Pernahkah kita memperhatikan raut wajah anak-anak kita setiap harinya ? Sebuah kesempatan yang baik tatkala sebuah keluarga masih utuh, dalam arti kata masih ada suami yang berstatus sebagai kepala rumah tangga, masih ada isteri yang bertindak sebagai ibu sekaligus bendahara rumah tangga. Dan tentu saja masih ada anak-anak yang masih tinggal dalam satu rumah. Adakah keceriaan ?
Mungkin di dalam perputaran waktu yang dirasa demikian cepat, tanpa terasa kita sudah mau injak bulan April. Sepertinya waktu pertemuan dengan keluarga juga demikian cepatnya, malah bisa dikatakan minim, karena kesibukan bekerja membanting tulang untuk menafkahi keluarganya. Tiba-tiba saja anak-anak sudah waktunya naik ke jenjang yang lebih tinggi. Sambil berkata dalam hati, koq anakku sudah gede ya ? Â
Memang, perhatian akan raut wajah anak-anak, sekilas bisa jadi tak nampak nyata. Tetapi kalau kita amati lebih mendalam bisa terjadi ada pancaran wajah anak-anak yang layu dan tidak segar. Dan sekian waktu berselang mungkin kita baru menyadarinya setelah kita hidup di dalam kebenaran iman yang kita pegang. Mengapa hal itu bisa terjadi ?
Kehidupan berkeluarga adalah ibarat adonan kue. Selagi seorang suami melenceng dalam kehidupan rumah tangganya, terutama dalam hal keimanan, maka peran suami sebagai kepala rumah tangga adalah sebagai biduk penentu kemana keluarga akan dibawa. Ini tidak bicara masalah keuangan yang melimpah, tetapi bicara tentang kondisi rohani.
Ketidakberdayaan seorang suami sebagai seorang Kepala Rumah Tangga dalam urusan rohani, sekalipun dia kuat dalam jasmani, anggap saja konglomerat, membawa dampak kepada istri dan anak-anaknya. Mungkin di dalam keluarga tampak alim dan rohani. Tetapi perilaku di luar yang bertentangan dengan landasan keimanan, dan bersentuhan dengan dunia kejahatan dan keburukan. Bisa saja terjadi. Entah menjadi pemabuk, penjudi, berzina bahkan menjadi pencuri atau perampok. Seakan menjadikan sinar matahari di dalam keluarganya menjadi redup. Apalagi kemudian perilakunya di luar diketahui anak-anaknya. Belum lagi masalah yang timbul, dengan keluarga yang dipimpin dengan dua nahkoda yang berbeda keyakinan.
Sebuah adonan kue yang baik bisa tercemar karena sesendok kesumba yang tertuang tanpa sengaja. Sekalipun di dalam keluarga tertutup dengan selimut rohani yang rapat dan bersahaja. Harta yang melimpah ditingkahi dengan berbagi-bagi sedekah, misalnya. Sedemikiankah adanya. Sebuah peringatan dalam kemasan. Kemegahanmu tidak baik.Tidak tahukah kamu, bahwa sedikit ragi mengkhamiri seluruh adonan ?
Kehidupan berumah tangga tidak lepas dari peran seorang suami sebagai nahkoda. Apa yang kita alami sepanjang proses kehidupan berada dalam lingkungan yang kokoh kepada Sang Khalik, akan membuktikan semuanya. Bagaimana kita akan melihat perubahan wajah anak-anak yang tadinya suram berubah menjadi bercahaya dan segar. Dan itu membawa pengaruh di dalam kehidupan mereka secara langsung.
Bisa jadi dalam diri anak-anak ada rekaman yang bisa diputar ulang dan berpikir, mau dibawa kemana kehidupan jasmani dan rohaniku ? Tetapi saat seorang suami berani bertindak untuk melepas dan membuang kehidupan dan perilaku lamanya yang tidak benar sesuai tuntunan Sang Pencipta, niscaya pemulihan di dalam keluarga segera terjadi.