Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pak Mario, Menasehati Orang Lain Lebih Mudah Dibandingkan Menasehati Diri Sendiri

11 September 2016   19:34 Diperbarui: 11 September 2016   19:57 2711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
mario teguh, gambar dari log.viva.co.id

Sebenarnya saya tidak terlalu mengikuti berita gosip yang urusannya bersifat pribadi. Apalagi pribadi seseorang yang tidak ada hubungannya dengan kebijakan publik. Juga ketika itu berkaitan dengan motivator kenamaan pak Mario Teguh. Saya juga tidak terlalu memperhatikan.

Yang jelas, sebagai pengajar, saya juga senang menyelipkan kata kata nasehat kepada mahasiswa saya. Dan bagusnya, kata kata yang indah itu kemudian disahut dengan para mahasiswa dengan ungkapan, "super sekali!" Meskipun saya sadar bahwa ini bukanlah kata kata saya sendiri. Saya hanya meminjam dan sejauh pernah mendengarnya, meskipun ada yang memang kata kata saya sendiri.

Misalnya barusan saya kemarin ngomong ke mahasiswa saya begini: Teman teman, jangan pernah merasa bahwa anda itu bukan siapa siapa, atau anda tidak berarti. Jangan! mungkin bagi dunia kamu ini bukan siapa siapa, tapi bagi seseorang kamu ini adalah dunianya...

Wuahhhh.... kelas yang semula penuh canda tawa, saat itu serasa hening khidmat dan saya dengar beberapa teman mahasiswa mengatakan, "super sekali!"

Lalu saya menjelaskan begini: memang mungkin kalian merasa kuliahnya hanya di sini... bukan kampus elit uang juga tidak seberapa... kerja belum mapan, namun percayalah, meskipun rasanya dan sepertinya ga ada artinya... tapi bagi seseorang kamu ini adalah dunianya... segala galanya. Kalian punya makna dan senantiasa menjadi kebanggaan mereka. Sebutlah dia orang tuamu! siapapun kamu, bagaimanapun kamu.... kamu adalah kebanggaannya!

Hemh.... indah juga yak.... kadang kadang saya sendiri merasa tersentuh juga dengan apa yang saya ucapkan. Hehehe....

Kembali ke Pak Mario.... Jadi ceritanya, saya kemarin menonton tayangannya di KompasTV. Lalu saya ikuti jalan ceritanya, Jadi pak Mario ini nikah dua kali. Kegagalan pertama perkawinannya adalah karena pak Mario merasa istrinya telah berbagi cinta dengan laki laki lain. Barulah kemudian menikah kembali.

Gosip yang tidak bisa beliau terima adalah bahwa istri beliau yang sekarang sengaja menjadi orang ketiga dalam perkawinan mereka. Lalu, selalu kata kata ini yang diulang bahwa istri beliau yang pertama mengatakan, kalau anaknya ini bukanlah anaknya. Sebagai seorang lelaki, pak Mario merasa cemburu. Saya ga tahu, ini kecemburuan atau sebentuk harga diri yang telah dilecehkan dan direndahkan. Ya, lelaki akan sulit memaafkan kalau wanitanya membagi cinta dengan lelaki yang lain.

Kata memaafkan sebagai tanda kebesaran inilah yang mungkin pada awalnya bisa dinasehatkan kepada pak Mario. Ya, seandainya saya ada di posisi orang yang  memberikan nasehat kepada pak Mario waktu itu adalah kata memaafkan dan kebesaran hati untuk menerima dan tetap setia bahkan dalam pengkhianatan. Ya, masalahnya adalah seperti dalam judul ini.... menasehati orang lain jauh lebih mudah daripada menasehati diri sendiri.

Ya, saya bisa menjudge, menghakimi, dan menasehatkan yang indah indah untuk pak Mario....  tapi, seandainya ini menimpa saya, juga tidak akan mudah saya menerimanya dan melaksanakannya. Hehehe... jadi saya merasa juga tidak berhak untuk menasehatkan kepada beliau. Mungkin juga kalau dalam teori, beliau juga tahu. Tapi ya bagaimana lagi, namanya juga manusiawi.

Artinya, sehebat hebatnya manusia, sebijak bijaknya seseorang, tetap mempunyai sisi lain sebagaimana manusia lain pada umumnya yang tidak hebat dan juga tidak bijak.

Suatu ketika, saya mengajarkan cara menilai sesuatu secara moral. Katakanlah tentang bayi tabung. Ketika saya tanyakan, apakah bayi tabung bermoral apa tidak, mahasiswa bermain tebak tebakan. Antara boleh dan tidak boleh. Tapi umumnya mengatakan boleh dengan alasan Tuhan memberikan akal budi agar membantu manusia ketika menemukan kesulitan. Sayapun menjelaskan begini: sebelum sampai pada kesimpulan antara boleh dan ga boleh, ada baiknya kita melihatnya secara lebih ilmiah dan jelas. Lalu saya tunjukkan prosesnya, begini:

Baik tidak pasangan suami istri menginginkan hadirnya seorang anak? jawabannya baik.

Lalu kalau tidak bisa dan harus menggunakan bayi tabung? jawabannya, apa salahnya.

