Suatu ketika, saya mengajarkan cara menilai sesuatu secara moral. Katakanlah tentang bayi tabung. Ketika saya tanyakan, apakah bayi tabung bermoral apa tidak, mahasiswa bermain tebak tebakan. Antara boleh dan tidak boleh. Tapi umumnya mengatakan boleh dengan alasan Tuhan memberikan akal budi agar membantu manusia ketika menemukan kesulitan. Sayapun menjelaskan begini: sebelum sampai pada kesimpulan antara boleh dan ga boleh, ada baiknya kita melihatnya secara lebih ilmiah dan jelas. Lalu saya tunjukkan prosesnya, begini:
Baik tidak pasangan suami istri menginginkan hadirnya seorang anak? jawabannya baik.
Lalu kalau tidak bisa dan harus menggunakan bayi tabung? jawabannya, apa salahnya.
Saya menjelaskan proses bayi tabung yang mempertemukan lebih dari satu sel telur, umumnya 4 sampai 8 sel telur, dengan sperma. Lalu, di dalam cawan khusus pembuahanpun dilakukan. Setelah ada sejumlah embrio hasil pembuahan, salah satunya akan dimasukkan ke dalam rahim sang ibu. Sampai di sini masih normal dan terdengar wajar.
Pertanyaan saya biasanya, embrio hasil pembuahan ini, makhluk hidup atau bukan? Jawabannya jelas, makhluk hidup. Lepas dari dia bernyawa atau tidak. Yang jelas dia hidup, tumbuh, dan berkembang.
Pertanyaan berikutnya yang menjadi titik balik adalah: kalau hanya satu yang ditanam kembali ke rahim ibunya, pertanyaannya yang lainnya dikemanakan? dibuang? dimusnahkan? dijadikan bahan riset? atau diapakan?
Kalaupun jawabannya yang paling bisa diterima, dimusnahkan, memusnahkan makhluk yang hidup ini biasa disebut dengan apa? Lalu saya bertanya, apakah bermoral demi untuk mendapatkan satu anak, mengorbankan dan memusnahkan anak anak yang lainnya dan jumlahnya lebih banyak?
Lalu saya mengatakan, bahkan saya tidak perlu mengatakan bermoral atai tidak, mereka sudah memiliki jawabannya. Di sini saya hanya mau menunjukkan, dengan pengetahuan yang memadai, kita bisa menjelaskan tanpa harus dengan embel embel dokrin dan dogma teologis suatu agama dan orang yang mita nasehat sudah bisa mengambil keputusan sendiri.
Nah, suatu ketika di antara mereka itu ada yang memang sudah puluhan tahun menikah belum dikaruniai anak. lalu dia curhat pada saya tentang betapa inginnya punya anak. Dokter menawarkan untuk bayi tabung. Sampai di sini saja, saya sudah merasa tidak tega. Saya memposisikan diri saya pada orang tersebut.Â
Meskipun kemudian orang itu mengambil keputusan tidak jadi bayi tabung. Tetap saja ada beban pada diri saya. Ada juga yang dengan surat elektronik kami berbicara panjang lebar karena dia sudah mengambil keputusan bayi tabung, dicoba beberapa kali belum berhasil dan embrionya tersimpan dalam freezer. Bagi saya pribadi, lebih mudah menjelaskan secara keilmuan daripada harus menasehati secara langsung. Nah, dalam banyak hal yang jauh lebih sulit adalah ketika harus menasehati diri sendiri.
Hal paling sederhana dan ini kocak menurut saya, betapa banyak orang tua perokok, menasehati anaknya supaya jangan merokok. Hehehe... dia mudah menasehati anaknya, tapi bagaimana menasehati dirinya sendiri.