Sama sama merangkak dari awal, Indonesia dan Jepang memiliki wajah yang sangat berbeda dewasa ini. Tanpa mengurangi rasa hormat atau menunjukkan inferioritas saya atas negara penjajah Jepang tersebut, kita harus mengakui bahwa dalam banyak hal Jepang jauh lebih unggul. Juga dalam relasi internasional, mereka jauh lebih punya wibawa dibandingkan dengan Indonesia. Masalahnya bukan karena kita tidak punya SDM dan SDA yang memadai, tapi kita tidak bisa memafaatkannya.
Ketika saya berjalan jalan di sebuah toko souvenir di Bandara Chopin Warzawa, saya diawasi dengan teliti oleh pengawasnya. Kemudian ditanya, Apakah saya berasal dari Meksiko? Saya jawab saya dari Indonesia. Memangnya kenapa kalau Meksiko? Ternyata selain tampang saya mirip orang meksiko, katanya si penjaga, orang Meksiko punya perilaku yang ‘not good’. Bagaimana dengan orang Indonesia? Dia jawab sih tidak banyak orang Indonesia di sana. Tapi dengar dengar sih Indonesia itu ‘masih terbelakang’. Mungkin memang tampang saya lebih tampang orang yang not good kali yak.
Menarik juga bahwa di Polandia, mereka cukup bangga dengan sejarah mereka. Salah satunya dengan tokoh tokoh mereka yang ‘berkarya’ di negara negara berkembang. Termasuk, selain Afrika dan India ada dua kali tayangan yang menayangkan orang Polandia sedang membantu menyelamatkan alam Indonesia di Kalimantan. Sayang sekali saya belum bisa bahasa Poland waktu itu dan di sana sudah Bahasa Slavic-pun di-dubbing dengan bahasa setempat.
Adegannya dalam tayangan tersebut yang bikin miris dan sejauh saya menangkap ada Bahasa Indonesia dari pekerja setempat yang mengatakan bahwa hutan kami telah dirusak, tanah kami dijarah pengusaha yang difasilitasi aparat sementara kami hidup miskin. Lalu mereka bersama tokoh seorang tokoh bule yang saya tebak itu orang Polandia berusaha menanami kembali hutan mereka. Dan mungkin inilah yang dikatakan oleh orang tersebut bahwa Indonesia masih terbelakang.
Padahal dalam konteks global, Polandia juga negara yang miskin di Eropa Timur. Tapi begitulah, mereka bisa membangun kebanggaan sedemikian rupa. Mungkin ya memang inilah akarnya, kenapa menjadi orang Indonesia itu sulit dan ribet ketika berurusan dengan negara negara lain. Ini juga yang menyebabkan kenapa mereka khawatir kalau ada orang Indonesia di sana mungkin tidak akan bisa hidup lantaran kehabisan dana.
Belajar dari pengalaman tersebut, kiranya saya melihat dua sisi yang mesti dibangun untuk membangun wibawa bangsa Indonesia: pertama dari sudut masyarakat harus memperbaiki sikap dan perilakunya agar lepas dari mental bangsa terjajah dan terbelakang. Kedua, pemerintah meskipun hingar bingar dengan dunia politik, semestinya juga memperhatikan kemajuan bangsanya.
Dari segi masyarakat misalnya, membangun budaya tertib, disiplin, cerdas dalam bekerja bisa berpengaruh pada kewibawaan bangsa. Melihat masyarakat Jepang yang sangat disiplin dengan segala kelemahan dan kelebihannya, siapa yang tidak akan hormat dan mengapresiasi? Atau masyarakat Singapura. Dalam hal kerja keras, masyarakat kita memang diacungi jempol, tapi dalam hal lain lain, nanti dulu.
Kedua, sudah semestinya masyarakat Indonesia juga bisa membanggakan pemerintahnya. Pemerintah yang bisa mewujudkan kebanggaan dasar negaranya yang tidak dimiliki oleh negara lain. Kalau dasar dan tujuan hidup bernegara itu tercapai niscaya kewibawaan bangsa juga akan terangkat. Pada 71 tahun merdeka ini, kita bisa menilai secara jujurlah sebenarnya Indonesia sudah seberapa jauh mencapai tujuan kemerdekaannya.
Sementara kita orang Indonesia melihat keberhasilan negara ini dengan kacamata dan sudut pandang Jakarta, orang orang luar atau dunia internasional melihat Indonesia dengan sudut pandang luar Jawa. Sangat wajarlah kalau mereka menilai dengan dua objek yang sangat kontras, Jakarta di satu sisi Papua di sisi lain lalu bertanya, benarkah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi tujuan negara itu?
SDA kita punya. Kita ini kaya sangat kaya dengan sumber daya alam. Tapi menjadi ironis kalau segala sesuatu harus impor. Impor sembako mulai dari garam sampai daging jerohan. SDM juga tak kalah melimpah, maka kalau sampai rektor saja impor itu kan ada sesuatu yang salah? Sementara yang diekspor malah tenaga kerja yang tidak profeional.