Semalam sambil merayakan ulang tahun isteri tercinta, kami merayakannya dengan menikmati mie ayam langganan kami. Sebuah perayaan yang jauh dari kata kemewahan. Bahkan saat anak dan menantu mengucapkan selamat ulang tahun kepada mamanya, sambil bertanya dinner dimana ? Kami berdua tertawa lepas tanpa ada beban apalagi gengsi. Sekalipun anak menantu sudah menjadi sponsor ulang tahun mamanya.
Hidup itu seperti pepatah katakan, daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Tetapi apakah mau kalau kita ketiban batu ? Enggak juga kan ? Memang ada beberapa fakta yang menganggap bahwa menjaga gengsi lebih penting. Ada juga yang berpedoman boleh kalah nasi, asal jangan kalah aksi. Lha ?
Tentu saja ini ada hubungannya dengan yang namanya uang. Sempat membaca status WhatsApp seorang teman penulis. Kalimatnya sederhana dan menggelitik, tetapi cukup menohok. Dia tulis begini…” Uang bukan masalah, tetapi tidak ada uang menjadi masalah”.
Sekali lagi inipun berhubungan erat dengan hukum fisika. Tekanan berbanding lurus dengan gaya. Jadi kalau hidup kita penuh tekanan, jangan-jangan kita kebanyakan gaya. Benar ?
Memang adakalanya kita seolah lupa berpijak, saat kita bergelimang dengan uang. Apa saja bisa dibeli dengan uang. Jabatan, kekuasaan sampai harga diripun yang sejatinya adalah yang paling hakiki, bisa dibeli dengan uang. Bahkan follower di media sosialpun bisa dibeli dengan uang. Ini fakta yang ada di sekeliling hidup kita. Mulai sejak ada nenek moyang. Seperti syair lagu anak-anak jaman kita kecil. Begini bunyinya. Nenek moyangku orang pelaut. Jadi tidak perlu ditanya kemana kakeknya.
Dan ketika orang hidup bergelimang dengan uang, ternyata semakin banyak yang diinginkan dan rasanya akan mendapat penghormatan lebih. Dan rasanya tidak pernah cukup. Handphone, mobil, rumah tidak cukup satu. Tetapi, seperti status di atas, karena ada uang, bukan menjadi masalah. Karena pada kenyataannya memang demikian adanya. Orang yang lebih kaya, apalagi mempunyai jabatan akan lebih dihormati, dihargai dan diterima pendapatnya, sekalipun pendapatnya sudah melanggar norma-norma, moral, etika bahkan sudah membuat akar pahit diantara sesama umat manusia, dibanding dengan orang lain yang tidak memiliki penghasilan, hidup serba pas-pasan, sekalipun orang ini memiliki iman yang kuat kepada Sang Khalik.
Seperti halnya pengalaman penulis dengan isteri yang ingin sesekali jalan-jalan di mall, setelah menghabiskan masa rutinnya bersatu dengan suasana pasar tradisional, yang kadangkala masih ada saja sampah yang berserakan di lorong-lorong pasar. Menggunakan mobil penumpang sejuta umat. Memasuki halaman parkir, si tukang parkir dari jauh sudah teriak. Maju, maju langsung saja masuk parkir di basement. Masih banyak yang kosong. Sempat bersitegang, karena di depan mata ada beberapa tempat yang kosong. Tetapi akhirnya penulis beserta isteri mengalah menghindari pertumpahan darah hanya karena masalah parkir.
Besok paginya, penulis beserta isteri mencoba kembali ke mall yang sama, dengan menggunakan mobil yang berbeda. Mobil milik anak sulung yang sedang ada di Semarang. Kami berdua menggunakan mobil sedan yang konon katanya adalah tunggangan para menteri dan pejabat eselon pada masanya. Begitu moncong sedan masuk ke lahan parkir, setelah menempel kartu di mesin parkir, si tukang parkir yang dengan sikap hormat dan tergopoh-gopoh, menyiapkan tempat parkir yang strategis di depan pintu mall. Takjub ? Jadi di sini terbukti ada pembedaan dalam hal perlakukan terhadap tampilan yang namanya uang dan tongkrongan.
Tetapi bagaimana dengan kehidupan di sekitar lingkungan kita dengan strata yang pas-pasan. Ada beberapa banyak orang yang harus meraih harkat hidupnya melalui gengsi yang diada-adakan. Sungguh sulit dibayangkan, seandainya ini benar-benar terjadi. Dengan penghasilan yang didapatkan setiap bulannya yang biasanya habis untuk membayar cicilan rumah, cicilan mobil, cicilan motor, cicilan kartu kredit, biaya sekolah anaknya, dan biaya kehidupan sehari-hari. Kembali status di atas, ketika tidak ada uang, menjadi masalah bukan ?
Menjadi masalah yang makin bertumpuk-tumpuk, ketika kemudian pola gengsinya masih digenggamnya. Karena yang di ada di benaknya hanya bagaimana cara memenuhi hasrat sesaat. Dan tanpa berpikir panjang dan dengan hati yang tenang, menabrakkan dirinya untuk mengatasi roda keuangannya yang goyah, dengan cara berkolaborasi dengan pinjaman online yang dengan mudahnya menawarkan iming-iming dengan segala kemudahannya tetapi tanpa sadar menjerat hidupnya tanpa ampun. Dan akhirnya yang terjadi adalah kegiatan bunuh diri yang grafiknya makin meningkat di negeri ini.
Di tengah makan mie ayam pada sendokan yang terakhir, yang berasa menjadi nikmat. Tercermin jelas, ketika kita bisa memaknai arti hidup dan menjalani hidup bukan dengan kekuatiran dan ketakutan di saat sektor keuangan kita goyah dan bukan juga karena gengsi yang membuat kita jatuh telentang. Tiba-tiba seperti ada text berjalan yang ada di layar televisi yang mengingatkan penulis. Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu.
Sudah semestinya, ketika kita hidup dalam koridor keimanan yang kuat kepada Tuhan Semesta Alam, harus ada dalam pondasi yang kokoh. Dan lebih dari itu, karena Tuhan mempersiapkan hidup kita untuk bisa menjalaninya sesuai dengan keinginan dan kehendak-NYA. Sebab Tuhan, DIA sendiri akan berjalan di depanmu, DIA sendiri akan menyertai engkau, DIA tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau, janganlah takut dan janganlah patah hati. Jadi masihkah akan bertahan dengan gengsi dan mengandalkan uang, tetapi melupakan Sang Khalik ? Begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H