Aku gak menyangka respon pasar lumayan bersambut. Gak kebayang rasanya sekian ribu pasang mata telah membaca tulisan pendekku. Senang tentunya walaupun sedikit emoji ataupun komentar yang termuat dalam blog tersebut. Mudah-mudahan tulisanku bermanfaat bagi para pembaca. Kalau dalam dimensi agama, 1 ayat yang tersampaikan sudah menjadi ladang ibadah. Amin.
Namun kawan, ditengah kepuasan batin, ada lagi teman yang menggoda, kenapa gak mencoba memperluas lebih jauh jangkauan pembaca tulisannya. Awalnya aku merasa enggan bukankah media bio blog sudah dapat menjangkau semua pembaca. Setiap mengetik kata kunci di search engine google, link personal blogku akan muncul otomatis dan tanpa biaya pula. Sudah cukuplah itu. Toh menulis di medsos hanyalah sebuah keisengan aja bagiku.
Tapi ajakan untuk sign in ke dalam platform jurnalisme warga (citizen jurnalism) selalu menggodaku terlebih yang difasilitasi oleh media mainstream. Ada teman yang menyarankan bergabung dengan Kompasiana mengingat membernya yang sangat banyak (355.000) maupun pembacanya (sekitar 13 juta orang) dan tentunya dikelola oleh jaringan media massa terbesar di Indonesia.
Singkat cerita akhirnya aku pun mendaftar sebagai kompasianer dan mencoba menggunakan fasilitas platform blog dengan tagline Beyond Blogging ini sejak 5 hari lalu. 4 tulisan sudah kuposting dengan hari yang berbeda yaitu: Kota Batam Sebuah Retrospeksi, Kiblatnya para Gibol, Milano Kota 2 Scudetto, Bang Thoyib Plesiran ke Berlin. Hasilnya sangat mencengangkan, setidaknya bagiku.
Sebagai debutan, total viewers untuk keempat postingan tersebut sudah mencapai 1265 pasang mata. Pembaca terbanyak dari keempat tulisan adalah "Kota Batam, sebuah Retrospeksi" sebanyak 407 pembaca dan 2 likers. Ruaarrr biasaaa...
Aku merasa seperti melayang melihat banyaknya jumlah pembaca tulisanku. Mudah-mudahan mereka mendapatkan suatu nilai yang positif atau paling tidak sudah tahu ada kompasianer baru sebagai warga dilapak citizen news. Aku tidak tahu apakah viewers tersebut benar-benar membaca tulisan sampai tuntas atau hanya sekedar buka dan membaca paragraf awal... ah biarlah itu urusan pembaca.
Sebagai debutan (meminjam istilah blogging tersebut) banyaknya jumlah pembaca menjadi stimulus bagiku untuk semakin rajin menulis. Rasanya lucu juga kalau menulis tapi tidak punya pretensi untuk dibaca banyak orang. Namun terkadang ada tanya dalam hati, kalau niat seperti itu yang dipunyai penulis, apakah masih murni idealismenya sebagai penulis?
Orientasi terhadap popularitas daripada kualitas menjadi taruhannya. Menyenangkan banyak pembaca dengan tulisan yang sesuai dengan afiliasi dan pandangan sosial politiknya atau menulis sesuai kata hati dan akal pikiran penulis yang berkembang?
Popularitas bisa menjadi pisau yang bermata dua. Mampu menggiring pembaca sesuai dengan visi sipenulis atau memanjakan pembaca hingga terlena tanpa banyak memberikan values dan prespektif baru.