Rasa panas pun mulai merambat menjalar ke arah mata, mata pun mulai panas, semakin panas, tambah panas dan warnanya menjadi merah bara.
Tanpa sadar tangan kananku yang di sela jari-jarinya terselip spidol hitam, seketika refleks bergetar dan terangkat ke atas. Secepat itu pula turun ke bawah melepaskan (baca: membanting, tepatnya) spidol dengan keras ke lantai.
Dengan hembusan napas naik turun, tiba-tiba kakiku mengayun melangkah tegap ke depan menghentak geram ke arah TV.
Telunjuk jari kanan dengan kasar menyentuh tombol on off TV dan menekannya dengan keras. Suara "BAGUSSS" pun mendadak hilang. Ku tarik paksa sliding door papan kanan kiri, menutup tabung layar dan panel TV, lalu menguncinya. Aku pun segera lari ke lapangan bola di belakang rumah berbaur dengan teman-temanku.
Aku mengejar bola kemana pun ia menggelinding. Ku sepak jauh sekuat tenaga tanpa arah. Ku kejar lagi dan tendang kembali. Siapa yang menghalangi aku terabas tak peduli.Â
Tak dapat merebut bola, kaki kawan pun aku sambar. Kawanku mengerang terkejang kesakitan, itu sudah risiko bermain bola kaki, yang penting hatiku puas melampiaskan kesal hati.
Ritual sesat tersebut berulang setiap minggu setelah menonton acara Pak Tino Sidin. Di ujung, terdengar suara anak mengerang kesakitan di lapangan bola. Kakinya pincang disambar anak yang sedang kesurupan.Â
Lakon buruk tersebut akhirnya berakhir setelah aku sadar dan mahfum tidak punya bakat melukis. Maka dari situ, mulailah mencari hobi lain dan bertemu hobi baru yaitu membaca buku bergambar alias komik.
Uang jajan dipakai bukan untuk jajan makanan, tapi buat baca komik di warung komik. Mojok berjam-jam hingga perut lapar melilit. Habis membaca serial Gundala Putra Petir, lanjut cerita super hero anak negeri lainnya, Godam. Sambung cerita silat Si Buta dari Gua Hantu kemudian Pendekar Gendeng yang namanya dicatut untuk aksi demo Wiro Sableng 212.
Setelah duit habis, lalu beranjak pulang dan siap-siaplah mendengar pekik suara lengking sopran menggelegar. Itulah suara merdu ibunda tercinta yang temberang melihat anak bujangnya baru keliatan batang hidungnya. Tak kenal waktu dan tak peduli ibu sibuk di rumah butuh pembantu.
Anak-anak dan remaja tanggung pada zaman itu banyak yang ketagihan baca komik. Warung komik menjadi tempat ngumpul anak-anak, seperti warnet game online pada zaman now.Â