Diawal bulan Nopember 2017, tiba-tiba kami menerima email dari seorang WNI yg memohon kiranya dapat diberikan pelayanan penggantian paspor secara khusus karena kesehatannya kurang memungkinkan untuk datang ke Berlin dengan melampirkan surat keterangan dari dokter.
Di dalam isi surat elektroniknya, pengirim atas nama Fauqia Tambunan menjelaskan bahwa Izin Tinggal nya di Jerman akan expired dan masa berlaku paspornya juga semakin dekat berakhir. Untuk mendapatkan perpanjangan Izin Tinggal selama 2 tahun ke depan, Auslandebehorde (Imigrasi Jerman-pen) mensyaratkan harus memperpanjang masa berlaku paspornya terlebih dahulu.
Surat keterangan dokter dengan bahasa medis berbahasa Jerman terpaksa harus diterjemahkan dengan bantuan mr google, menjelaskan bahwa pemohon paspor tsb merupakan penyandang disabilitas yg didiagnosa mengalami Tetraparese.
Aku memperhatikan secara seksama isi suratnya karena permintaan layanan penggantian dokumen perjalanan di luar kantor adalah hal yg tidak biasa walaupun hal tsb memungkinkan untuk dilakukan. Pelayanan jemput bola (reachout) tentunya berkonsekuensi timbulnya biaya dari negara utk evakuasi perangkat maupun personil serta butuh waktu ekstra di luar jam pelayanan (office hours).
Aku harus memastikan permintaan layanan tsb cukup beralasan dan sangat layak diberikan dan bersesuaian dgn misi pemerintah memberikan perlindungan terhadap warga negara di luar negeri namun tidak akan menimbulkan permasalahan secara administratif.
Untuk lebih menambah rasa yakin, aku meminta agar pemohon mengirimkan foto diri yg membuktikan kondisinya saat ini sebagai bukti faktual perlunya layanan ekstra diberikan dan sebagai dokumen pendukung utk melapor dan mendapatkan ijin pimpinan.
Setelah keperluan administrasi lengkap dan surat perintah tugas terbit, kamipun mempersiapkan segala perangkat peralatan dan meluncur ke kota Halle (Saale) di Negara Bagian Sachsen-Anhalt pada hari Rabu setelah makan siang.
Sekitar pukul 16.15 cet, kami tiba dikediaman Fauqia Tambunan yg ternyata tinggal di apartment mahasiswa (studentenwohnheim) di dalam area kampus Martin Luther Universitat.
Di lantai bawah apartment sudah menunggu temannya Fauqia yg membawa kami menuju ruang kamarnya. Ruang kamar student di apartment kampus umumnya bertipe studio seperti halnya kamar hotel yg dilengkapi dengan ruang dapur yg berhadapan dgn kasur tidur dan mebeleir berupa lemari dan meja belajar.
Di depanku duduk diatas kursi roda seorang gadis berkulit putih berusia sekitar 20 an mengenakan hijab bermotif bunga cerah, berkaca mata bingkai hitam dan baju berwarna pink serta celana biru tua. Dengan ramah dan sopan dia menyapa kami.
"Silakan masuk pak. Maaf ya pak, kamarnya agak berantakan, " sapa Fauqia rada sungkan dan sedikit tersipu setelah menjawab salam dari kami. Sambil menjabat tangannya aku berujar, "gak apa-apa, saya cukup maklum kok kondisi kamarnya mahasiswa." Dalam hati aku bergumam, waktu kuliah dulu kayaknya kamarku lebih berantakan deh.
"Saya sudah merepotkan bapak-bapak datang jauh dari Berlin utk membuatkan paspor saya, "tambah Fauqia dengan air muka sumringah. "Gak apa-apa Fauqia, itu sudah tugas kami kok, " jawabku.
Dari namanya, kalian tentu sudah tahu kalau Fauqia ini adalah cewek beretnis batak dengan marga Tambunan dan tentunya tidak sulit bagiku berbasa-basi karena sama2 berasal dari Sumatera Utara. Tetapi logat bicara dan raut wajahnya tidak seperti umumnya cewek halak hita. Tutur katanya halus dan beraksen seperti orang sunda dan cukup ramah.
Rekanku pak Syarif, langsung menebak, "asalnya dari Jawa Barat ya Fauqia." Dengan tersenyum Fauqia menjawab, " iya pak, saya dari Bandung. Lahir di Merauke Papua dan sejak umur 5 tahun pindah dan besar di Bandung. Papa saya orang batak tapi ibu orang sunda. Sampai sekarang papa masih sering bolak balik Bandung-Bintuni (Papua). Papa bekerja sebagai kontraktor sedangkan ibu sebagai ibu rumah tangga."
Pak Syarif yang juga berasal dari Bandung sangat senang mendengarnya dan segera akrab dengan Fauqia, bertanya lebih jauh tempat tinggalnya di Bandung. Aku hanya tersenyum mendengar obrolan sundanese mereka berdua, sambil membantu menata perlengkapan pengambilan data biometrik dan layar infocus buat pengambilan foto paspor. Suasana cukup cair dan hangat. Sesekali tanpa sadar aku melihat kedua kaki Fauqia yg lemah menyangga tubuhnya. Tampak seperti tak berdaya dan akan menjadi beban sulit menghadapi hidup.
Namun saat melihat wajah dan air mukanya serta antusiasmenya saat berbicara, aku melihat pemandangan yg sangat kontras. Sedikitpun tidak menampakkan bahwa dia bukanlah tipikal wanita yang lemah dan tak berdaya. Bukan wanita yang dengan segala keterbatasan fisiknya akan memasrahkan hidup dan masa depannya kepada roda nasib yg berputar seperti roda dikursinya.
Tapi dia adalah seorang wanita yg tangguh dan penuh dengan optimisme hidup. Aku melihat ada determinasi dan kekerasan tekad didalam sikap, bahasa tubuh dan tutur katanya.
Aku berani menyimpulkan demikian karena tidaklah mudah bagi seorang student asing untuk bisa kuliah di Jerman. Walaupun kuliah di negeri frau Merkel ini sangat menyenangkan karena relatif biayanya sangat murah (tidak dipungut uang kuliah utk kampus negeri) namun banyak calon mahasiswa Indonesia yg gugur ditengah jalan bahkan pd tahap persiapan studi (pre university) atau biasa disebut studienkolleg (studkol).
Selain karena faktor bahasa Deutsch yang cukup sulit juga kesiapan dan kedisiplinan diri calon/mahasiswa itu sendiri. Belajar secara mandiri dan mampu bekerjasama sbg teammwork utk mengerjakan projek merupakan lifeskill yg sangat tinggi dituntut utk kuliah di Jerman.
Model belajar mandiri dan teamwork belum terbiasa diajarkan dan dilakoni para pelajar kita di Indonesia sehingga membuat mereka harus bisa cepat beradaptasi ketika akan kuliah di Jerman.
Belum lagi rayuan utk bekerja sampingan dgn upah yg lumayan besar yg sangat menggiurkan, fasilitas ini bisa menjadi penyemangat namun juga bisa membuat student menjadi disorientasi bila tidak hati-hati.
Aku tidak bisa membayangkan dengan keterbatasan fisiknya, Fauqia mampu bertahan studi hingga bisa tinggal di apartment kampus. Pasti utk mendapatkan kesempatan dan berbagai fasilitas itu bukanlah suatu perjuangan yg mudah. Semua harus dilakukan sendiri karena tidak ada sanak saudara yg menemani dan teman-temannya pun sama sibuknya dalam menjalankan aktivitas masing-masing.
"Apakah orang tuanya pernah datang ke Jerman menemui Fauqia?" tanyaku. "Belum pernah pak. Saya datang ke Jerman sendirian dan dijemput oleh teman kursus bahasa Jerman di Bandung yang telah berangkat duluan, " jawab Fauqia.
Selain kursi roda yg sedang dipakainya, terdapat 1 kursi roda lain di kamar yg bentuknya lebih besar dilengkapi dengan tuas penggerak dan kotak mesin di bawah tempat duduknya.
"Kursi roda elektrik ini pemberian asuransi dan kini menjadi milik saya. Selama tinggal di Jerman, saya bisa menggunakannya. Harganya sangat mahal sekitar 3000 euro, " jelas Fauqia.
"Dulu di Indonesia kemana-mana saya memakai tongkat utk beraktivitas pak, lebih nyaman dibanding menggunakan kursi roda karena fasilitas utk disabilitas masih sangat kurang memadai. Sebelum berangkat ke Jerman, orang tua membeli kursi roda elektrik untukku agar mudah nantinya beraktivitas pak. Harganya sekitar Rp 15 juta.
Tapi saat mau naik pesawat, petugas check in tidak memperkenankan kursi roda elektrik  masuk bagasi karena ukurannya sangat besar sehingga harus membayar biaya tambahan overweight setara dengan harga 1 buah kursi penumpang. Karena sangat mahal, akhirnya kursi roda elektrik tsb ditinggal dan dikembalikan kepada penjual dengan denda yg cukup besar, " jelas Fauqia.
Aku perlu menceritakan kepada kedua gadis kecilku di rumah, lihatlah bagaimana seorang gadis yg kelihatannya sangat rentan tapi mampu menaklukkan segala keterbatasannya dan kini tengah berjuang menggapai impiannya di Jerman. Kalian anak-anakku yg diberikan kesehatan jasmani dan rohani oleh yang maha kuasa harus bersyukur dgn belajar lebih bersungguh-sungguh. Tidak ada alasan tidak bisa karena keterbatasan itu bukanlah sebagai penghalang utk maju.
Fauqia juga tidak keberatan utk bercerita tentang situasi kehidupan dan studinya di Jerman, pikirku. Semakin penasaran dan banyak bertanya semakin antusias Fauqia menjawab. Dia bukan tipe gadis yang introvert yg menutupi profile dirinya dan menganggap tidak perlu diceritakan kepada orang lain.
Setelah proses pembuatan paspor selesai, kamipun pamit dan beranjak pulang. Sebelum pergi sebagai kenang-kenangan kami berfoto bersama. Saat bersalaman, aku melihat pak Syarif sangat terharu dan memeluk Fauqia. Tiba-tiba air mataku tergenang dan lidahkupun tercekat. Kami pulang di dalam suasana keheningan malam.
Pak Syarif yg usianya cukup jauh diatasku merasa terharu mungkin terkenang kisah perjalanan dan perjuangan hidupnya 35 tahun yg lalu meninggalkan kota Bandung merantau ke Jerman atau teringat dengan anak-anaknya di rumah. Aku gak tau dan tidak mau bertanya. Biarlah itu menjadi keharuan yg didekap masing-masing kami di atas mobil van yg sedang melaju kencang di Autobahn (jalan tol).
Kedua kepala anakku mengangguk manthuk-manthuk ketika nasihat meluncur dari mulutku sambil menunjukkan fotoku dengan Fauqia. "Lihatlah wanita ini walaupun dengan segala keterbatasannya tapi dia tidak mau kalah dan menyerah dengan nasib. Kalian harus bersyukur, jangan malas belajar, " petuahku. Aku gak ngerti arti manthuk-manthuk anakku. Apakah yg ada dibenak pikiran mereka setelah melihat foto dan mendengar kata-kata bapaknya. Mudah-mudahan kabar tsb akan menginspirasi mereka.
Beberapa hari berlalu, rasanya aku masih penasaran dengan kisah hidup Fauqia. Aku berpikir kisah ini tidak baik hanya menjadi konsumsiku, pak Syarif dan anak-anakku. Kisah ini sangat layak diberitakan kepada banyak anak muda Indonesia. Aku pengen menulis kisahnya dan mempostingnya di media sosialku (facebook dan blog) agar bisa menjadi inspirasi siapapun yg membacanya.
Karena ini kisah pribadi dan masuk dalam ranah private tentu harus meminta ijin Fauqia terlebih dahulu. Aku rada ragu apakah Fauqia akan bersedia dituliskan kisah dirinya olehku yg baru dikenalnya. Aku sempat mengurungkan niatku karena rasanya tidak pantas mendesak Fauqia utk memberikan persetujuannya terlebih dia sedang mengurus paspor kepadaku. Ini gratifikasi dalam bentuk lain menurutku. Tapi pikiran untuk menulis tentang dirinya selalu menggelitik pikiranku.
Akupun mencoba menghubungi Fauqia dan menawarkan alternatif story dengan mencantumkan nama asli berikut foto saat kami bertemu atau menuliskan inisialnya saja dengan foto wajah yg diblur. Dan sebelum diposting aku berjanji utk terlebih dahulu menyampaikan isi tulisan dan mendapatkan persetujuannya.
Aku gak menyangka respon Fauqia sangat positif dan bersedia ditulis kisah hidupnya bahkan gak sabaran menanti hasilnya. "Terima kasih atas kesediaannya ya dan untuk melengkapi kedalaman tulisan, mungkin ada beberapa pertanyaan yg akan saya sampaikan kepada Fauqia, " pintaku. "Baik pak, silakan," jawabnya diujung pembicaraan via whatsapp.
Aku bertanya dan Fauqia langsung menjawabnya. Berikut tuturannya:
Aku (A): Kenapa kuliah ke luar negeri?
Fauqia (F): Saya tdk pernah berfikir kalau orang yang kuliah di luar negeri itu akan selalu lebih sukses dari yg lain. Hanya saja ketika kita keluar dari comfort zone kita, bisa jadi kita melihat wajah dunia yg lain. Dengan itu saya memiliki mental yg kuat. Hal itu yg saya rasa penting.
A: Apakah orang tua mendukung saat mengutarakan keinginannya kuliah ke Jerman?
F: orang tua saya mendukung sejak awal, beliau berpendapat "dimanapun kita berada toh yg menguruskan masih sama, Allah juga".
A: Kenapa memilih negara Jerman untuk kuliah?
F: Kenapa ke Jerman? Karena waktu itu ada yg presentasi ke sekolah dari agent studi. Trus saya cari info ke Gthe institute. Dan sy pikir kuliah di Jerman itu aman dan toleransinya tinggi.
A: Ambil jurusan apa di Martin Luther universitt?
F: Sekarang Nutrition sebelumnya Biochemistry. Saya pindah jurusan karena kemungkinan mendapatkan pekerjaannya lebih luas dan ada kesulitan untuk praktikum dengan jurusan yg lama. (Dengan memakai kursi roda cukup beresiko kerja dilaboratorium-pen).
A: Siapa yang menginspirasinya untuk kuliah menuntut ilmu hingga ke luar negeri?
F: Tidak ada figure yg menginspirasi saya utk keluar negeri, tapi kedua org tua saya lah yg memberi saya kekuatan utk terus bermimpi.
A: Apakah punya kekhawatiran selama kuliah di luar negeri?
F: kekhawatiran itu pasti, pertanyaan seperti apakah saya bisa sukses atau timbul pikiran berapa banyak uang yg sudah dipakai itu mungkin beban mental setiap student. Tapi ketika saya memutuskan kuliah keluar negeri dan TANPA AGENT (huruf besar oleh pen), saya sudah sadar betul semua ini tidak akan mudah. Orang tua saya juga sudah bilang kalau saya itu seperti berenang melawan arus, akan capek, tenggelam sedikit, lama sampainya dan itu sudah resiko.
A: Apa ultimate dream kamu?Â
F: Mimpi saya mau bisa terus melanjutkan pendidikan, bekerja disini (Jerman-pen) dan setelah ilmu dan pengalaman saya cukup, saya ingin jadi professor disini. Uangnya saya mau pakai buat buka usaha di Indonesia biar orang-orang disana (Indonesia-pen) ada usahanya juga. Saya juga senang kalau keberadaan saya bisa menjadi penyemangat bagi yg lain.
A: Apakah untuk menggapai itu tidak cukup kuliah di dalam negeri?
F: Ya itu pak, kalau kuliah di dalam negeri ada berjuta-juta orang yang melakukan hal yg sama. Saya malu dong nanti kalau minta dikasih Allah lebih dari yg lain.
A: Selama sekolah di Indonesia apakah punya prestasi akademik dan pelajaran apa yang paling disukai?
F: Waktu di SMA ya lumayanlah. Kelas 2 saya pernah menang juara 3 International Conference of Young Scientist. Pelajaran favorit biologi dan sejarah.
Diakhir pembicaraan, Fauqia bilang dia akan kirim tulisanku kepada ibunya di Bandung. Mudah-mudahan ibu senang dan bangga membacanya ditengah kesibukan ibu merawat adik Faquia yang sedang sakit keras.
Aku tutup pembicaraan dan sudahi tulisan kisah hidup anak manusia. Seorang perempuan difable yg setangguh karang sedang menerjang kerasnya ombak kehidupan. Dan pastinya kedua orang tuanya (bapak Salaman Tambunan dan ibu Lilis Atit Sugiarti) adalah orang tua luar biasa, yg telah memberikan limpahan cinta dan kasih sayang serta doa yang termunajat terus menerus kehadirat ilahi untuk buah hatinya yang jauh merantau ke negeri impian.
Tidak terasa air mataku jatuh menetes..
tulisan ini sudah diposting pada blogpersonal penulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H