sumber saja tidaklah cukup. Apalagi itu hanya dari seorang guru. Karena kadang kadang apa yang dianut oleh seorang guru, berbeda dengan guru yang loain. Kalau begitu, di antara keduanya harus diuji. Ini berkaitan dengan kecerdasan yang beraspek kognitif. Kalau aspek keterbukaan ini diterapkan, maka kemungkinan siswa dibohonghi juga kecil, bukan.

Tentang nilai jelas karakter juga menjadi kunci keberhasilan sebuah pendidikan. Salah satu nilai yang harus ditanamkan seorang pendidik adalah kejujuran. Kalau pendidiknya sendiri berbohong, seperti kasus Charles Darwin dengan teori manusia berasal dari keranya di atas jelas hal itu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Masalahnya kan si guru tidak bermaksud juga membohongi anak didiknya. Di sinilah kemudian kita melihat lingkaran ketidakbijaksanaan. Sang guru mengajarkan apa yang diajarkan gurunya dan demikian seterusnya. Maka, di sini bukan masalah subjeknya, tapi objeknya. Objek pengetahuan yang salah tapi dianggap sebagai kebenaran.

Memang kemudian masalah ilmu bukan hanya masalah kebenaran, tapi juga kebijaksanaan. Bijaksana adalah sebuah sikap. dan sikap bijaksana menurut wikipedia diakatakan sebagai sebuah sikap yang tepat. Saya sendiri lebih melihat bijaksana sebagai sebuah sikap yang secara cermat memperhatikan baik sisi rasional maupun sisi afektifnya. Sisi rasional berarti menempatkan nalar dengan berbagai sudut pandang dan menilai berbagai kemungkinan yang ada. Sedangkan sisi afektif lebih pada perasaaan. Karena kadang kala apa yang dikatakan sebagai kebenaran, belum tentu bisa disampaikan atau disikapi dengan tepat.

Misalnya saja, ada seorang dokter yang memvonis atau berdasarkan analisanya seorang pasien akan mati dalam beberapa jam lagi. Lalu ketika ditanya oleh keluarga pasien dia tidak bisa hanya menyampaikan yang benar saja, sekaligus juga tidak bisa dia berbohong. Misalnya ditanya, "bagaimana dok anak saya...?" ga mungkin jawaban dokter, "dalam analisis saya bu... dia akan mati 5 sampai 10 jam lagi." mungkin benar, tapi tidak bijaksana.

Demikian juga tanggung jawab tokoh-tokoh agama, sebagai pengajar moral dan akhlak, jelas bukan hanya sekadar menyampaikan doktrin keyakinan tapi juga bijaksana menentukan sikap, apalagi sikap keagamaan.

Kepada anak didik saya yang diajari bahwa Darwin berteori manusia berasal dari kera, saya titip pertanyaan..."pak guru, bisa dikutipkan kata-kata persisnya Darwin apa ya?" siapa tahu hal ini juga bisa mengoreksi pemahaman saya yang keliru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun