Mohon tunggu...
Hermawan Diasmanto
Hermawan Diasmanto Mohon Tunggu... Petani - Buruh Tani

Buruh Tani di Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Urgensi Sertifikasi Halal Produk Pangan Olahan

2 Mei 2024   21:35 Diperbarui: 2 Mei 2024   21:50 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Undang-undang No.33/2014, tentang Jaminan Produk Halal, rencananya akan mulai efektif berlaku pada 17 Oktober 2024 mendatang. Itu berdasarkan flyer sosialisasi yang diproduksi Kementerian Agama Republik Indonesia jauh hari, bahkan sebelum pandemi 2019 lalu. Pemerintah pun, melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama RI, memfasilitasi utamanya kepada para pelaku usaha makanan minuman skala mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dengan program bertajuk SEHATI (Sertifikasi Halal Gratis), yang sekarang ini masih bergulir. Dalam naskah ini, saya ingin berbagi tentang urgensitas sertifikasi halal untuk produk pangan olahan yang beredar di masyarakat.

Setidaknya, ada tiga poin yang saya bold di tulisan ini:
1. sebagai syiar Islam tentang pangan halal
2. konsumen dijamin mengkonsumsi produk pangan yang terolah secara terukur
3. adanya segmentasi produk halal di masyarakat

Final dari ketiga poin di atas adalah ummat Islam mendapatkan barokah Allaah ta'aala dan terjaga dari mengkonsumsi produk pangan tidak halal.

Pertama, ini adalah syi'ar Islam bahwa Pangan Halal itu bagian dari syari'at Islam. Indonesia mayoritas penduduknya gberagama Islam. Perlu dijamin bahwa produk pangan yang beredar di pasaran merupakan produk halal. Penentuan klausul Halalnya pun datang dari Allaah ta'aala, yaitu: 

yaa ayyuhan-naasu kuluu mimmaa fil-ardli halaalan thayyibaw wa laa tattabi'uu khuthuwaatisy-syaithoon, innahuu lakum 'aduwwum mubiin

"Wahai manusia, makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia (setan) bagimu merupakan musuh yang nyata" (QS Al-Baqoroh [2]: ayat ke-168).

..

hurrimat 'alaikumul-maitatu wad-damu wa lamul-khinziiri wa maa uhilla lighoirillaahi bihii wal-munkhoniqotu wal-mauquudzatu wal-mutaraddiyatu wan-nathiiatu wa maa akalas-sabu'u illaa maa dzakkaitum, wa maa dzubia 'alan-nushubi wa an tastaqsimuu bil-azlaam, dzaalikum fisq

"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang (sempat) kamu sembelih. (Diharamkan pula) apa yang disembelih untuk berhala. (Demikian pula) mengundi nasib dengan azlm (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik" (QS. Al Ma'idah [5]: ayat ke-3). 

Bagian awal dari ayat ke-168 dari Quran Surat Al-Baqoroh (surat ke-2 dalam Al-Qur'an) menyebutkan bahwa Allaah ta'aala menyeru ke seluruh umat manusia, bukan cuma ke ummat Islam saja, untuk mengonsumsi makanan halal dan baik. Halal itu, selain dari jenis bahannya, termasuk pula cara mengolah dan cara mendapatkannya. Klausulnya disebutkan pada ayat ke-3 Surat Al-Maidah (surat ke-5 dalam Al-Qur'an), seperti disebut pada artian kutipan di atas.

Kedua, Regulasi UU No.33/2014 tentang Jaminan Produk Halal merupakan upaya nyata pemerintah RI melindungi warganya, memudahkan, sekaligus menjamin, ummat Islam dalam mendapatkan produk pangan halal di pasaran. Mengapa harus halal?

Produk pangan halal itu diproduksi secara terukur. Tidak diproduksi secara asal-asalan. Produk yang dihasilkan secara terukur, sudah pasti adalah produk yang diusahakan terbaik oleh produsennya. Mulai dari memilih asal-usul bahan bakunya, cara mendapatkan bahan baku yang akan dijadikan produk pangan, cara pengolahannya, cara pengemasannya, sampai cara penjualannya. Semuanya terukur. Maka itu jelas produk halal adalah produk olahan yang sudah diusahakan terbaik oleh produsennya. Dan, ini, dijamin oleh pemerintah lewat regulasi UU No.33/2014.

Ketiga, setelah produk halal dan bersertifikat beredar di masyarakat, akan muncul segmentasi market. Ini produk halal. Itu produk tidak halal. Produk halal, bisa dibeli dan dikonsumsi oleh siapapun, yang nantinya ditandai dengan penyematan logo halal resmi dari pemerintah RI, yaitu logo dan nomor ID Halal. Muslim maupun non-muslim. Sementara produk tidak halal, segmentasi konsumennya pun jelas; non-muslim.

Jadi, tidak semua pengusaha produk pangan diWAJIBkan mengurus sertifikat halal. Hanya yang produk pangan olahan, yang menyasar konsumen muslim saja, yang wajib mengurusnya. Toh tidak akan terjadi, pengusaha makanan berbahan daging babi dan turunannya, mengurus sertifikat halal. Tidak akan pula ada pelarangan menjual makanan atau produk berbahan daging babi. Karena konsumennya sudah tersegmentasi.

Demikian sedikit uraian dari saya tentang urgensi Sertifikasi Halal produk pangan olahan. Sebagai seorang muslim, saya ikut peduli dan tentunya juga terjaga oleh kebijakan pemerintah akan jaminan produk halal ini. Dimanfaatkan ya, kesempatan yang diberikan oleh pemerintah, yaitu memfasilitasi pengurusan sertifikat halal gratisnya. Insyaa Allaah barokah buat kita semuanya. Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun