Adalah fakta yang langsung diamini oleh banyak orang Indonesia yang tinggal di luar negeri bahwa diizinkannya dwi kewarganegaraan merupakan kerinduan mereka. Mereka biasa dikenal sebagai Indonesia diaspora atau Indonesia yang tersebar di luar Indonesia. Alasannya sederhana, dengan menunjukkan identitas diri sebagai orang yang bukan Indonesia, maka banyak urusan internasional akan lebih mudah. Sedangkan dengan identitas Indonesia, banyak hal akan menjadi sulit.
Maka, dalam kasus terakhir ini mesti menjadi bahan refleksi atau instrospeksi yang serius, kenapa menjadi Indonesia itu akan menjadi sulit mengurus hal hal yang kaitannya lintas negara? Mulai dari penyelidikan dokumen yang terkesan berbelit belit sampai jaminan keuangan yang harus memadai. Paling tidak saya bisa melihat dua sisi sebagai penyebab, pertama sisi dari masyarakatnya dan yang kedua sisi dari pemerintahnya.
Di Belanda, saya mendapatkan cerita bahwa banyak warga negara Suriname yang kuliah di sana namun sekaligus merupakan warga negara Belanda. Saya sih berpikirnya langsung, “Enak ya.... Mereka mendapatkan fasilitas dari dua negara sekaligus. Berarti mereka bisa belajar di negeri Belanda, bekerja di sana, tinggal pilih saja. Paling tidak kebutuhan dan kepentingan mereka terfasilitasi oleh negara tanpa harus dicap sebagai pengkhianat.”
Hal yang berbeda terjadi dengan orang orang Hindia Belanda (baca Indonesia) yang akhirnya memilih tinggal di Belanda dan menjadi warga negara Belanda dan mereka mendapatkan cap pengkhianat dari saudara saudaranya di Tanah Air. Padahal kalau mau ditanya dalam diri mereka yang jujur, belum tentu mereka meniatkan diri menjadi musuh tanah kelahirannya. Banyak hal yang akhirnya mereka harus membuat keputusan berat tersebut. Ada yang masalah pendidikan. Kita bisa membayangkan pada masa kemerdekaan dahulu, banyak mahasiswa Indonesia yang masih menempuh pendidikan di negeri Belanda. Pada saat mereka sedang belajar, mereka harus memilih antara menjadi orang Belanda dan tetap belajar di sana, atau akan pindah dan melanjutkan belajar di Indonesia yang baru merdeka.
Suasana kebatinan atau psikologi serupa terjadi pada ikon yang sekarang sedang tren masalah kewarganegaraan ini, Anggun Cipta Sasmi ketika harus memilih antara tetap Indonesia atau menjadi warga Perancis. Kalau kemudian beliau memilih menjadi warga negara Perancis, jangan langsung dihakimi bahwa beliaunya itu pengkhianat. Nyatanya juga debut internasionalnya menjadi berkibar sekarang ini yang belum tentu akan didapatkan kalau beliau tetap menjadi warga negara Indonesia. Sekali lagi dengan identitasnya sebagai orang Indonesia, maka karier internasionalnya menjadi lebih sulit. Menjadi Indonesia itu pengorbanan.
Kemudian yang paling hangat jelas kasusnya Pak Menteri Arcandra Tahar. Karena kasus kewarganegaraan akhirnya masalah administratif diunggulkan dibandingkan pertimbangan prestasi dan juga niatnya untuk mengabdi. Sekali lagi, secara politik menghitung perpindahan warga negara sebagai sebentuk pengkhianatan dan juga ketidaksetiaan menjadi kacamata yang secara picik dijadikan alat untuk menghakimi. Sebagai pembanding, saya punya seorang teman lulusan Tokyo.
Kalau boleh jujur, kasus kasus tersebut jelas harus disayangkan, bukan? Kasus di atas jelas menjadi alasan dunia internasional untuk menilai Indonesia yang tidak bisa memperlakukan dan juga memanfaatkan sumber daya manusianya secara maksimal. Gonjang-ganjing politik justru menjadi isu utama yang sesungguhnya tidak sehat. Adalah ironis manakala negara yang besar ini justru inferior berhadapan dengan dunia internasional. Saya bisa membandingkan dengan Jepang yang keadaannya lebih parah dari Indonesia pada tahun 1940-an.
Bukan hanya Hiroshima dan Nagasaki yang waktu itu hancur berantakan, luluh lantak dan kiamat. Kota kota lain di Jepang konon juga sudah terlebih dahulu hancur. Beberapa sumber mengatakan bahwa pemboman Hiroshima dan Nagasaki bukanlah penyebab menyerahnya Jepang pada sekutu. Soalnya, dalam sumber itu, kalau masalahnya hanya soal kehancuran maka tempat tempat lain juga sudah hancur. Dan mereka tetap punya kekuatan untuk berperang. Yang jelas, kekalahan Jepang ini jelas memorakporandakan semuanya. Termasuk dalam hal politik serta keamanan. Mereka tidak diperbolehkan lagi memiliki tentara.
