Apa yang akan tulis kalau kita tidak pernah membaca? Jadi siapa bilang menulis itu susah? Ga... menulis itu gampang. Asalkan rajin membaca. Wkwkwkwkwkk...
Gara-Gara Rajin Ke Toko Buku, Bisa Jadi Dosen Terbaik. Dokumentasi Pribadi
Ini adalah curhatan saya. Saya ini tergolong rajin untuk pergi ke toko buku. Kadang telpon dulu apakah ada buku tertentu di toko itu. Kalau ga ada ya sudah. Tergantung mood ajah. Kalau lagi mood kadang gambling, pergi ajah ke toko buku, siapa tahu ada yang menarik. Tergantung toko bukunya, saya sebagai pecinta buku-buku sosial relatif mudah untuk menemukan buku-buku yang menarik. Meskipun tidak seberapa banyak, tapi selalu saja ada judul-judul yang menarik. Untung-untung, ada bazar buku murah. Pasti saya buru tuh! Bayangkan buku yang biasanya dijual ratusan ribu rupiah, tiba-tiba saja jadi seharga 20an ribu. Bahkan kurang dari itu. Hanya saja, kemungkinan besar adalah buku-buku lama. Tapi tentang pengetahuan, tak ada pengetahuan yang terlambat. Katanya Bung Hatta, lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Nah, yang menyenangkan lagi adalah buku lama, langka, penting, tapi murah. borong ajaaahhh!!!
Kadang kala, ketika masuk sebuah toko buku, saya berfikir, kalau hanya menulis kayak gini mah, sebenarnya aku juga bisa. Serius! saya sering berfikir seperti itu. Apalagi banyak tulisan yang isinya sama satu dengan yang lain. Tidak terlalu baru meski itu edisi baru. Kadang juga saya terlanjur beli buku dan kecewa karena isinya bahkan copy paste dan banyak didapati di internet. Apalagi dengan metode ini, jelas siapapun bisa asal sudah mengenal mouse komputer. Makanya, jujur saja, tidak seratus persen buku yang saya beli saya baca semuanya. Herannya, buku-buku a la copy paste itu tidak banyak dituntut secara hukum. Setidaknya bagi saya pribadi, saya kehilangan respek kepada tulisan-tulisan semacam itu dan tentu saja kepada penulisnya.
Yang membuat saya yakin bahwa saya bisa menulis adalah buku-buku yang ternyata ditulis oleh orang-orang yang saya kenal. Ada kakak kelas saya, ada adik kelas saya, ada juga teman sekelas saya. Yang bikin gemes adalah saya tahu persis teman sekelas saya ini dulu tidak suka membaca apalagi menulis. Kelulusannya pun pas-pasan. Hanya dia orang baik. Ketika saya ke Gramedia, toko buku, rasanya makan atiii. Yah... ini orang dulu belajar saja sering aku bantu, skripsinya bisa dipublikasikan. Blaik!!!
Ada juga tulisan dari kakak kelas, teman bermain-main sepeda. Kebetulan dia warga kompasiana juga. Dengan pengalaman seperti ini, akhirnya saya bertekad untuk membuat tulisan. Menghubungi penerbit untuk menerbitkan tulisan, selain beberapa waktu yang lalu saya sudah menerbitkannya secara indie. Pasarnya jelas, karena saya pengajar. Hehehehe... Tapi kemudian, tulisan saya juga diminta untuk diterbitkan secara lebih luas. Alhamdullilah!!! Sedang proses....
Kalau dia saja bisa, masa saya ga bisa, kalau kayak gini ajah lolos, masa saya ga bisa lebih baik
Memang nama sering kali berpengaruh pada publikasi. Tapi untuk memperoleh nama tanpa memulainya, kapan kita punya nama. Dan inilah faktanya, ketika saya menulis, temanya menjadi sangat beragam. Sering kali saya terlalu sombong, kalau dia saja bisa masa saya ga bisa. Tapi menurut saya kesombongan diperlukan dalam rangka memotivasi diri. Kesombongan yang diakui itu tidak lagi menjadi kesombongan. Hahahaa... tapi kerendahan hati kalau dibanggakan, bisa bermakna kesombongan. Pusing ah... yang jelas, saya berfikiran semacam itu. Saya pasti bisa.
