Dapur menjadi tempat favorit saya di rumah. Barangkali saya tidak sendirian. Tetapi jangan salah. Saya bukan termasuk yang pintar memasak meski saya mencintai dapur. Saya hanya merasa harus berada di dapur pada jam-jam tertentu setiap hari. Memastikan keluarga mendapatkan makanan dan minuman yang cukup dan baik. Terutama anak-anak karena mereka berada dalam masa pertumbuhan.
Klise ya? Tapi bagi saya, memasak menjadi keterampilan yang harus dikuasai. Baik laki-laki maupun perempuan. Itulah alasan saya mewajibkan anak-anak saya ke dapur. Paling tidak mereka harus bisa membuat masakan sederhana. Nasi goreng, cap jai, sayur sop, sayur asem, goreng ikan, orak-arik telur, untuk menyebut beberapa. Keterampilan ini akan sangat dibutuhkan jika suatu saat mereka berada jauh dari orang tua. Kuliah misalnya.
Karena saya bekerja, mayoritas masakan yang saya buat simpel dan anti ribet. Tumis sayur, sayur bening, goreng ikan, ikan bumbu kuning, ayam kecap, tahu-tempe, bali tahu-telur. Muter ke situ lagi. Baru pada hari libur, saya balas dendam. Mengeksplorasi masakan. Membuat pepesan, bothok, sayur-sayur bersantan misalnya. Mengapa harus menunggu hari libur? Karena saya bisa leluasa mengulek bumbu di atas cobek tanpa terburu-buru dan memeras kelapa parut untuk mendapat santannya dengan sempurna.
Seiring perkembangan teknologi, mengulek bumbu segar ini termasuk keterampilan langka. Banyak orang beralih ke blender, chopper, untuk menghaluskan bumbu yang akan dimasak. Atau bahkan beralih ke bumbu instan. Namun, saya tetap setia mengulek manual. Menurut saya, bumbu yang diblender rasanya berbeda dengan bumbu ulekan manual. Ulekan manual bisa mempertahankan rasa dan aroma bumbu aslinya. Entahlah.
Saking senangnya saya mengulek, saya mempunyai beragam ukuran cobek. Mulai dari yang kecil, sedang, besar, dan jumbo. Itu menjadi alasan seorang sahabat menghadiahi saya cobek plus ulekan batu ketika saya menempati rumah baru. Sampai sekarang, cobek plus ulekan itu selalu saya pakai setiap menghaluskan bumbu segar.
Dengan setengah bercanda saya bilang ke sahabat saya tadi, "Setiap kebahagian atas masakan yang kubuat, ada pahala buatmu,"
"Kok bisa?" tanyanya heran.
"Ya, karena aku menguleknya dengan cobek dan ulekan darimu," jawab saya mantap.
Dia tertawa saudara!
Ngomongin sahur, sekarang bagaimana menyiasati makan sahur yang gampang dan anti ribet.
Gampang. Siapkan sore atau malam hari sebelumnya. Misalkan mau menumis sayur. Semua sayur dipotong-potong malam harinya. Dimasukkan dalam wadah tertutup dan disimpan di kulkas. Menjelang sahur, baru diproses.
Mau membuat ayam goreng? Ayam diungkep dulu, disimpan dalam wadah tertutup dan dimasukkan di lemari es. Yang dimaksud dengan mengungkep adalah merebus ayam dengan bumbu tertentu. Bumbu dasarnya kunyit, bawang putih, ketumbar, jahe, daun jeruk (optional). Bumbu rempah tersebut memberikan citarasa tersendiri untuk olahan ayam yang nikmat.
Ketika hendak sahur baru digoreng. Ini akan menghemat waktu dibanding jika harus diungkep dulu saat menjelang sahur. Butuh proses agak lama kan mengungkep ayam sampai bumbu meresap, daging empuk, dan gurih. Apalagi api yang digunakan harus kecil supaya bumbu meresap sempurna. Bisa-bisa sampai imsak... hahaha.
Untuk makan sahur, Â anak-anak suka yang tak berkuah. Mungkin perut masih kaget menerima makanan berat di awal hari. Untunglah, saya masih bisa memasak sayur untuk berbuka. Kalau tidak, kan bisa sembelit...
Jadi, nasi putih, ayam goreng, dan sambal sudah sangat nikmat katanya. Ditambah buah dan mungkin sepotong kue. Minumnya teh hangat atau air putih sudah cukup. Itu makan sahur kami tadi pagi. Kamu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H