PT National Sago Prima Menyatakan Tidak Bersalah
atas Tuntutan dalam Perkara Kebakaran Lahan dan Aset Perusahaan
dan Harus Bebas dari Segala Tuntutan
(sumber gambar : google)
Jakarta, 19 Januari 2015 - PT National Sago Prima (NSP), anak perusahaan PT Sampoerna Agro, Tbk., hari Jumat, 16 Januari 2015 menyampaikan pledooi atau pembelaan atas perkara kebakaran lahan dan aset perusahaan yang terjadi di Kabupaten Meranti, Riau, Januari hingga Maret 2014 lalu di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bengkalis dan Jaksa Penuntut Umum. Pledooi disampaikan oleh Terdakwa dan O.C. Kaligis mewakili tim kuasa hukum yang ditunjuk, O.C. Kaligis & Associates.
Dalam pledooi tersebut, Terdakwa maupun tim kuasa hukum OCK & Associates mewakili PT NSP menyatakan bahwa seluruh dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak terbukti. Sebaliknya, pihak perusahaan memiliki bukti-bukti yang sah secara hukum yang mampu membuktikan perusahaan tidak bersalah. “Berdasarkan semua fakta-fakta yang terungkap di persidangan, maka, perkara ini seharusnya gugur, dan para Terdakwa harus dibebaskan. Kami berharap, sistem peradilan benar-benar dapat menerapkan peradilan projustitia, yaitu peradilan demi menemukan kebenaran,” tegas O.C. Kaligis.
Hingga saat ini, dari proses persidangan, sama sekali tidak ditemukan bukti yang mendukung dakwaan Jaksa Penuntut Umum. “Kami telah menjalani 11 kali persidangan namun seluruh unsur yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum tidak dapat dibuktikan. Di dalam berkas, Jaksa Penuntut Umum mengetahui bahwa pelaku satu-satunya adalah Sendi, seperti tercantum dalam bukti Berita Acara Perkara Sendi T-1. Sekalipun demikian justru pihak yang tidak bersalah dijadikan terdakwa untuk dakwaan yang sama sekali tidak mereka lakukan,” tambah O.C.Kaligis. Sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), perkara ini seharusnya perlu melewati penyidik pegawai negeri sipil. “Namun hal ini tidak dilakukan. Seandainya melalui penyidik sipil yang mengerti mengenai objek perkara, perkara ini tidak akan sampai ke pengadilan,” tegasnya lagi.
Seluruh area yang terbakar telah ditanami, dan sebagian besar adalah lahan siap panen milik PT NSP, sehingga perusahaan mengalami kerugian dalam jumlah yang tidak sedikit. Seorang saksi ahli, Prof. Dr. Ir. H. M. H. Bintoro Djoefri M. Agr., Guru Besar Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) / Ketua Umum Masyarakat Sagu Indonesia (MASSI), mengatakan, “Tanaman sagu tidak pernah dipupuk. Suatu hal yang tidak mungkin bahwa pemilik lahan sengaja membakar lahan untuk mendapatkan abu dengan tujuan agar mineralnya dapat meningkatkan pertumbuhan sebagai pengganti pupuk sementara pada tanaman sagu. Pemupukan tidak pernah berdampak pada pertumbuhan tanaman sagu.”
“Kebakaran ini adalah bencana,” tegas Dr. Dwi Asmono, Direktur R&D, PT Sampoerna Agro, Tbk. “Areal tanaman sagu yang menjadi tanggung jawab PT NSP bukanlah areal steril. Kapan saja, setiap orang bisa masuk kawasan sagu tersebut.” Ia menambahkan, “Daun sagu rawan terbakar. Namun PT NSP melakukan pemeliharaan berupa pemangkasan anakan, daun-daun tua dan gulma sebanyak dua sampai tiga kali setiap tahunnya.”
PT NSP memiliki sarana dan prasarana lengkap untuk bencana kebakaran termasuk water management yang baik dan sudah melakukan upaya pemadaman maksimal. Alat penanggulangan kebakaran tersebut digunakan selama 24 jam oleh pegawai PT NSP secara bergiliran. “Namun api yang datang disertai dengan angin kencang dan berubah sesuai arah angin, sehingga peralatan yang ada tidak mampu mengatasi kebakaran yang diakibatkan oleh api tersebut. Hembusan angin menyebabkan lokasi-lokasi yang sebelumnya apinya telah padam, terbakar kembali,” ujar Dr. Dwi Asmono.
Idung Risdiyanto, ahli Meteorologi dari Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) - Institut Pertanian Bogor mengatakan, “Peristiwa kebakaran yang terjadi pada areal konsesi PT NSP secara ilmiah terjadi akibat faktor alam. Berdasarkan analisa yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa secara teknis penyebab terjadinya kebakaran pada areal PT NSP disebabkan oleh dinamika cuaca, yakni perbedaan spasial temperatur dan tekanan udara yang besar antara areal konsesi PT NSP dengan areal di sekitarnya (di luar) sehingga memicu terjadinya turbulensi udara dan penyebaran api. Kondisi cuaca saat itu juga menyebabkan peningkatan jumlah bahan bakar berupa serasah dan nekromas yang kering, peningkatan panas dan oksigen, di mana ketiganya adalah syarat atau faktor mutlak terjadinya api.”
Menurut Idung, “Penyebaran api melalui turbulensi udara sulit diprediksi dan tidak dapat dikendalikan. Saluran penampungan air yang dibangun NSP tidak akan mampu membatasi penyebaran api melalui turbulensi udara.” Areal PT NSP seratus persen merupakan lahan gambut basah. Meskipun kondisi lahan gambut dalam keadaan basah, namun serasah kering di atas permukaan akan menerima bunga api hasil dari dispersi dari proses turbulensi dan pergerakannya. Serasah ini kemudian ikut terbakar dan menimbulkan gangguan baru terhadap kondisi udara atas permukaan, sehingga proses ini berulang terus dan sulit dikendalikan.
Kondisi iklim pada saat periode kebakaran lahan (Januari - Maret 2014) di wilayah Riau dan sekitarnya termasuk dalam pola iklim equatorial yang mempunyai dua puncak musim hujan yaitu pada pertengahan Maret-April dan Oktober-Nopember. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), pada periode tersebut, khususnya pada bulan Maret 2014, terdapat pertumbuhan siklon tropis Gillian di sebelah selatan Jawa yang dapat berdampak pada cuaca kering dan minim hujan di Riau. Hal ini disebabkan massa udara yang banyak mengandung uap air bergerak ke arah Selatan Jawa. Kondisi ini memperpanjang periode hari tanpa hujan di Riau seperti yang ditunjukkan pada peta monitoring BMKG, tanpa hari hujan berturut-turut. Kondisi ini akan memicu peningkatan jumlah hotspot, baik yang bersumber dari firespot maupun temperatur permukaan yang tinggi.
Sebagai pemegang konsesi HTI di Indonesia, PT NSP selalu menjunjung tinggi Sustainability Best Practice, dengan salah satu bentuk kebijakannya yaitu Strict Zero Burning Policy. Strict Zero Burning Policy ini diterapkan mulai dari tahap pembebasan lahan, pembukaan, hingga proses pengolahan di pabrik. Secara tegas, PT NSP juga menerapkan Strict Zero Burning Policy ini saat pembuatan perjanjian kerjasama dengan para kontraktor. Selain itu, PT NSP telah melakukan sejumlah upaya penyuluhan kepada masyarakat untuk bersama-sama mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Akibat perkara ini, PT NSP mengalami kerugian materiil. Namun, kerugian terbesar adalah dalam bentuk moril dengan rusaknya nama baik, akibat dipaksakannya status Tersangka dan kemudian Terdakwa kepada perusahaan tanpa disertai bukti-bukti yang sah secara hukum.
---
Untuk keterangan lebih lanjut, silakan hubungi:
Tim Konsultan Hukum OCK & Associates:O.C. Kaligis
0816 190 2088
M. Rullyandi
0878 873 00187
PR Manager, PT Sampoerna StrategicElisabeth Deisi
0815 130 13967
Email: Elisabeth.deisi@sampoernastrategic.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H