Dari ribuan saksi yang disiapkan, MK membatasinya jadi 25 saja. Akhirnya  dari 2000 terpilihlah 25 saksi. Pengandaiannya, pemilihan itu melalui seleksi yang ketat dan saksi-saksinya kredibel untuk menyampaikan kesaksian bahwa memang ada kecurangan yang sistematis, terstruktur dan massif. Sayangnya, persidangan kemarin justru menyajikan semacam lawakan ketika saksi-saksi yang dihadirkan sepertinya jauh dari kapabilitasnya secara hukum.
Ada yang tidak nyambung, ada yang tidak tahu, ada yang menangis bahkan sampai diancam diusir. Mungkin inilah arti kejutan yang diklaim pihak Prabowo Hatta. Bahasa hukum adalah bahasa yang baku, jelas, dan formal. Sejak Prabowo open mic dengan curhatannya yang berapi-api yang mengatakan bahwa pemilu di Korea Utara saja masih lebih baik sampai tangisan saksi, memperlihatkan bahasa-bahasa yang jauh dari suasana formal dunia yuridis.
Padahal bahasa dan tentu yang diharapkan dalam hukum adalah kejelian-kejelian secara detail kesaksiannya sehingga memadai untuk dihadapkan pada hukum. Saya sendiri malah jadi 'kasihan'dengan saksi-saksi terpilih yang meskipun akrab dengan dunia politik, nyatanya kelihatan awam dengan dunia hukum. Misalnya saja, ada nama Purwanto yang ditanyai tentang politik uang. perhatikan pertanyaan dari hakim, "peristiwanya apa? siapa saja? dampaknya apa?"
Ia justru membacakan apa yang sudah disiapkan yang tidak nyambung dengan pertanyaan hakim MK. Tidak ada hubungannya dengan money politik, apalagi berkaitan dengan pertanyaan Hakim MK. Ketika menyaksikan itu, saya sendiri jadi bingung dan kasihan. Mereka berada dalam dua koridor yang berbeda. Perhatikan saja, banyak sekali jawaban-jawaban saksi lain yang jawabannya lupa, tidak ingat, tidak tahu, tidak bawa. Kalau jawabannya demikian, bagaimana kemudian hukum akan memutuskan kalau gugatannya tidak bisa diverifikasi? Bahkan ada yang kemudian diminta "jujur saja, anda sudah disumpah!". Kemudian jawabannya tidak dan dengan demikian melemahkan kesaksiannya sendiri.
Kita tentu berharap bahwa kubu Prabowo Hatta tidak menuding para hakim MK berpihak. Pertanyaan-pertanyaan terhadap kesaksian itu merupakan pertanyaan yang wajar dalam dunia hukum. Saya kira, dari ribuan advokat yang ada di belakang Prabowo Hatta juga menyadari hal ini. Dan tentu saja, publik pantas kecewa bahwa para saksi terpilih ternyata tidak begitu serius dipersiapkan secara detail.
Memang kalau dicermati, apa yang dituduhkan dalam gugatan ini terlihat ilmiah dan bahasanya sangat menarik, sistematis, terstruktur, dan massif. Tentang pengertian dan apologinya tentu saja sudah banyak dibahas kedua belah pihak. Hanya saja ketika harus membuktikan, menjadi kesulitan. Istilah-istilah itu bahasa ilmiah yang dilontarkan oleh seorang profesor Amin Rais. Bagus secara ilmiah. Tapi secara hukum, justru bisa menjadi bumerang. Pengandaian struktural itu seperti organisasi. Anggota KPU jumlahnya ribuan. Apakah individu-individu itu secara keseluruhan kehilangan idealisme dan netralitas? belum lagi dalam kaitannya dengan struktural pemerintahan, kubu Prabowo Hatta justru lebih punya modal sosial dibandingkan Jokowi yang pendukungnya tidak sampai 40% dari para kepala daerah. Ungkapan massif juga agak lemah ketika melihat kesaksian yang menunjukkan sifat kecurangan yang dituduhkan sporadis dan tersebar-sebar. Kalau mau membuktikan kan seharusnya cukup dengan menunjukkan strukturnya. siapa yang memimpin, lalu kecurangannya bagaimana. Kita ibaratkan sebuah organisasi, ketuanya siapa, sekretarisnya siapa, visi misinya apa, terus gerakannya bagaimana. Yang disampaikan oleh para saksi kemarin jauh dari sebuah struktur dan sistem. Massanyapun kemudian anonim, tidak jelas.
Mereka sepertinya menganggap bahwa pihak lain adalah pihak yang bodoh dan kehilangan idealisme. Dalam hal ini KPU, Pejabat pemerintahan, dan BAWASLU. Misalnya saja, penambahan jumlah suara yang seharusnya sampai ada tambahan lebih dari 50%. Tuduhan itu sesungguhnya serius, seperti orang yang terlibat dalam pengubahan jumlah suara itu tidak bisa berfikir secara logis.
Dengan melihat suasana kesaksian semacam itu, saya menangkap banyak hakim yang gemas. Misalnya ungkapan, "aahhh... anda main-main,"
"Laporannya besok lagi supaya lengkap, ya... besok lagi ajarin caranya laporan!"
"Kalau datanya tidak bisa diverifikasi, jangan dijadikan barang bukti"
Akhirnya persidangan menjadi peristiwa dagelan a la Comic 8. Dari pihak Prabowo Hatta tersekesan menyalahkan para hakim MK karena membuat tekanan-tekanan psikologis yang menjadikan para saksi menjadi ngehank.
"Kami sudah ajak bicara, ini berbeda dengan yang diterangkan. Kami sering berembuk dengan mereka (Saksi). Apalagi diledek-ledek karena sudah terbiasa dengan bahasa Jawanya, ketika diledek, jadi blank dia. Mestinya tidak itu yang dilakukan (Hakim MK). Seharusnya dituntun seperti apa, kalau misalnya memang mau seperti itu," kata Makdir Ismail.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H