Menikmati gerimis yang tiba-tiba saja turun tanpa permisi di pagi hari dengan secangkir teh manis dan pisang goreng yang disediakan isteri tercinta adalah sesuatu sekali. Sambil mengobrol dan membahas apa yang akan dikerjakan sepanjang hari ini, mendadak hape berdering dari seorang kawan yang sudah lama tidak berkomunikasi dengan penulis. Mungkin sudah lebih dari tiga puluh delapan tahun. Sebuah ukuran waktu yang cukup lama.
Ingatan penulis mendadak terbuka, seperti halnya membuka buku silat Kho Ping Hoo yang terkenal jaman saat itu. Mungkin untuk generasi sekarang yang sudah pensiun, seperti halnya penulis, tentu mengenal sosok Kho Ping Hoo atau Asmaraman Sukowati seorang penulis cerita silat yang sungguh sangat terkenal di negeri khatulistiwa. Tulisannya sangat dikenal memberikan kontribusi yang tidak sedikit buat literatur fiksi silat Indonesia. Apalagi sepanjang kurang lebih tiga puluh tahun beliau telah menulis paling tidak seratus dua puluh judul cerita. Ada Bu Kek Siansu, Pendekar Sakti Pendekar Remaja dan seabreg lainnya.
Sambil berbincang dengan kawan lama di telepon seluler yang kuotanya sudah hampir mendekati limit, penulis kembali teringat kawan penulis ini. Sekalipun kawan ini seorang yang berjenis kelamin laki-laki, yang biasanya bersikap cuek, tetapi dari sisi pribadinya kawan ini adalah seorang yang boleh dikatakan sangat perfect. Apapun yang ada di sekeliling hidupnya seakan harus sesuai dengan prinsip dan tatanan hidupnya.
Banyak sekali kejadian yang bisa dikatakan berbenturan dengan sikap perfect nya itu. Apalagi kalau banyak kawan-kawan yang dating ke tempat kost-nya. Semuanya harus teratur. Masuk kamar harus lepas alas kaki, tidak bisa melihat kertas atau tissue berceceran apalagi ada asap rokok. Bahkan saking perfect-nya semua buku-buku miliknya yang selesai dibaca kawan-kawan kuliahnya, harus kembali ke tempat peraduannya, sesuai yang sudah di tatanya sedemikian rupa. Belum hal yang lain, yang bisa bikin geleng-geleng kepala dan mangkel.
Penulis saat itu hanya berpikir sejenak, apakah kawan ini bisa mendapatkan seorang isteri yang bisa mendampingi dalam perjalanan kehidupannya kelak. Mengingat sedemikian sempurnanya di dalam ukuran hidupnya. Ini bisa dirasakan oleh kawan-kawannya saat berbaur. Ada saja yang dicela dan diperkatakan dengan tingkat perfectnya. Rasanya kawan-kawannya jadi serba salah dan terus merasa dihakimi kalau berada di dekatnya.
Memang betul di tangan kanan kiri manusia ada masing-masing lima jari yang bisa digunakan sesuai fungsinya. Termasuk jari telunjuk, yang biasanya digunakan untuk menunjuk sesuatu hal yang tidak beres pada orang lain. Tetapi jangan lupa juga, selain ada jari telunjuk yang menghadap ke orang lain, masih ada juga empat jari yang lain yang menghadap ke diri kita. Dan itu seakan menjadi tolok ukur, sampai dimana kesadaran kita saat berbuat dengan menuduh dan menghakimi orang lain.
Buat kami selaku kawan-kawan yang berada di sekitarnya saat itu, seringkali bercanda dan berolok-olok sambil mengatakan kepadanya. Ini adalah seperti peribahasa yang diajarkan pada mata pelajaran bahasa Indonesia saat sekolah dulu. Gajah di pelupuk mata tidak nampak, kuman di seberang lautan tampak. Bisa jadi benar. Dan apakah ini seperti sebuah konsekuensi buat seorang yang memiliki standar kesempurnaan di atas rata-rata alias seorang yang perfectionis ? Entahlah.
Karena kembali yang terjadi adalah, ketika semuanya dikomentari dengan tidak berpadanan dengan sikap hidupnya, sama seperti tulisan pepatah di atas. Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui ? Jujur saja, terkadang penulis merasa bingung dan terkesima dengan manusia ciptaan Sang Khalik yang memiliki karakter perfect seperti ini.
Dan penulis membayangkan. kalau melihat manusia dengan tipe perfectionis seperti ini lebih dekat lagi di dalam kesehariannya, yang rasanya terkadang terus saja menghakimi lingkungan di sekitarnya, bahkan bisa jadi terus menghakimi isteri dan anak-anaknya yang harus sesuai dengan ukurannya. Apakah itu tidak capai ? Seperti halnya kalau penulis ditawari kopi pahit oleh kawan-kawan di dalam komunitas. Penulis akan selalu katakan. Hidup itu sudah pahit, janganlah ditambah lagi dengan kopi pahit. Aha !
Mungkin tanpa memiliki karakter perfect pun, tanpa sadar kita pernah menghakimi orang lain dengan kadar yang berbeda-beda dengan alasan yang tidak dibuat-buat sesuai ukuran kita masing-masing. Dan mendadak menjadi teringat sebuah kalimat bijak. Janganlah kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.
Obrolan lewat hape dengan kawan lama berakhir, ketika dia memberi tahu kalau dia sudah berkeluarga dan memiliki dua orang anak yang sudah beranjak dewasa. Dan penulis hanya bisa berkata dalam hati sambil mengatakan terima kasih Tuhan, sudah memberikan kopi yang tidak pahit lagi buat kawan lama ini. Tepat saat itu kuota hape penulis ini habis. Begitu.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H