Sayang sekali, saya tidak memotret list nomor telepon di apartemen yang saya tinggali waktu di Eropa. Gambar dari www.melanieonn.co.uk
Nyesek juga dan eneg rasanya mendengar banyak berita kejahatan dewasa ini.... ada anak perempuan diperkosa bareng-bareng sampai mati, ada yang tidak mati namun trauma, ada perampokan disertai pemerkosaan, dll. Banyak yang menyalahkan sistem sosial, pendidikan, dan budaya yang tidak jalan. Ada juga yang menyalahkan mirasnya. Meskipun sebagian pelaku kejahatan itu ada yang menggunakan miras dan narkoba, kan banyak juga yang tidak. Ada yang luput dari perhatian banyak pemerhati sosial di sekitar kita, yaitu sistem keamanan dan dalam hal ini kepolisian dalam masyarakat.
Polisi adalah pengayom masyarakat. Bukan sekadar penegak hukum, tapi juga menjamin masyarakat menjadi lebih aman. Polisi menjalankan peranan sebagai perpanjangan tangan negara untuk ketertiban, keamanan, dan ketenteraman. Dengan demikian, sangat ideal bila kemudian polisi punya tagline untuk masyarakat bahwa polisi merupakan sahabat rakyat, sahabat masyarakat. Tapi benarkah wajah polisi sudah menjadi wajah yang sungguh bersahabat dengan masyarakat?
Meskipun harus kita akui, banyak tugas polisi yang sudah jalan dan membuat masyarakat kita teratur. Tapi, untuk mengatakan polisi sungguh menjadi sahabat rakyat, ini masih tanda tanya besar. Alih-alih masyarakat menganggap polisi sungguh sahabat rakyat, rakyat masih merasa kalau melibatkan polisi berarti harus keluar uang lagi. Maka, kalau tidak mau keluar uang tambah, ya hindarilah polisi. Masyarakat tidak nyaman dengan adanya polisi. Coba mari kita survei, mana yang banyak keluar dari mulut masyarakat kita, awas ada polisi atau asyik ada polisi?Â
Ga usah main tebak-tebakan juga kita sudah tahu jawabannya. Justru di sini letak masalahnya... orang yang takut polisi pasti orang yang salah. Dan kesalahan massif ini dibiarkan. Cara kerja aparat kita yang model-model anget-anget tahi ayam juga sih masalahnya. Jadi, pas ada momentum tertentu saja heboh. Sesudahnya ya sudah ga begitu lagi. Ya, pembiaran yang sudah mengakar ini sungguh-sungguh bom waktu sesungguhnya. Ibarat masyarakat mendiami tanah negara (eh kata Pak Yusril ga ada tanah negara) okelah saya ganti tanah steril dari warga, nanti kalau sudah numpuk sterilisasi atau pemulihan kembali itu akan bermasalah. Orang keluar rumah dengan sepeda motor tidak pakai helm adalah hal yang biasa di kita.
Mobil kebut-kebutan secara brutal menghindari polisi juga adalah hal yang wajar. Padahal, ketahuan dia salah. Itu yang saya baca di Kompasiana beberapa bulan lalu. Ada sharing itu dan dia membandingkan dengan kejadian di Australia. Di sana ada pelanggaran, ga usah polisinya main kejar-kejaran dengan pelanggar lalu lintas, besoknya sudah ada surat tilang di depan rumah atau apartemen. Padahal, polisinya ga kelihatan. Bisa sewaktu-waktu muncul. Katanya, entah dari mana.
Pengalaman saya di Eropa juga begitu. Hanya saya tidak kejar-kejaran dengan polisi di sana. Ketaatan masyarakat dalam berlalu lintas itulah yang bisa saya ceritakan dan memang saya kagumi. Ketika naik mobil, semua penumpangnya wajib memakai sabuk pengaman. Lalu, kalau ketahuan tidak memakai, dendanya akan sangat besar. Yang jelas nilainya bukan Rp50.000,- dengan sistem bayar di tempat. Lalu, berkaitan dengan kejahatan, hampir setiap orang di sana, setiap rumah tangga punya nomor polisi setempat. Ada di list nomor telepon wajib itu. Nomor telepon polisi. Mungkin kalau di Amerika semuanya tahu 911 lah. Sebuah nomor telepon darurat yang bisa dihubungi oleh masyarakat dan pasti ada tindak lanjutnya. Memang semua bisa bisa mengakses dan memanfaatkan, tapi juga jangan main-main dengan nomor ini. Ancamannya berat.Â
Bukan hanya kemudian polisi yang menjadi sahabat masyarakat, demikian juga sebaliknya. Masyarakat menjadi sahabat polisi. Jadi kalau ada apa-apa yang mencurigakan di masyarakat, masyarakat sendiri yang langsung melaporkannya kepada polisi. Tidak usah menunggu sesuatu yang buruk terjadi dahulu, langsung saja telepon polisi dan tidak usah menunggu terlalu lama. Polisi siaga sudah ada di sekitar mereka. Peristiwa ini mengandaikan bahwa warga masyarakat juga punya nomor polisi bahkan yang mereka bawa sewaktu-waktu ada sesuatu yang akan terjadi di sekitar mereka, dan bahkan menimpa mereka. Bayangkan kalau mereka ga bawa nomor polisi, ada yang mencurigakan... lalu harus ke kantor polisi terdekat atau nyari nomor telepon di buku telepon. Susah, lama dan keburu peristiwa buruk terjadi.
