Mohon tunggu...
Hermawan Diasmanto
Hermawan Diasmanto Mohon Tunggu... Petani - Buruh Tani

Buruh Tani di Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Goblok!"; Sedikit Catatan dari Novel "Para Priyayi" Karya Umar Kayam

14 Desember 2024   02:18 Diperbarui: 14 Desember 2024   14:18 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat beberapa waktu kemarin sempat viral di media sosial, "Goblok!" jadi menarik buat ditulis. Meski sedikit, tapi setidaknya saya pada akhirnya memutuskan menuliskannya di sini.

Ya, saya mau menyimak "Goblok!" dari sudut pandang antropologis (berdasar latar belakang akademik saya) yang sudah sekian lama sekali "tutup buku" karena harus mengikuti "jalan menikung" (ini juga jadi salah satu judul novel karya Prof Kayam, yaitu Para Priyayi 2; Jalan Menikung).

Catatan antropologis yang saya maksud pada tulisan ini, yaitu merujuk pada novel Para Priyayi karya Umar Kayam (beliau adalah salah satu guru besar fakultas ilmu budaya Universitas Gadjah Mada di era 1990-an).

Berdasar catatan di buku tersebut, novel "Para Priyayi" diterbitkan kali pertama  pada 1992 oleh PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, dan pada buku yang saya punya, sudah dicetak ulang sampai 11 kali di 2003.

"Goblok!" dalam novel "Para Priyayi", saya temukan di halaman 10, begini kutipannya:

"Bedes, monyet, goblok, anak kecu, gerombolan maling ...... Umpatan seperti itu biasanya berlompatan keluar bila saya sudah dianggap keterlaluan bodoh dalam menjalankan tugas. Dan tugas yang dianggapnya gawat untuk tidak boleh dilaksanakan dengan kesalahan adalah, misalnya, mendapat uang dari Embah Guru Putri pada waktu Embah Guru Kakung kalah di meja kesukan, meja permainan kartu cina, dan uangnya mulai habis"

"Dan Embah Guru yang penuh humor itu akan seketika berubah menjadi makhluk yang lain sekali. Menakutkan. "Guoblok! Disuruh minta uang saja tidak bisa. Dasar anak Gento, anak maling cecrekan ...." (Pata Priyayi, halaman 10).

Dua kutipan di atas (semoga mewakili) menjadi referensi bahwa "Goblok!" adalah (1) umpatan, makian, (2) dilisankan oleh penutur dalam keadaan marah, dan (3) penutur bisa saja adalah seorang yang humoris, berpendidikan, dan atau punya jabatan sosial mentereng di masyarakat.

Yang menarik di sini, "Goblok!" pada Para Priyayi diceritakan tidak sampai membawa dendam. Tidak pula berkelanjutan menjadi sebuah kebencian. Karena "Lagi pula Embah Guru hanya keluar umpatannya tentang ayah bila beliau kalah main" (Para Priyayi, halaman 11).

Jadi, kenapa seorang priyayi yang humoris, penyabar, guru, terpandang di masyarakat, bisa sampai mengumpat, memaki? Karena marah, kalah main dan saat menugaskan anaknya buat minta tambahan uang ternyata gagal, sehingga membuatnya malu. 

Untuk kejadian yang sempat viral di media sosial kapan hari, buat saya pribadi memang kurang etis di saat kegiatan ceramah atau pengajian sedang berlangsung, pedagang malah berkeliling menjajakan dagangan di tengah jamaah yang mestinya mendengarkan topik keilmuan dari seorang dai atau penceramah (siapapun tokohnya).

Apakah pihak penyelenggara tidak menyediakan konsumsi untuk jamaah? Mengapa penyelenggara membiarkan pedagang menjajakan dagangan di saat ceramah sedang berlangsung? Bukankah kegiatan dagang keliling saat ceramah berlangsung itu berpotensi mengganggu konsentrasi audiens? Dimana letak nilai sebuah kegiatan yang merupakan pengkajian ilmu agama? Apakah kegiatan atau acara yang berlangsung saat itu tidak  terlalu bernilai sehingga kegiatan dagang keliling pun tetap dibolehkan?

Saya coba membayangkan, pada saat konser musik, yang mendatangkan bintang atau diva musik kondang, atau saat ada studium generale pengukuhan guru besar, atau saat ada kegiatan ceramah umum bukan pengajian, pedagang minuman dibolehkan berkeliling di tengah audiens yang mestinya sedang menikmati acara. Asik kali ya? Atau mungkin akan ada juga "Goblok!" dari pembicaranya?

Ah, ... sudah sudah. Saya jadi teringat ke Prof Kayam (almarhum). Setidaknya, lagi, buku Para Priyayi yang jadi referensi saya di tulisan ini, mengingatkan saya kepada beliau, juga pada satu bidang ilmu yang sempat saya pelajari; antropologi budaya.

"Al-faatihah" saya kagem Prof Kayam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun