Dalam haditsnya Nabi Muhammad SAW bersabda “Innama Bu’istu liutamimma makarimal akhklak” yang bermaksud sesungguhnya Alloh SWT menghadirkanku di dunia ini untuk menyempurnakan akhlak mereka menjadi akhlak yang mulia.
Beliau merupakan sosok seorang guru dan sosok seorang penuntut ilmu sekaligus sosok seorang pemimpin ummah. Beliau hadir ditengah-tengah bangsa arab yang masih jahiliyah dengan beragam masalah sosial dan tata cara hidup yang jauh dari peradaban Islam.
Tanpa keraguan yang ada pada beliau dimulai dari apa yang disandarkan kepada beliau dari sikap, perkataan, perbuatan dan pengajaran menjadi suri tauladan, norma, peraturan dan pedoman hidup dengan kemuliaan sikap perbuatan dan akhlak.
Sepertinya keadaan pada zaman jahiliyah ketika hadirnya Nabi Muhammmad SAW tidak jauh beda dengan zaman saat ini. Walaupun mempunyai rentang berabad tetapi tetap saja zaman sekarang pun tidak terlepas dari banyak persoalan, pertanyaan dan juga permasalahan yang sekarang ini viral dan mendunia.
Dunia sudah sangat canggih sehingga semua elemen masyarakat bisa tahu dan menyaksikan apa yang terjadi. Anak sekolah zaman sekarang banyak tantangannya terlalu istimewa fasilitasnya tetapi sayang tidak seistimewa yang diharapkan selalu saja digembor-gemborkan pendidikan karakter, sedikit-sedikit programnya untuk pendidikan karakter tetapi yang terjadi malah biaya sekolah melambung tinggi akhlak anak sekolah jatuh terjun bebas, gaji guru-guru naik tapi untuk yang punya status saja yang belum punya pandai-pandailah sendiri.
Orang tua dulu menuntut sedikit tapi berbobot mereka hanya ingin anak mereka menjadi orang baik maka dengan kebijakan apa pun mereka ikhlas dan menerima asalkan nantinya anak mereka menjadi anak yang baik, bisa sholat, ngaji, patuh dan disiplin. Tetapi zaman era teknologi canggih orang tua sudah pasang order sesuai dengan trend yang pasti sangat jauh kebijakan dan kebijaksanaannnya dari mereka yang dulu hidup dalam kesederhanaan.
Orang tua zaman sekarang penuh tekanan untuk memenuhi keperluan hidup, mengikuti trend masa kini, harus update status, kalau tidak ada persepsi tidak modern apabila ada kebijakan sekolah yang tidak menyenangkan terus panik, stress, lapor polisi, viralkan di fesbuk,menggunakan kekuasaan untuk menjatuhkan sekolah dan guru karena merasa tidak terima atau tersinggung, sehingga dengan sikap orang tua yang begini akhirnya anak-anak pun tumbuh dan berkembang sebagai pengecut merasa kebal hukum dan aturan sehingga semaunya berperilaku karena sudah ada setting apabila ditegur atau terkena hukuman pasti ada yang membela.
Secara kejiwaan mereka membesar dengan memikirkan kepentingan diri sendiri tanpa rasa beban, rasa empati, peduli yang ada hanya terpenuhi keinginannya dan tidak mau tahu apa resiko sudah pasti ini akan membuat mereka lemah dan tidak berani berdiri sendiri menghadapi resiko dan bertanggung jawab.
Terlalu banyak masalah yang dilakukan anak-anak tetapi orang tua yang menyelesaikan tanpa memberikan pengajaran dan mengambil pelajaran dari apa yang terjadi dengan alasan karena sayang anak tetapi sebenarnya bukan sayang tapi mematikan karakter dan kemahiran hidup anak-anak.
Orang tua lebih risau kalau bayaran kursus sholat dan mengaji tinggi iurannya tetapi justru tiada keriasauan dan bahkan dengan bayaran tinggi membiayai anak-anak mereka kursus musik,kursus vocal dan bernyayi kursus bahasa asing, kursus model dan segala yang menjauhkan mereka dari kedekatan diri kepada agama dan Tuhan hilang Ghirrah keagamaannya.
