Memperhatikan beberapa tayangan televisi dewasa ini, saya teringat dengan sebuah mata kuliah yang pernah saya ajarkan yaitu filsafat dan etika komunikasi. Pada kesempatan itu, saya mengatakan bahwa semangat asal kerja seringkali harus mengorbankan idealisme. abaikan semua etika yang berlaku dan anda akan aman. ketika anda memperjuangkan etika dan idealisme, anda akan dipersilahkan untuk mundur dan bekerja di tempat lain yang sesuai dengan idealisme yang anda miliki. Yang lain masih banyak yang mau kerja.
Hal itu dalam sharing-sharing mahasiswa setelah perkuliahan ternyata ungkapan itu membekas pada mereka. Â Ada yang mengatakan, memang di dunia nyata (maksudnya dunia kerja) etika tidak berlaku. Tapi ya mau gimana lagi, ini kan bagian dari karier. "daripada saya tidak dapat kerjaan, Â sekarang cari kerjaan susah pak.." kata seorang mahasiswa yang telah bekerja di sebuah stasiun televisi. Yang lainnya mengatakan, "waktu kerja di (dia menyebut sebuah stasiun televisi) saya akhirnya memilih mundur.... tapi nyari kerja tempat lain juga sama... ya sudah akhirnya saya kerja di marketing (sebuah universitas)."
Saya dulu mengatakan bahwa gugurnya etika komunikasi terutama dalam penyiaran adalah menyampaikan kepentingan pemiliknya. Sekarang hal itu sangat kelihatan dalam tayangan-tayangan 2 stasiun televisi besar TVONE dan Metro TV. Â Saya membayangkan bahwa semangat independensi dan objektivitas para jurnalisnya sedang dipertaruhkan. syukur-syukur kalau yang mereka siarkan itu sesuai dengan keinginan mereka. kalau tidak? misalnya, TVONE yang habis-habisan menyorot Prabowo, apakah iya para pekerja medianya juga menginginkan hal yang sama? atau ketika MetroTV menyiarkan berulang-ulang kasus Lapindo, apakah ini sesuai dengan apa yang ada di hati para wartawannya? atau di balik itu mereka juga ditekan, kalau tidak mematuhi komando, karier anda terancam di sini?
[caption id="attachment_309163" align="aligncenter" width="318" caption="gambar dari nasional.inilah.com"][/caption]
Meskipun itu sesuai dengan 'kata hati'nya para jurnalis ini (pekerja medianya), tidaklah cukup kalau pemberitaan tidak berimbang, apalagi sudah diberi opini yang sifatnya adalah mempengaruhi penilaian publik? Jelas dalam bahasa moral saya mengatakan, "jangan pernah mengkhianati 'suara hati'mu!"
Ada yang bertanya, "kalau kita memperjuangkan etika dan idealisme kita ga dapat kerja, kalau kita masuk dalam dunia kerja kan memang harus ikut keinginan pemiliknya, bukankah ini lebih realistis?"
Benar bahwa realitanya semacam itu. Tapi realistis yang semacam ini semu. Pemilik stasiun televisi juga harus patuh pada etika, setidaknya etika penyiaran. Realistis tapi kehilangan idealisme, akan membuat kita terombang-ambing dalam ketidakpastian. Lebih dari itu, kita tidak akan menjadi diri kita sendiri. Diri kita akan menjadi 'liyan' dari jati diri kita sendiri. sederhananya, kita akan menjadi orang lain dalam dunia kerja, lebih dari itu, tubuh dan pikiran kita di sini menjadi mesin dari sebuah sistem komunikasi yang bekerja otomatis. ga cocok, bongkar, pasang yang baru, ga cocok lagi ya bongkar lagi. Begitu seterusnya.
Kalau diperhatikan, selain materi tayangan, metode jurnalisme yang jauh dari etika, juga narasumbernya terkesan kehilangan objektivitasnya. Ada banyak narasumber yang diwawancarai oleh TV ONe dan Metro TV secara bergantian. Artinya, orang yang diwawancarai adalah orang yang sama oleh dua stasiun televisi dengan kepentingan yang berbeda. Menariknya, mereka seperti berbicara dengan mengadaptasi dari mana mereka yang mewawancarai. Kalau pewawancaranya dari TVONE lalu dibuat tidak mengkritik Prabowo. Kalau pewawancaranya dari MetroTV, dibuat tidak mengkritik Jokowi. Padahal narasumbernya seorang akademisi.
Misalnya di TVONE bilang, negara ini butuh pemimpin yang tegas seperti sosok Prabowo. di tempat lain pada hari yang sama, mengatakan di MetroTV, "persepsi publik bisa keliru. Yang seolah-olah tidak tegas seperti Jokowi, sesungguhnya bisa sangat tegas. bahkan kemarin saya didatangi pengusaha, dia bilang Jokowi ini sebenarnya sangat tegas loh!"
.....................
Sesungguhnya pemilihan materi, pemilihan narasumber, dan pemilihan objek sudah memuat unsur ketidakobjektifan. Â Memang sulit untuk objektif secara total. bukan hanya sulit, mustahil. Nah, hal ini akhirnya disiasati dengan sistem keberimbangan dan independensi. Maka prinsipnya adalah berikan kepada pemirsa apa yang menjadi hak pemirsa, berikan kepada pemilik stasiun tivi apa yang menjadi hak mereka. keduanya harus proporsional.
Saya, meskipun butuh berita, akhirnya bosan dengan berita yang kesannya 'penjilat' atau menjelek-jelekkan pihak tertentu secara politis dengan tidak proporsional. Beruntunglah masih ada berita lain yang cukup indepen dalam penyiarannya seperti KOMPAS TV dan TVRI. Sementara, kalau diperhatikan TVONE terkesan lebih 'mekso' ketika memberitakan Prabowo. MetroTV unsur  'mekso'nya relatif lebih sedikit ketika memberikan pemberitaan. Selain itu, masih ada sedikit pertimbangan keberimbangan berita antara dua kandidat, meski sangat kelihatan keberpihakannya.
Akhirnya, kalau media dan akademisi sudah kehilangan idealisme, ke mana lagi kemudian masyarakat akan belajar politik secara sehat melalui komunikasi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H