Pernah melihat pertandingan gulat bebas di stasiun televisi ? Atau pertandingan tinju kelas berat tingkat dunia ? Berapa lama mereka bertanding ? Setiap ronde pertandingan berjalan tiga menit ditambah istirahat satu menit. Maka sejak pertandingan dimulai sampai berakhir dua belas ronde lamanya mereka bertanding 36 menit dan istirahat dua belas menit. Sepanjang pertandingan yang menonton saja kadangkala merasa terasa berat di nafas. Apalagi yang bertanding.
Begitu juga saat anak bungsu selesai kuliah di tahun 2018. Mau diapakan ? Karena kami selaku orang tua tahu betul karakter anak bungsu ini. Tidak seperti anak sulung yang kami usir ( baca artikel dengan judul Terusir dan Deja Vu), atau anak kedua (baca artikel dengan judul Kesampaian). Tetapi ternyata di luar dugaan kami, anak bungsu sudah mempersiapkan masuk dunia kerja saat memasuki tahap akhir skripsi.
Mencoba pindah kerja ke sebuah perusahaan start up, dengan harapan ada perbaikan. Ternyata kasusnya hampir sama juga. Perusahaan tutup, dan dia tidak mendapatkan gaji yang menjadi haknya. Bahkan tidak sampai di situ, di waktu yang hampir bersamaan anak bungsu harus menjalani operasi di rumah sakit Elizabeth Semarang, yang malah berdampak pada kakinya karena overdosis obat anestesi. Sehingga hampir tiga bulan kaki kirinya harus diseret saat berjalan. Minder ? Tidak juga. Karena ternyata mental anak bungsu kuat juga.
Sampai pada suatu saat, ketika dia pamit ke Bandung untuk ikut test di sebuah perusahaan yang sudah lama dilamarnya. Anak bungsu sempatkan foto di depan kantor dan melaporkan ke isteri penulis. Dan tanpa basa basi, terucap kamu bakal diterima di situ. Dan anak bungsu yang mendengar lewat hape nya langsung meng- Amin- kan.
Ada tujuh tahapan seleksi yang harus dilalui anak bungsu kami. Sampai tahap ke lima seleksi semuanya berjalan lancar tanpa kendala. Memasuki tahap ke enam terjadilah hal yang diluar perkiraan kami semua. Hari Kamis malam ada email masuk yang mengharuskan anak bungsu mengisi seluruh form data yang diminta. Saat itu juga seluruh form data diisi dan langsung dikirim balik. Tetapi ternyata form data dan bukti semua data pribadi harus dalam bentuk hard copy untuk ditunjukkan besok pagi jam delapan pagi. Kalau tidak hadir dianggap gugur dalam seleksi. Saat itu sudah jam dua belas malam. Mana ada angkutan umum ke Bandung jam segitu ?
Putus asa, marah dan seabreg perasaan bisa kami rasakan. Jum’at pagi penulis berangkat ke kantor seperti biasa jam enam pagi dari rumah. Karena jam tujuh pagi sudah harus absen dan apel pagi. Dan seperti biasa setiap apel pagi penulis selalu menaruh hape di laci meja kantor.
Â
Tepat jam sembilan pagi, anak bungsu memberi tahu kalau siang nanti dia berangkat ke Bandung, karena besok Sabtu pagi sudah harus menyerahkan berkas dan bertemu langsung dengan bapak A, sebut saja begitu. Lha koq bisa ? Anak bungsu mencoba menjelaskan. Tadi pagi pas jam tujuh telepon di rumah berdering. Aku angkat, di seberang sana papa bicara kalau aku harus hubungi bapak A di perusahaan yang ada di Bandung, untuk menjelaskan duduk permasalahannya mengapa tidak bisa hadir di Bandung hari Jum’at pagi.
Sempat berdebat dengan anak bungsu. Karena gak mungkin papa hubungi kamu. Jam segitu papa lagi apel pagi. Dan hapenya disimpan di laci meja. Jadi gak mungkin ngobrol apalagi beri perintah sama kamu. Di lain pihak anak bungsu bersikeras kalau tadi aku mendengar suara papa cukup jelas. Masak aku lupa sama suara papa sendiri ? Penulis terdiam sambil bertanya dalam hati. Jadi tadi ini siapa yang telepon dan suara siapa sebenarnya ?