Matahari belum lagi tinggi buat menyinari tempat tinggal penulis yang sebagian tertutup pohon-pohon pinus yang menjulang. Ditambah lagi sebelah rumah penulis sudah dibangun dua lantai. Jadi rumah penulis yang dulunya bisa kebagian sinar matahari sejak terbit, sekarang kebagian sinar mataharinya baru sekitar jam delapan pagi. Setelah tiga hari tidak turun hujan, rasanya kasihan juga lihat beberapa tanaman di belakang rumah yang tanahnya mulai mengering.
Baru saja penulis mulai menyirami tanaman dengan selang plastik yang warnanya mulai pudar di makan waktu, tiba-tiba terdengar suara menderu di angkasa. Suaranya makin kencang terdengar. Dan sontak penulis melihat ke atas. Ternyata sebuah pesawat helikopter melintas di atas rumah penulis. Entah mengapa, pagi-pagi sudah terbang begitu rupa. Yang jelas itu adalah tugas negara, bisa jadi.
Mendadak teringat masa kecil saat ada pesawat terbang yang melintas di atas rumah penulis yang tinggal di kota kecil di jalur pantai utara pulau Jawa. Dengan berlari mencoba melihat arah terbang sambil berteriak kegirangan, tanpa mempedulikan ada apa di depannya. Yang penting bisa melihat pesawat dengan jelas. Maklum saja, di tahun-tahun enam puluhan atau sekitar tahun tujuh puluhan, melihat pesawat terbang rasanya sesuatu gitu. Bahkan anak-anak penulispun saat mereka masih kecil. Rasanya girang bukan kepalang saat bisa melihat pesawat yang melintas di atas kepala mereka.
Memang berjalan apalagi berlari-lari dengan kepala terus mendongak ke atas mencoba mengikuti kemana arah pesawat terbang melintas, lama kelamaan membuat kepala ini jadi pegal. Belum lagi saat melihat ke atas tanpa mempedulikan sekitarnya, yang bisa membuat bisa tersandung sesuatu, yang bisa mengakibatkan tubuh jatuh terjerembab, tubuh lecet-lecet dan memar.
Di lain posisi, tidak hanya berjalan apalagi berlari dengan mendongak ke atas yang bisa membuat kepala capek, sebaliknya berjalan sambil menduduk teruspun bisa membuat tubuh tidak stabil. Ditambah lagi karena kegiatan mata yang terus melihat ke bawah, bisa-bisa membuat sesuatu yang ada di depanpun ternyata tidak terlihat jelas dan nyata. Sehingga bisa ditebak, tubuh kehilangan kontrol saat menabrak sesuatu yang ada di depannya.
Rasanya seperti halnya mengarungi perjalanan kehidupan yang penuh gelombang. Tidak perlu terus melangkah dengan cara melihat ke atas, yang sepertinya bikin emosi makin meninggi. Apakah bisa terus berusaha meraih bintang di langit dengan segala usaha dan kemampuan diri sendiri ? Orang tua pernah kasih nasehat begini, janganlah selalu terus melihat ke atas. Sebab kalau itu diterus-teruskan, kalian akan capek bahkan kecewa untuk beroleh pencapaian yang tidak sesuai dengan impian, kemampuan dan keadaan. Belum lagi sering dianalogikan kalau berjalan menatap ke atas dianggap sebuah kesombongan dan keangkuhan.
Jadi apakah kemudian kita harus berjalan dengan menduduk ? Tidak juga. Karena bisa saja kita kejedot-jedot dengan sesuatu yang tidak kita perkirakan. Mungkin pernah melihat tayangan, seseorang yang terus berjalan menunduk karena asik memainkan handphonenya, sehingga tidak menyadari kalau di depannya ada kolam ikan. Hingga akhirnya harus basah kuyup karena tercebur di kolam yang sepantasnya buat ikan saja yang berenang.
Sekalipun hidup yang sedang dijalani penuh dengan kegetiran dan kepahitan, tidak semestinya berjalan dalam menunduk tanpa ada rasa percaya diri sedikitpun. Karena bukan berarti dengan jalan menunduk hidup ini penuh dengan kekalahan. Seperti kata bijak, sebab kesalahanku telah menimpa kepalaku; semuanya seperti beban berat yang menjadi terlalu berat bagiku. Kayaknya bukan ini yang Sang Khalik mau. Tetapi sebaliknya saat berjalan menunduk itu menggambarkan adanya kerendahan hati yang benar-benar meluap dari lubuk hati yang paling dalam.
Sewajarnya saja berjalan ataupun berlari dengan mata melihat terus melihat ke depan, ke samping, ke atas dan ke bawah. Tidak neko-neko. Melihat ke samping, siapa tahu ada kendaraan yang tiba-tiba saja nyelonong tanpa kendali. Melihat ke atas siapa tahu tiba-tiba ada pesawat helicopter yang jatuh menimpa. Atau juga melihat ke bawah, siapa tahu ada uang yang jatuh tercecer. Sudah sewajarnya hidup itu dinikmati dengan pandangan iman dengan ucapan syukur. Terlintas sebuah kalimat bermakna. Karena Tuhan merendahkan orang yang angkuh tetapi menyelamatkan orang yang menundukkan kepala. Begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H