Sementara ini, untuk mengisi kebosanan saya sambil menulis sebuah proyek buku, saya menulis di blog dan tentu saja di Kompasiana. Selain di milis dan di web tempat saya mengajar. Mengapa Kompasiana bisa sampai menjadi pilihan saya? dulu... saya membaca sebuah buku yang kemudian menjadi sukses. Tetralogi Pak Beyenya Wisnu Nugroho. Nah, dalam salah satu pengantarnya dia menyuruh kita membayangkan, dalam Kompasiana, tulisan kita bisa dibaca jutaan orang. Saya punya blog. Hampir tidak ada yang membaca tulisan saya. hahaha...
Tapi aneh, ketika saya minta mahasiswa nulis makalah, eh, dia copy paste dari blog saya. Utuh. Mangkelke kan? Ada lagi yang saya minta untuk mencari referensi, eh... nemu-nemu referensi ya hanya di blog saya. Katanya, kok fotonya beda, pak. Ya, intinya saya nulis di Kompasiana karena warganya banyak. Saya sendiri jarang berkunjung ke tulisan-tulisan warga lain, kecuali memang menarik. Tapi, dalam tulisan ke berapa, entahlah saya lupa, tulisan saya sudah menjadi HL. weeee.... Tapi saya senang, tulisan itu jadi HL. Karena up to date. Tapi, tulisan yang saya susun dengan serius malah jarang nangkring di HL. Untungnya, tulisan saya juga sering nangkring di trending articles.
Hal lain yang mendorong saya untuk nulis di Kompasiana adalah banyaknya buku-buku yang diterbitkan oleh warga kompasiana. Jelas ini menginspirasi. Akan lebih menginspirasi memang, kalau kita datang ke toko buku dan melihat buku-buku mereka. Seruuu.... Sekali lagi, kalau mereka saja bisa, masa kita ga bisa. Akhirnya saya meyakinkan diri, pasti bisa. Yang penting harus banyak asupan bacaan untuk jadi referensi. Membaca, menimbulkan libido untuk menulis yang besar. Apa yang kita dapatkan, ingin kita tuangkan sebagai sebentuk karya.
Survival Of The Fittest
Hukum yang terjadi di Kompasiana itu hukum rimba. Kalau dalam teorinya Baudrillard terjadi ledakan informasi secara implosif. Ledakannya, ke dalam, bukan keluar. Banyak sekali tulisan baru yang muncul bersamaan dengan informasi yang bisa diakses. ledakan itu ke dalam, bukan keluar. Ledakan itu menambahi pengetahuan kita, masuk ke dalam otak kita yang bytenya terbatas. Saya belum pernah mendata, berapa tulisan yang diposting di Kompasiana. Yang jelas banyak.
Oleh karena itu berlakulah seleksi alam a la Kompasiana. Yang menarik bisa bertahan agak lama. Yang tidak menarik ya sudah lewat saja jadi dokumentasi pribadi. Para ilmuwan pun sebenarnya 'wawang' dengan kondisi semacam ini. Kita tidak nonton televisi 3 hari saja sudah menjadi orang yang gagap informasi. Apalagi tekhnologinya. Makanya, tulisan kita bertahan sehari saja di Kompasiana itu sudah dianggap lama. Itu prestasi. Dan di sinilah saya merasa kadang merasa tidak enak, sudah nongkrong di HLnya Kompasiana, malah responnya sedikit. Sementara yang sekedar trending articles malah banyak yang nge'vote'.
Tapi inilah pembelajaran. pembelajaran untuk bisa menulis secara populer sehingga tulisan kita banyak dikonsumsi orang. Bagi saya pribadi, rajin membaca, rajin membeli buku, dan rajin menulis, menjadikan saya PD untuk mengajar karena saya menjadi kelihatan cerdas dan berwawasan luas di depan para mahasiswa saya. Rajinlah ke toko buku, banyak inspirasi menggoda untuk menulis!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H