Sama sama merangkak dari awal, Indonesia dan Jepang memiliki wajah yang sangat berbeda dewasa ini. Tanpa mengurangi rasa hormat atau menunjukkan inferioritas saya atas negara penjajah Jepang tersebut, kita harus mengakui bahwa dalam banyak hal Jepang jauh lebih unggul. Juga dalam relasi internasional, mereka jauh lebih punya wibawa dibandingkan dengan Indonesia. Masalahnya bukan karena kita tidak punya SDM dan SDA yang memadai, tapi kita tidak bisa memafaatkannya.
Ketika saya berjalan jalan di sebuah toko souvenir di Bandara Chopin Warzawa, saya diawasi dengan teliti oleh pengawasnya. Kemudian ditanya, Apakah saya berasal dari Meksiko? Saya jawab saya dari Indonesia. Memangnya kenapa kalau Meksiko? Ternyata selain tampang saya mirip orang meksiko, katanya si penjaga, orang Meksiko punya perilaku yang ‘not good’. Bagaimana dengan orang Indonesia? Dia jawab sih tidak banyak orang Indonesia di sana. Tapi dengar dengar sih Indonesia itu ‘masih terbelakang’. Mungkin memang tampang saya lebih tampang orang yang not good kali yak.
Menarik juga bahwa di Polandia, mereka cukup bangga dengan sejarah mereka. Salah satunya dengan tokoh tokoh mereka yang ‘berkarya’ di negara negara berkembang. Termasuk, selain Afrika dan India ada dua kali tayangan yang menayangkan orang Polandia sedang membantu menyelamatkan alam Indonesia di Kalimantan. Sayang sekali saya belum bisa bahasa Poland waktu itu dan di sana sudah Bahasa Slavic-pun di-dubbing dengan bahasa setempat.
Adegannya dalam tayangan tersebut yang bikin miris dan sejauh saya menangkap ada Bahasa Indonesia dari pekerja setempat yang mengatakan bahwa hutan kami telah dirusak, tanah kami dijarah pengusaha yang difasilitasi aparat sementara kami hidup miskin. Lalu mereka bersama tokoh seorang tokoh bule yang saya tebak itu orang Polandia berusaha menanami kembali hutan mereka. Dan mungkin inilah yang dikatakan oleh orang tersebut bahwa Indonesia masih terbelakang.
Padahal dalam konteks global, Polandia juga negara yang miskin di Eropa Timur. Tapi begitulah, mereka bisa membangun kebanggaan sedemikian rupa. Mungkin ya memang inilah akarnya, kenapa menjadi orang Indonesia itu sulit dan ribet ketika berurusan dengan negara negara lain. Ini juga yang menyebabkan kenapa mereka khawatir kalau ada orang Indonesia di sana mungkin tidak akan bisa hidup lantaran kehabisan dana.
Belajar dari pengalaman tersebut, kiranya saya melihat dua sisi yang mesti dibangun untuk membangun wibawa bangsa Indonesia: pertama dari sudut masyarakat harus memperbaiki sikap dan perilakunya agar lepas dari mental bangsa terjajah dan terbelakang. Kedua, pemerintah meskipun hingar bingar dengan dunia politik, semestinya juga memperhatikan kemajuan bangsanya.
Dari segi masyarakat misalnya, membangun budaya tertib, disiplin, cerdas dalam bekerja bisa berpengaruh pada kewibawaan bangsa. Melihat masyarakat Jepang yang sangat disiplin dengan segala kelemahan dan kelebihannya, siapa yang tidak akan hormat dan mengapresiasi? Atau masyarakat Singapura. Dalam hal kerja keras, masyarakat kita memang diacungi jempol, tapi dalam hal lain lain, nanti dulu.
Kedua, sudah semestinya masyarakat Indonesia juga bisa membanggakan pemerintahnya. Pemerintah yang bisa mewujudkan kebanggaan dasar negaranya yang tidak dimiliki oleh negara lain. Kalau dasar dan tujuan hidup bernegara itu tercapai niscaya kewibawaan bangsa juga akan terangkat. Pada 71 tahun merdeka ini, kita bisa menilai secara jujurlah sebenarnya Indonesia sudah seberapa jauh mencapai tujuan kemerdekaannya.
Sementara kita orang Indonesia melihat keberhasilan negara ini dengan kacamata dan sudut pandang Jakarta, orang orang luar atau dunia internasional melihat Indonesia dengan sudut pandang luar Jawa. Sangat wajarlah kalau mereka menilai dengan dua objek yang sangat kontras, Jakarta di satu sisi Papua di sisi lain lalu bertanya, benarkah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi tujuan negara itu?
SDA kita punya. Kita ini kaya sangat kaya dengan sumber daya alam. Tapi menjadi ironis kalau segala sesuatu harus impor. Impor sembako mulai dari garam sampai daging jerohan. SDM juga tak kalah melimpah, maka kalau sampai rektor saja impor itu kan ada sesuatu yang salah? Sementara yang diekspor malah tenaga kerja yang tidak profeional.
Maka, kalau mereka ditanya tentang kemerdekaan, sebenarnya akan membingungkan, apa maknanya? Sekaranglah momentum untuk membangun Indonesia yang berwibawa. Mungkin, akan ada gerakan nasional, Indonesia Memanggil! Ya Indonesia memanggil anak anak bangsanya yang berprestasi agar berkarya dan membangun negeri ini. Dengan catatan: negara punya niat baik membangun negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H