Saya menjelaskan proses bayi tabung yang mempertemukan lebih dari satu sel telur, umumnya 4 sampai 8 sel telur, dengan sperma. Lalu, di dalam cawan khusus pembuahanpun dilakukan. Setelah ada sejumlah embrio hasil pembuahan, salah satunya akan dimasukkan ke dalam rahim sang ibu. Sampai di sini masih normal dan terdengar wajar.

Pertanyaan saya biasanya, embrio hasil pembuahan ini, makhluk hidup atau bukan? Jawabannya jelas, makhluk hidup. Lepas dari dia bernyawa atau tidak. Yang jelas dia hidup, tumbuh, dan berkembang.

Pertanyaan berikutnya yang menjadi titik balik adalah: kalau hanya satu yang ditanam kembali ke rahim ibunya, pertanyaannya yang lainnya dikemanakan? dibuang? dimusnahkan? dijadikan bahan riset? atau diapakan?

Kalaupun jawabannya yang paling bisa diterima, dimusnahkan, memusnahkan makhluk yang hidup ini biasa disebut dengan apa? Lalu saya bertanya, apakah bermoral demi untuk mendapatkan satu anak, mengorbankan dan memusnahkan anak anak yang lainnya dan jumlahnya lebih banyak?

Lalu saya mengatakan, bahkan saya tidak perlu mengatakan bermoral atai tidak, mereka sudah memiliki jawabannya. Di sini saya hanya mau menunjukkan, dengan pengetahuan yang memadai, kita bisa menjelaskan tanpa harus dengan embel embel dokrin dan dogma teologis suatu agama dan orang yang mita nasehat sudah bisa mengambil keputusan sendiri.

Nah, suatu ketika di antara mereka itu ada yang memang sudah puluhan tahun menikah belum dikaruniai anak. lalu dia curhat pada saya tentang betapa inginnya punya anak. Dokter menawarkan untuk bayi tabung. Sampai di sini saja, saya sudah merasa tidak tega. Saya memposisikan diri saya pada orang tersebut. 

Meskipun kemudian orang itu mengambil keputusan tidak jadi bayi tabung. Tetap saja ada beban pada diri saya. Ada juga yang dengan surat elektronik kami berbicara panjang lebar karena dia sudah mengambil keputusan bayi tabung, dicoba beberapa kali belum berhasil dan embrionya tersimpan dalam freezer. Bagi saya pribadi, lebih mudah menjelaskan secara keilmuan daripada harus menasehati secara langsung. Nah, dalam banyak hal yang jauh lebih sulit adalah ketika harus menasehati diri sendiri.

Hal paling sederhana dan ini kocak menurut saya, betapa banyak orang tua perokok, menasehati anaknya supaya jangan merokok. Hehehe... dia mudah menasehati anaknya, tapi bagaimana menasehati dirinya sendiri.

Meskipun saya tidak banyak mengambil kata kata mutiara dari pak Mario, tapi saya pribadi senang dengan apa yang beliau sampaikan. Ada sesuatu yang dalam dan logis. Saya tidak akan menyesal mengidolakan atau menyenangi apa yang pak Mario katakan, meskipun sekarang sedang ditempa prahara permasalahan. 

Masalahnya bukan pada nasehatnya, tapi bagaimana beliau menyikapinya. Pada hemat saya ketika si anak dituntut tes DNA segala, wajarlah itu kalau memang sejak awal meragukan keaslian keturunannya. Drama mungkin akan berlanjut, tapi kita bisa belajar dari pengalaman itu, menasehati orang lain itu mudah, tapi menasehati diri sendiri itu tantangan yang jauh lebih sulit. 

Ibarat menjadi penonton permainan sepak bola neh, komentator itu sepertinya lebih pinter daripada pemainnya sendiri. Mereka bisa menasehatkan apapun kepada pemain agar permainannya bisa bagus. Harusnya begini, harusnya begitu. Lalu, apakah pemainnya akan mendengarkan dan mengikuti nasehat komentator? Lah untuk apa? mereka ga ngalami sendiri.

Ini juga susahnya. Saya sebagai pengajar juga sulit untuk dinasehati. Mendengarkan nasehat orang lain itu ga mudah, maka mendengarkan nasehat diri sendiri juga jauh lebih tidak mudah. Ketika ada orang yang berhasil memberikan banyak nasehat kepada banyak orang saja pada hemat saya, harus kita apresiasi. Sayangnya, tuntutan orang banyak selalu berlebih, seharusnya kalau bisa menasehati orang lain, dirinya sendiri harus bisa menerapkannya.

Begini: berdamailah dengan diri sendiri, sebelum engkau meminta orang lain untuk berdamai dengan dirinya sendiri.

Atau suatu ketika seorang anak, siswa, yang sulit sekali bergaul dengan teman temannya, saya tanya, kamu ingin teman yang seperti apa? jawabnya: yang baik... yang bisa bekerja sama, yang tidak suka mengolok, yang bisa menerima dirinya. Maka, pertanyaan saya padanya: sudahkah kamu menjadi seorang teman seperti yang kamu inginkan itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun