Mohon tunggu...
Hermansyah Siregar
Hermansyah Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - ASN

Menguak fakta, menyuguh inspirasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jangan Terlalu Percaya Bakat!

8 Agustus 2018   12:06 Diperbarui: 10 Agustus 2018   15:15 1284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.educenter.id

Sedari kecil aku pengin sekali pinter melukis. Rajin beli buku lukis dan berbagai alat untuk melukis. Hasilnya...ternyata jauh dari bagus (mungkin itu yang akan dibilang oleh Pak Tino Sidin). 

Kalau kalian masa kanak-kanaknya tahun 1980-an pasti kenal Pak Tino Sidin yang membawakan acara belajar menggambar sore hari di stasiun televisi satu-satunya di zaman orde baru yaitu, TVRI. Pelukis kawakan ini punya ciri khas tampilan yakni selalu memakai topi flat cap dan kaca mata berbingkai tebal berwarna hitam.

Sketsa yg terus tumbuh krn sering diasah. Dokpri
Sketsa yg terus tumbuh krn sering diasah. Dokpri
Dengan tarikan spidol hitamnya ke atas, ke bawah, kanan dan kiri, diiringi tutur kata yg lembut dan perlahan secara tak sadar sudah terbentuk sketsa gambar sederhana namun indah. 

Aku selalu takjub melihat hasil lukisan Pak Tino Sidin. Dengan teknik lukis dasar, tapi hasilnya di luar imajinasi masa kanakku. Aku coba ulang teknik menarik garis yang baru diajarkannya...sret.. sret... dan hasilnya...kok jelek ya.

Hmm...mungkin aku keliru menirunya atau salah memahami teknik goretan garis tersebut.

Sambil terus menonton acara Pak Tino Sidin di TV hitam putih yang terkadang banyak semut lalu lalang di layar kaca, tanganku memegang spidol hitam sedangkan mataku tak berkedip melotot ke arah tabung cembung itu. Dan hasilnya...masih tetap belum bisa memuaskan selera penikmat lukisan bahkan adik kelasku yg masih ingusan sekalipun. Kecewa? Tentu saja...!

Menjelang akhir acara, Pak Tino Sidin menunjukkan lukisan kiriman anak-anak dari berbagai daerah di Indonesia. Dan selalu, komentar beliau seperti ini, "Anak-anak sekalian. Ini adalah lukisan temanmu yang bernama X, berasal dari kota Y, duduk di kelas Z. Lukisannya mengenai "bla..bla..bla...BAGUSSS."

Aku sengaja menulis kata "BAGUSSS" dengan huruf kapital karena seringnya kata itu meluncur dari mulut beliau di akhir kalimat sebagai penilaian atas suatu lukisan yang dikirim. 

Akhirnya kata "BAGUSSS" menjelma menjadi trademark-nya Pak Tino Sidin. Orang-orang pada zaman itu kalau memamerkan suatu karya (apapun itu) selalu mengucapkan kata akhir "BAGUSSS" sebagai penutup kata dan hadirin pun ikut tertawa.

Aku pelototi lukisan kiriman anak-anak sebayaku tersebut satu per satu. Dan memang lukisannya bagus, paling tidak lebih bagus dari lukisanku. Pengin banget rasanya kalau lukisanku dikirim ke TVRI dan Pak Tino Sidin bilang "BAGUSSS."

Tiap kali kata "BAGUSSS" terdengar, daun telingaku terasa mulai panas, semakin panas, tambah panas dan memerah bara.

"Ini lagi kiriman dari temanmu...BAGUSSS," suara itu semakin memprovokasiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun