Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

#SaveAhok: Ahok Lebih Bermartabat daripada Barisan Fadli Zon dkk

11 September 2014   18:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:59 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lepas dari cibiran sebagian pihak bahwa Ahok terlalu percaya diri mengandalkan dirinya pada 'pilihan' rakyat, saya ingin membaca Ahok dalam kacamata moral yang lebih jernih. Ada satu hal yang dilupakan oleh para seteru Ahok ini yaitu bahwa Ahok lebih taat pada hati nuraninya. Ketaatan ini mengatasi oportunisme partai maupun rakyat.

Beberapa waktu yang lalu, ketika banyak yang merasa Ahok terlalu kasar dan tidak sopan, ia bahkan berani menantang kalau memang kinerjanya tidak baik, ya silahkan saja dilengserkan. Kebijakannya juga pernah ditentang barisan preman bersama H. Lulung dan dia berpegang pada konstitusi ketika menangani tanah Abang. Ini artinya memang dia melihat adanya nilai yang harus diperjuangkan. Perjuangan akan nilai-nilai etis, jauh melampaui sopan santun.

Sekedar perbandingan saja, saya jadi ingat dengan tokoh Tan Malaka yang dianggap terlalu ekstrim karena tidak mau berdialog dengan pemerintahan Hindia Belanda. Banyak partai di Indonesia yang waktu itu menjalankan politik kooperatif. Menyikapi hal itu, Tan Malaka bilang, "Tak ada tuan rumah yang berunding dengan maling di rumahnya sendiri."

Ya... kepada maling-maling, rasanya tak terlalu diperlukan sopan santun. Mungkin prinsip ini yang digunakan Ahok juga kepada mereka yang dianggap menghalangi kebijakan-kebijakan yang dianggapnya baik. Menggunakan gaya bahasa iklan saya ingin mengatakan, "gue suka gaya Lo, Hok!"

.......................

Mendengarkan suara hati, itu artinya harus siap berkonflik dengan kebanyakan pihak yang suara hatinya telah tumpul. Bahkan kadang harus berkonflik dengan dirinya sendiri. Dan saya rasa, Ahok sudah sangat terlatih dalam menaati suara hati atau hati nurani ini. Meskipun kadang bahasanya ada dalam analogi yang religius. Tak ingin menjadi Yudas. Yudas adalah pengkhianat sang guru kebenaran. Ahok tidak ingin menjadi pengkhianat kebenaran hati nuraninya. Saya sering menggunakan contoh begini: kalau kita naek sepeda motor dan melewati lampu merah yang menyala merah. Ketika ada 5 motor yang menerobos lampu merah, anda sendiri yang berhenti. Siapa yang akan disalahkan? Meskipun benar, yang sendirian jadi salah.

Ahok sepertinya sedang berusaha menaati rambu di hatinya. Sayangnya, dia seperti sendirian. Kawan-kawannya separtai adalah pelanggar-pelanggar yang sepertinya benar dan karena temannya banyak lalu merasa benar.

Tentang RUU PILKADA

Hampir tidak ada alasan yang cukup kuat untuk mengajukan dan mengesahkan RUU yang semula bersifat pemilihan langsung kemudian kembali ke sistem perwakilan. Tidak ada. Kata efektifitas, itu hanya mencari-cari. Lebih hemat? omong kosong.  Yang akan muncul hanyalah lobi-lobi politik. Yakin tidak akan ada permainan politik uang di sana?

Kecuali pilihan masyarakat sudah tepat dan benar, ya silahkan saja dipercayakan kepada mereka. Lha wong sekarang saja, dengan model pemilihan langsung, anggota DPR dan DPRD sudah banyak yang masuk tahanan KPK, bagaimana dengan model pemilihan tidak langsung?

Untuk menguji kebaikan RUU tersebut gampang, lihatlah sistem itu akan diterapkan sementara atau permanen? kalau hanya sementara dan itu tidak mendesak, pastikan bahwa ini hanya kepentingan politis sesaat. Sementara kalau sistem yang diundangkan bisa permanen berarti memang ada kepentingan jangka panjang yang diperjuangkan.

Yang kedua kita bisa melihat integritas orang-orang yang mengusulkannya. Kalau orang-orang yang mengusulkannya adalah orang-orang yang punya integritas politik yang baik, barulah kemudian publik pantas mempercayai dan mendukungnya. Dalam hal ini, kita bisa melihat integritas tokoh-tokoh koalisi merah putih seperti Fadli Zon, Amin Rais, Surya Dharma Ali, Akbar Tanjung, Abu Rizal Bakrie, dkk. Publik sudah cukup cerdas untuk menilai integritas mereka dan pemikirannya.

Amin Rais adalah seorang tokoh yang dulu getol menyuarakan pilkada langsung dan sekarang menyesalinya. Konon dengan sistem pilkada langsung, justru banyak kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Jadi pilkadanya sebaiknya tidak langsung. Ibarat gatal di jari, amputasi tangan biar ga lagi gatal.

Dukung gerakan Save Ahok

Tokoh tokoh yang menolak rencana undang-undang pilkada adalah tokoh-tokoh yang baik di mata masyarakat. Selain Ahok ada bu Risma, ada Ridwan Kamil, ada Ganjar Pranowo, dkk. Maka, munculnya gerakan save Ahok merupakan sebuah gerakan bersama dengan tokoh-tokoh itu yang kemudian berupaya untuk melawan upaya Fadli Zon dkk.

Logika masyarakat memang berbeda dengan logika elite partai. Kebetulan saya adalah bagian dari masyarakat yang kebetulan mendengar langsung di masyarakat yang lebih setuju pada pemikiran Ahok daripada Fadli Zon. Menariknya, mereka yang setuju pemikiran Ahok ini adalah mereka yang dulu juga mendukung Prabowo. Untunglah, kini mereka bertobat. hehehehe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun