Sudah sejak sore hari ini hujan turun dengan lebatnya di wilayah kota Semarang bagian atas. Termasuk tempat pemukiman, dimana penulis tinggal berdua dengan isteri tercinta. Rasanya belum genap empat belas hari penulis berkumpul bersama dengan anak-anak dan menantu merayakan Natal dan malam pergantian tahun dari dua ribu dua puluh tiga ke dua ribu dua puluh empat.
Masih saja terbayang saat menjemput mereka di setasiun kereta api Semarang Tawang dengan jadual kereta yang berbeda pada hari yang sama. Masih juga terbayang bagaimana menikmati kebersamaan, dalam sebuah waktu yang jarang sekali bisa bersatu. Karena boleh dihitung dengan jari anak dan menantu bisa ngobrol bareng. Ada saat-saat dimana anak sulung dan isterinya tidak bisa pulang ke Semarang, karena sesuatu hal. Atau gantian, ketika anak kedua yang sedang tugas ke luar negeri. Atau juga adakalanya anak bontot tidak bisa kumpul karena tugas mendadak.
Dan malam ini ketika rasanya ada sesuatu yang hilang terbawa, menjadikan sebuah ingatan yang terjadi juga di masa lampau. Ketika penulis harus pamit ke orang tua saat mengakhiri pertemuan keluarga besar. Dulu mungkin penulis tidak merasakan kesedihan orang tua saat-saat seperti itu. Mungkin begitu apa yang dirasakan orang tua saat ditinggalkan anak-anaknya setelah beberapa hari kumpul bareng. Dan sekarang tanpa sadar penulis mengalami hal yang sama.
Sekelebat terbayang masa-masa kecil anak-anak kami yang harus senantiasa dijagai, dibimbing, diberi motivasi yang benar bahkan sesekali juga dicubit, agar mereka bisa merasakan pahit getirnya kehidupan. Penulis masih ingat saat mereka masih bersekolah. Penulis hanya pesan, kalian tidak dibebani dengan harus masuk ranking satu di kelas atau bahkan di sekolah. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana kalian bisa menangkap dan mengerti materi yang guru ajarkan di sekolah. Karena itu adalah bekal sesungguhnya di lapangan nanti setelah kalian masuk dalam dunia kerja.
Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Anak-anak malah menunjukkan keseriusannya dalam studynya. Dan malah membuktikan bisa bisa masuk ranking, Bahkan saat kuliah ketiga anak penulis bisa selesai dengan cum laude. Rasanya sebuah kebanggaan buat orang tua yang hanya bertugas sebagai pegawai negeri sipil saat itu.
Rasanya ungkapan rasa sayang menjadikan modal peranan anak-anak dimasa mendatang. Dan tentu saja, jujur penulis katakan, tidak serta merta apa yang anak-anak minta kemudian penulis turuti sesuai kemauan dan kehendak anak-anak. Karena model begini bisa saja menjadi bumerang, karena ibarat selalu memakaikan baju kemanjaan kepada anak-anak. Dan itu tanpa sadar membuat anak-anak jatuh dalam kubangan di masa depan. Kadangkala perlu sekali bak bermain layang-layang. Ada saatnya benang itu ditarik. Ada saatnya benang itu perlu di ulur.
Di satu sisi, dari sudut pandang anak-anak, adalah saat berkumpul bersama mengenang masa-masa lalu. Keakraban dan keterdekatan antara anak-anak dan orang tua teruji. BIsa saja anak-anak akan bersikap lebih hormat dan berusaha melayani orang tua sebagai timbal balik akan rasa sayang orang tua kepada mereka di masa lalu. Atau malah sebaliknya. Anak-anak berusaha menghindari pertemuan dengan orang tua, dan lebih mementingkan reuni dengan kawan-kawan sekolahnya. Bisa ? Bisa saja.