Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Yang Tersisa dari Nyoblos: Kok Ga Ada yang Kenal?

11 April 2014   17:19 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:47 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sudah lebih dari 20 menit, seorang ibu ada dalam bilik suara. Sementara antrean di luar semakin panjang dan udara panas. panitia mengumumkan, "ibu-ibu.... yang dicoblos masing-masing surat suara satu saja ya... jangan banyak-banyak. satu coblos partainya, satu lagi coblos calegnya...."

masalahnya kelamaan, bukan karena dia harus nyoblos banyak, tapi ibu itu bilang sambil tertawa lepas, "bingung milih mana neh.... kok ga ada yang kenal?"

padahal ibu tadi di luar sudah mengamat-amati pilihannya yang terpampang di tempat pengumuman. saking seriusnya, rupanya dia berusaha mencari yang kenal. habis waktunya, kemudian pencarian pun dilanjutkan di dalam.

Apalagi, di bagian surat suara itu tidak ada namanya. saya tidak tahu, apa ukuran ibu ini kenal dengan si caleg. apakah asal namanya merupakan nama yang akrab? berbeda dengan ibu itu, saya mencoblosnya juga selain beberapa nama untuk wakil pusat, saya tidak kenal lagi. saya tidak tahu sebenarnya siapa yang saya pilih. bahkan dua nama pilihanpun sekarang saya lupa. meskipun untuk itu kemudian saya bertanya-tanya, apa artinya demokrasi langsung? padahal, saya sudah berusaha untuk searching di internet. hanya ada kolom-kolom singkat tentang profil masing-masing caleg. tidak ada catatan rekam jejaknya. Mungkin saya yang salah masuk kolom calegnya.

5 menit untuk 5 tahun, sebuah satir

Ungkapan-ungkapan yang sangat heroik dan terkesan patriotis sepertinya hanya menjadi satire. semacam sindiran untuk hati nurani. 5 menit untuk 5 tahun. sepertinya bukan untuk para pemilihnya. melainkan untuk calegnya. untuk para pemilih, sepertinya dipaksa untuk membeli kucing dalam buntalan karung yang diperdengarkan suaranya. ini kucingnya si pus, pak. suaranya bagus. pasti kucingnya juga memenuhi harapan bapak. ya, membelinya ibarat berjudi. 5 menit untuk 5 tahun pertaruhan sebuah pilihan yang sesungguhnya bukan pilihan. pertaruhan untuk menebaknya sambil berharap, semoga pilihanku benar.

Bagaimana dengan yang kenal?

ada yang menarik juga. Ini berkaitan dengan yang dikenal beberapa warga. Umumnya, selain menjanjikan sesuatu, mereka juga berinvestasi. apapun modusnya, ini sangat terbaca. ada caleg yang membangun jalan kampung. tapi hanya seperlima. sisanya, nanti kalau saya beneran terpilih ya, bapak ibu.

seorang bapak yang sudah terlanjur apatis terhadap demokrasi (meskipun dia akan nyoblos juga) mengatakan, "halah... paling nanti juga lupa!"

Di dalam sebuah pertemuan lingkungan, untuk caleg yang dikenal mengatakan begini, "pak, saya tahu beberapa caleg di wilayah pemilihan saya. tak satupun yang bersih dari mereka yang murni tidak memainkan money politik. trus saya harus memilih siapa dong?"

Yang lain lagi mengatakan begini, "pak, saya itu sering mati kutu kalau kemudian pertanyaannya dibalik, kalau caleg yang saya pilih ternyata korupsi, kan saya jadi ikut merasa bersalah? pilihan tidak menjamin Indonesia bebas korupsi."

Waktu itu saya menyampaikan bahwa politik itu mulia, terlibatlah di dalamnya. Karena, ini merupakan dasar perputaran roda pemerintahan di Indonesia. tanpa pemerintahan, sebuah negara akan bubar.

akhirnya saya harus menjawab, "dalam prinsip moral, berlaku apa yang disebut dengan prinsip minus mallum. pilihan yang meskipun sama-sama buruk, tapi ada yang keburukannya paling kecil. itulah yang harus dipilih. misalnya ada 3 makanan, satu enak tapi beracun, satu ga enak dan kita ga tahu ada racunnya atau tidak, satunya lagi menjijikkan tapi ada gizinya. pilih mana? kalau ga pilih, mati.

kok ga kenal ya?

akhirnya bisa disiasati dengan ini, percayailah salah satu partainya. ini minus mallum. biarlah partai yang ngurusi orang yang dalam kecelakaan kemudian anda coblos. hehehee... karena bagaimanapun, keadaannya akan menjadi lebih buruk kalau kemudian kita golput. mereka yang jelas-jelas bermain uanglah yang akan menang.

kenapa? dalam logika perekonomian rakyat, sama-sama ga kenal, yang satunya ngasih uang yang lainnya tidak, pilih mana? pilih yang ngasih uang. sekarang, kalau ada yang ngasih uang dan dipilih, lalu yang cerdas merasa berhak untuk golput dan tidak memilih. siapa yang kemudian terpilih? ya jelas, yang tercoblos. meskipun bukan itu yang kita harapkan, bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun