Karena kembali yang terjadi adalah, ketika semuanya dikomentari dengan tidak berpadanan dengan sikap hidupnya, sama seperti tulisan pepatah di atas. Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui ? Jujur saja, terkadang penulis merasa bingung dan terkesima dengan manusia ciptaan Sang Khalik yang memiliki karakter perfect seperti ini.
Dan penulis membayangkan. kalau melihat manusia dengan tipe perfectionis seperti ini lebih dekat lagi di dalam kesehariannya, yang rasanya terkadang terus saja menghakimi lingkungan di sekitarnya, bahkan bisa jadi terus menghakimi isteri dan anak-anaknya yang harus sesuai dengan ukurannya. Apakah itu tidak capai ? Seperti halnya kalau penulis ditawari kopi pahit oleh kawan-kawan di dalam komunitas. Penulis akan selalu katakan. Hidup itu sudah pahit, janganlah ditambah lagi dengan kopi pahit. Aha !
Mungkin tanpa memiliki karakter perfect pun, tanpa sadar kita pernah menghakimi orang lain dengan kadar yang berbeda-beda dengan alasan yang tidak dibuat-buat sesuai ukuran kita masing-masing. Dan mendadak menjadi teringat sebuah kalimat bijak. Janganlah kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.
Obrolan lewat hape dengan kawan lama berakhir, ketika dia memberi tahu kalau dia sudah berkeluarga dan memiliki dua orang anak yang sudah beranjak dewasa. Dan penulis hanya bisa berkata dalam hati sambil mengatakan terima kasih Tuhan, sudah memberikan kopi yang tidak pahit lagi buat kawan lama ini. Tepat saat itu kuota hape penulis ini habis. Begitu.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H