Sebuah kejadian yang terjadi di suatu sore saat kami sedang menikmati secangkir kopi pahit dan sepotong lumpia goreng khas Semarang bersama istri. Masih dalam rekaman ingatan, itu terjadi pada tanggal empat bulan Juli di tahun dua ribu delapan belas. Tiba-tiba dering ponsel berbunyi dan saya lihat sepintas ada nama anak kami di layar. Ternyata dia memberi kabar kalau seluruh tas kerja yang berisi latop, dokumen, kartu tanda pengenal, passport hitam, sejumlah uang dan kunci+stnk mobil, hilang disambar orang di sebuah restaurant di Jakarta, saat akan terbang ke Yogyakarta untuk satu urusan dinas bersama pimpinannya.
Mendengar kabar itu, kami berdua bersama istri rasanya lemas dan tidak bisa berbuat apa-apa. Saat itu yang bisa kami lakukan secara spontan adalah mencoba menenangkan anak kami yang dari nada suaranya begitu panik. Apalagi jadual keberangkatan dalam rangka dinas bersama pimpinannya tinggal hitung jam. Mencoba memahami secara realistis apa sebetulnya yang sedang terjadi dengan anak kami.
Reaksi yang timbul dari sisi kemanusiaan ketika mengalami hal seperti adalah menceritakan kepada sesama, dengan harapan ada yang bisa membantu dan memberikan nasehat ataupun jalan keluar. Terlintas pikiran untuk segera melaporkan kejadian kehilangan ini ke pihak yang berwajib, sambil menunggu berharap ada kabar dari anak kami.
Fase kehilangan adalah masa dimana rasanya tubuh, hati dan pikiran serasa diaduk-aduk. Apalagi kehilangan barang yang dianggap paling berharga di dalam hidupnya. Belum lagi bicara tentang kehilangan orang-orang yang dicintainya. Di atas semuanya itu yang acapkali terucap dalam hati adalah baginya tidak ada pertolongan dari Tuhan. Benar begitu ?
Bisa saja terjadi, saat kita ceritakan kehilangan sesuatu yang berharga kepada orang lain, responnya adalah wajah-wajah yang gamang dan penuh keraguan. Dari raut wajahnya tersirat, mana mungkin barang-barang yang hilang begitu bisa kembali ? Seperti juga yang kami alami sendiri. Memang rasanya nyesek dan sempet terpengaruh juga akan jalan pikiran orang lain.
Tetapi di satu sisi kami berdua bersepakat dalam koridor keimanan yang coba kami pegang teguh. Mungkin bagi orang lain tidak alasan untuk berharap dalam kondisi demikian. Tetapi kami mencoba merespon dari kejadian ini. Karena rasanya tidak ada yang mustahil bagi Sang Khalik untuk melakukan sesuatu di luar nalar kita, melalui doa yang kita panjatkan.
Bisa saja terjadi, di tengah perjalanan langkah kehidupan, seringkali kita berupaya dengan sekuat tenaga agar kejadian kehilangan yang menimpa dapat segera terselesaikan dengan kekuatan dan cara kita berolah pikir. Rasa galau, kacau, bingung dan putus asa mudah sekali menyergap tatanan kehidupan kita. Upaya agar semua berakhir dengan instan dan happy ending dengan cara tindakan kita, tanpa berusaha melibatkan Tuhan dalam segala perkara.
Lupa dan bisa jadi melupakan akan kehadiran Yang Maha Kuasa, yang mengatur ritme kehidupan dari detik ke detik, dari menit ke menit dan dari waktu ke waktu. Sesuatu yang manusiawi sekali. Ketidaksadaran seperti ini yang sejatinya malah membawa kita untuk tidak menemukan kembali  apa yang seharusnya sedang kita cari.