Itulah sebabnya, penjara-penjara di Eropa tidak sebanyak isinya dengan penjara di Indonesia yang sampai overload. Bahkan, konon di Belanda sipir-sipir penjara terancam nganggur soalnya penjara di sana banyak yang kosong. Bukan berarti di Eropa ga ada kejahatan. Banyak. Bahkan, ketika saya di sana, saya sudah di'wanti-wanti' untuk tidak keluar rumah sendirian, apalagi malam hari. Meskipun ga apa-apa juga, tapi menghindari saja. Saya lebih aman kalau keluar dengan ditemani orang setempat atau setidaknya yang bule. Kejahatan tetap banyak. Tapi bayangkan dengan sistem keamanan semacam itu saja masih banyak terjadi kejahatan, bagaimana kalau sampai tidak begitu? Atau sistem keamanan masih seperti di kita?
Pada umumnya, yang menjadi penjahat di Eropa konon adalah warga-warga pendatang atau orang Eropa Gipsi. Dalam hal ini, patut dibanggakan sebenarnya Indonesia dianggap masih aman, tidak banyak orang jahatnya. Pernah sih saya benar-benar jalan sendirian, agak jauh dan memang tidak terjadi apa-apa. Orang Eropa banyak yang ramah juga dan sangat friendly. Tidak seperti yang kita bayangkan individualis banget. Tergantung tempatnya.
Lalu apa yang mau saya pelajari dan baik kalau menjadi pembelajaran di Indonesia, yaitu bahwa polisi menjadi sahabat masyarakat dan masyarakat menjadi sahabat polisi. Polisi mau tidak mau harus menampilkan diri dengan sosok yang ramah dan tidak korup. Tidak mudah disuap dan tidak selalu minta uang. Masyarakat semestinya menjadi masyarakat yang sadar hukum. Ada baiknya mereka juga memiliki akses cepat untuk memanggil polisi kalau ada sesuatu yang dirasa mencurigakan. Sebaliknya, polisi mesti sigap menindaklanjuti hal semacam itu.
Pembelajaran orang tua untuk menjadikan polisi sebagai sahabat rakyat, pengayom dan penjaga ketertiban. Jangan malah anak kecil yang nakal ditakut-takuti, awas ada pak polisi loh..... ini kan kebalik-balik yah.... anak kecil pipis ga bener lalu dibilangin, "Awas loh nanti ada pak polisi datang...."
Akses cepat tanggap dan siaga seperti 911 harus juga menjadi sistem di Indonesia. Memang yang ideal tidak perlu menggunakan sistem darurat semacam itu, tapi bagaimana lagi? Apa salahnya sekarang semua warga masyarakat di Indonesia diwajibkan untuk punya nomor polisi yang bisa dihubungi secepatnya?
Di Indonesia sebenarnya sudah ada. Sayang sekali, penerapannya masih sangat buruk. Sementara kasus-kasus sadis dan menyedihkan yang banyak terjadi sekarang sebenarnya bisa ditekan. Bagi saya, markanya kasus kekerasan seksual dan kejahatan lain yang terjadi di Indonesia sesungguhnya merupakan cerminan kuat, betapa mandul sistem keamanan kita. Mungkin, kalau dicari kambing hitam ya bisa saja dikatakan, lah... mau gimana lagi, orang masyarakatnya diajak tertib tidak mau. Negara yang harus menjadikan masyarakatnya tertib. Negara punya daya paksa dan memang punya kekuasaan untuk itu. Jangan menunggu masyarakat sadar hukum... tidak akan!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H