Warung komik menjadi tempat ngumpul anak-anak yang malas belajar dan habiskan uang jajan pemberian orangtua. Warung  komik dipandang sebagai inkubator anak-anak yang tidak peduli lingkungan, hanyut dengan fantasi cerita bergambar tersebut.
Kalau mau membaca cerita komik serial, agar tidak terhenti (karena ada beberapa jilid sedang disewa oleh pembaca yang lain), sebaiknya semua buku serial tersebut diikat pakai karet gelang dan diamankan dari jangkauan orang lain.
Entah kenapa walaupun komik merupakan buku cerita bergambar, aku yang kegandrungan membacanya sama sekali tidak tertarik meniru melukis gambar dan tokohnya. Tak ada keinginan untuk berlatih agar bisa membuat gaya lukis komik sendiri. Lebih asyik membaca dari pada corat coret tidak karuan. Menghabiskan waktu pikirku.
Entah kenapa tiba-tiba ada kebijakan pemerintah waktu itu membatasi peredaran buku komik. Aku tidak mengerti hingga saat ini, mengapa kebijakan pembatasan itu bisa terjadi. Akhirnya buku komik perlahan hilang di pasaran dan warung komik pun banyak yang tutup.
Namun entah kenapa di awal tahun 90-an seiring dengan hilangnya komik cerita anak negeri, tiba-tiba negeri kita kebanjiran komik Jepang dengan gaya lukisannya beraliran manga.Â
Aku bingung, Â sebelumnya komik Indonesia dibatasi dan hilang dipasaran, tiba-tiba datang berlimpah ruah dipajang di toko-toko buku seantero negeri buku komik dari negeri sakura. Ada apa gerangan? Mengapa buku komik hitam putih fantasi karya anak negeri yang tadinya mewabah dan sangat fenomenal malah dibuat tidak berdaya dan akhirnya terkubur mati? Entahlah.
Pasti Bukan Bakat Turunan
Beberapa hari ini, anak sulungku menyendiri di kamarnya. Seperti biasanya dia sibuk asyik corat coret yang merupakan hobinya sedari kecil. Kalau lagi enggak ada kerjaan, dia suka meniru gambar orang lain dan bereksperimen membuat gambar model baru.Â
Aku tidak mengerti kenapa anakku ini suka menggambar. Turun bakat dari bapaknya, jauh panggang dari api, atau dari maminya podo wae setali tiga uang dengan bapaknya.
Yang kutahu pada masa kecilnya, dia sudah belajar menggambar, lukisannya jauh dari kata bagus menurutku. Sama persis denganku dulu, tapi bedanya dia suka hanyut dengan dirinya sendiri (mungkin karena tidak ada komik seperti zamanku dulu) diisinya dengan corat coret apa saja dan terus berkembang seiring bertambah usianya.
Orang bilang anakku berbakat, tapi enggak juga, menurutku karena aku paling tahu bagaimana awal mula dirinya mulai belajar menggambar. Orang bilang mungkin menurun dari bapaknya. Ini malah lebih ngaco lagi.