Dan di luar dugaan penulis, kawan ini menjawab dengan santainya, saat ini sudah pensiun. Bahkan sejak tahun kemarin, kawan ini sudah menolak proyek-proyek yang ditawarkan dari pemerintah setempat, yang biasanya menjadi langganan pekerjaannya. Sebuah pernyataan yang jarang penulis dengar secara langsung. Karena sepengetahuan penulis, banyak cara yang dilakukan kontraktor-kontraktor untuk mendapatkan kue proyek pemerintah. Bahkan dengan cara apapun dilakoninya untuk mendapatkan bagian jatah proyek dari pemerintah.
Sambil menghirup kopi pahit yang masih mengepul dan jari tangannya memegang pisang goreng, yang menjadi menu wajib di saat minum kopi, kawan ini kembali melanjutkan pembicaraannya. Singkat saja. Kawan penulis  ini ingin menikmati sisa hidupnya bersama keluarga yang dicintainya tanpa ada musuh di sekelilingnya yang seakan mau menjegal di setiap pekerjaan yang dilakukannya.
Secara langsung kawan ini berkata, sadar diri akan usia, kemampuannya dan yang paling penting menghindari konflik batin yang seringkali dialaminya saat mendapat proyek. Banyak musuh dalam selimut yang dijumpainya, menyebabkan kawan ini segera memutuskan untuk pensiun dari bidang pekerjaannya. Apakah gak sayang ?
Satu jawaban pamungkas kawan ini lontarkan. Mending menikmati hidup dengan orang-orang yang tersayang daripada punya musuh dalam kehidupannya, sekalipun musuh itu hanya seorang. Tetapi sejatinya lebih dari seorang alias kebanyakan.
Matahari mulai meninggi. Dan kami bersiap untuk menikmati suasana Gedongsongo yang masih diselimuti kabut tipis. Sebuah tarikan nafas seakan menjadi aliran kedamaian. Sambil mengingat sebuah kalimat. Satu musuh kebanyakan, seribu kawan masih kurang. Begitu. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H