Sekolah semakin banyak semakin berlomba-lomba mencari status sekolah terbaik, sekolah terunggul, sekolah termahal, sekolah terakreditasi A, sehingga terlupakan makna sekolah yang asas untuk pendidikan dan pengajaran.
Guru-guru semakin banyak, semakin banyak saingan, semakin terbit berita guru terhebat, guru tergaul, guru murah senyum, dan guru-guru murah nilai, sehingga guru-guru harus melupakan integritas mereka sebagai “warosatul anbiya’” penerus dan pemelihara ilmu yang dulu murni sekarang sudah seperti es ABC kelihatan beragam warna, beraneka hiasan, bermacam-macam isi dan variasi, penu serbuk es menjulang tinggi diliputi susu kental manis dan coklat serta sirup stroberi.
Zaman sekarang menjadi guru-guru itu terlalu banyak klasifikasinya, kasta-kastanya, sehingga mereka sibuk dengan pangkat dan gelar dengan maksud mendapatkan tunjangan, insentif tambahan dan gaji tiga belas, guru PNS dan non PNS misalnya begitu jauh pendapatannya, begitu lebar rentang projek dan penghasilannya hanya karena status.
Dalam kasus seperti ini pemerintah harus jeli ukuran apa yang dipakai supaya tidak ada kesenjangan, kecemburuan, kalau pun tidak sama kelasnya atau tidak sesuai cari solusinya bagaimana guru-guru ini tidak terhambat karyanya, tidak hanya dibola pimpong kan kesana kemari hanya untuk mengurus administrasi yang dibayang-bayangi malaikat maut yang membawa spanduk tidak lengkap pecat, potong gaji, dan lain-lain yang berbau ancaman dan ketidaknyamanan.
Kebijakan dan persyaratan-persyaratan yang sering kali berubah-ubah, jangan hanya bermimpi mau dan bercita-cita pendidikan akan maju dan merata kalau upah keringat guru-guru tidak diperlakukan adil, sejahtera dan merata. Saya pernah singgah di kemmendikbud salah satu alasan harus ada status karena guru-guru terlalu banyak. Apakah dengan munculnya guru-guru yang banyak itu sudah tersebar dan menjangkau pelosok-pelosok pedalaman Negara Indonesia tercinta ini? Belum tentu dan sangat susah karena sistem pemerataan guru-guru kita belum stabil dan masih mengikuti alur dan perasaan politik sehingga semua hanya cita-cita.
Pelayanan pendidikan semakin dilihat asal anak-anak senang, orang tua puas, guru-guru tidak usah sok streng dan menegur siswa yang penting semua aman masalah disiplin “sudahlah fleksibel saja mereka kan masih anak-anak.” Seperti ini yang akhirnya ada orang tua pukul guru, orang tua menggunting rambut guru, dan sampai orang tua dengan angkuh dan sombongnya tidak malu menunjukkan kebanggaannya memasukkan guru ke penjara hanya karena menegur dan mencubit anaknya, teriak-teriak hak asasi manusia, berkoar-koar tentang keadilan dan pembelaan terhadap anak.
Tetapi ketika anak mereka berhasil mereka hanya mencari guru-guru yang baik-baik saja, guru yang tidak marah, menegur, atau menasehati anak-anak mereka yang salah. Keadilan untuk hak asasi manusia, keadilan untuk perlindungan hukum untuk anak-anak begitu merdu dan syahdu tetapi guru zaman sekarang tidak semua sakti seperti Omar Bakri mereka berpaling arah jauh karena tiada siapa yang memperhatikan, hak asasi, perlindungan hukum dan kesejahteraan seperti sejarah dan laungan musik-musik klasik yang memarut-marut hati.
Mereka yang pensiunan guru dan yang masih tegar dengan apa yang ada tanpa status tentu sedih dan tiada pilihan dengan bekal “ghirrah pendidik” terus ikhlas dan menjalankan semua keawajiban untuk generasi bangsa yang berakhlak mulia, mengharumkan nama baik bangsa yang sekarang ini menjadi olok-olokan dan cemoohan negar-negara yang memang mereka tidak ingin dan takut apabila bangsa Indonesia tercinta ini tegak dan berdiri kokoh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H