Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bahkan Guru dan Dosen Pun Membodohi

15 Desember 2016   19:15 Diperbarui: 16 Desember 2016   10:40 2204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sapere Aude (Beranilah Berfikir) gambar dari http://redstateeclectic.typepad.com/

Dengan demikian, pola pendidikan yang mengandalkan kepatuhan dan menutup diskusi cenderung bersifat membodohi. Kalaupun kemudian yang diajari dan yang diajarkan itu benar, cenderung menjadi buta, karena belum diuji sendiri. Yang menarik juga dalam dunia ilmu sekarang adalah bahwa dalam dunia ilmu tidak lagi mengklaim kebenaran mana yang mutlak atau teori mana yang dianggap benar. Tapi menggunakan prinsip, kemungkinan mana yang paling besar kemungkinan benarnya. Bagi saya ini menarik karena di situ ada sikap terbukanya. Cerdas itu terbuka pada kemungkinan lain dan baik kalau kemungkinan kemungkinan itu didalami dan diuji.

Makanya, belajar dari satu sumber saja tidaklah cukup. Apalagi itu hanya dari seorang guru. Karena kadang kadang apa yang dianut oleh seorang guru, berbeda dengan guru yang loain. Kalau begitu, di antara keduanya harus diuji. Ini berkaitan dengan kecerdasan yang beraspek kognitif. Kalau aspek keterbukaan ini diterapkan, maka kemungkinan siswa dibohonghi juga kecil, bukan.

Tentang nilai jelas karakter juga menjadi kunci keberhasilan sebuah pendidikan. Salah satu nilai yang harus ditanamkan seorang pendidik adalah kejujuran. Kalau pendidiknya sendiri berbohong, seperti kasus Charles Darwin dengan teori manusia berasal dari keranya di atas jelas hal itu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Masalahnya kan si guru tidak bermaksud juga membohongi anak didiknya. Di sinilah kemudian kita melihat lingkaran ketidakbijaksanaan. Sang guru mengajarkan apa yang diajarkan gurunya dan demikian seterusnya. Maka, di sini bukan masalah subjeknya, tapi objeknya. Objek pengetahuan yang salah tapi dianggap sebagai kebenaran.

Memang kemudian masalah ilmu bukan hanya masalah kebenaran, tapi juga kebijaksanaan. Bijaksana adalah sebuah sikap. dan sikap bijaksana menurut wikipedia diakatakan sebagai sebuah sikap yang tepat. Saya sendiri lebih melihat bijaksana sebagai sebuah sikap yang secara cermat memperhatikan baik sisi rasional maupun sisi afektifnya. Sisi rasional berarti menempatkan nalar dengan berbagai sudut pandang dan menilai berbagai kemungkinan yang ada. Sedangkan sisi afektif lebih pada perasaaan. Karena kadang kala apa yang dikatakan sebagai kebenaran, belum tentu bisa disampaikan atau disikapi dengan tepat.

Misalnya saja, ada seorang dokter yang memvonis atau berdasarkan analisanya seorang pasien akan mati dalam beberapa jam lagi. Lalu ketika ditanya oleh keluarga pasien dia tidak bisa hanya menyampaikan yang benar saja, sekaligus juga tidak bisa dia berbohong. Misalnya ditanya, "bagaimana dok anak saya...?" ga mungkin jawaban dokter, "dalam analisis saya bu... dia akan mati 5 sampai 10 jam lagi." mungkin benar, tapi tidak bijaksana.

Demikian juga tanggung jawab tokoh-tokoh agama, sebagai pengajar moral dan akhlak, jelas bukan hanya sekadar menyampaikan doktrin keyakinan tapi juga bijaksana menentukan sikap, apalagi sikap keagamaan.

Kepada anak didik saya yang diajari bahwa Darwin berteori manusia berasal dari kera, saya titip pertanyaan..."pak guru, bisa dikutipkan kata-kata persisnya Darwin apa ya?" siapa tahu hal ini juga bisa mengoreksi pemahaman saya yang keliru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun