Kebahagiaan, barangkali, adalah satu-satunya hal yang disepakati semua orang sedunia, tidak perduli apapun gendernya, atau etnisnya, kebangsaannya, kulturnya, bahasanya, dan bahkan agamanya. Semua orang menginginkannya, memimpikannya dan mengejarnya. Kita patut berbahagia bahwa pada basic human level ini, kita dapat bersepakat, at least.
[mungkin ini bukti bahwa all human being ini pada dasarnya adalah sama, kita cuman terlanjur bodoh, dengan selalu membeda-bedakan diri]
Karena, bahkan dalam very next level, berikutnya, mungkin kita sudah sulit lagi untuk dapat bersepakat; misalnya, dalam bagaimana cara kita mengejar kebahagiaan itu. Tapi, tidak bersepakat dalam bagaimana caranya, mungkin saja ini adalah berkah; karena ini bisa berarti ada various pilihan. Tidak sesuai dengan suatu cara, mungkin dapat menempuh cara lain.
Salah satu pilihan, yang saya pahami adalah dengan cara "menepati keta'atan dan menjauhi kejahatan". Dengan bahasa lain dapat dikatakan: "menjadi religious dan spiritual". Atau, dalam bahasa lain lagi: "dengan bertakwa".
Mungkin ada orang yang bertanya: bagaimana kita dapat menjadi "orang yang bertakwa". Jawabannya simple, meski bukan berarti mudah: yaitu, dengan jalan "berusaha untuk terus-menerus bertakwa, atau terus-menerus menepati keta'atan dan menjauhi kemungkaran". Ini artinya terus berusaha, bekerja keras, bersusah payah, berlelah-lelah.
Ini sekedar cara logis seperti orang menjadi pandai naik sepeda; yaitu dimulai dengan terus berlatih naik sepeda, jatuh dan bangun, jatuh dan bangun lagi, terus bersepeda. Atau seperti orang menjadi bagus dalam bermain golf; yaitu dengan terus mengayunkan swing, swing demi swing, gagal dan berhasil, terus swing demi swing, hingga menjadi bagus dengannya. Tidak ada misteri dalam bagaimana meraih sebuah keahlian.
Cuman, memang ada hal-hal tertentu, yang mungkin sebaiknya dihindari, agar membantu memudahkan kita dalam berlatih, dan dalam meraih hasil yang terbaik dari latihan itu. Dalam hal untuk berlatih, dan meraih derajat "takwa" itu, satu hal yang sebaiknya dihindari adalah "hubbud dunya", cinta dunia.
Kita tahu belaka akan bahaya "hubbud dunya", cinta dunia ini; dengan melihatnya ke dalam pengalaman pribadi kita masing-masing, betapa kelelahan dalam mengejarnya, akan dilanjutkan dengan kelelahan dalam menjaganya, dengan kekhawatiran akan kehilangannya, dengan ketakutan akan ada yang merampasnya, dan dilanjutkan dengan godaan untuk menambahnya, dilanjutkan lagi dengan kelelahan untuk mengejarnya, untuk memeliharanya, dan dengan godaan cemburu atas yang dimiliki orang lain, yang tampak lebih baik dan lebih banyak, dan dilanjutkan lagi dengan godaan untuk menambahnya, dan seterusnya dan seterusnya, tanpa akhir.Â
Kata kuncinya adalah "tanpa akhir", pengejaran "tanpa akhir", dan kelelahan "tanpa akhir".
[-]Â "Di dalam kedua usaha itu, usaha untuk meraih derajat takwa, dan usaha mengejar harta, masing-masiing ada unsur kelelahan karena kerja keras; lalu apa bedanya?" seseorang mungkin bertanya.
[+]Â "Ada perbedaannya, kawan, yaitu dalam hal kepuasan dan kebahagiaan yang akan dirasakan hati. Kelelahan yang sama itu hanyalah pada level kelelahan fisik; sedangkan hal di dalam hati, yaitu kepuasan dan kebahagiaan yang dicapai hati, akan sangat berbeda. Sebutkan saja faktor sederhananya: di dalam pengejaran dunia, ada kerusakan hati berupa kekhawatiran, kecemburuan, iri hati."
Dapat dikatakan, hal yang dipuaskan adalah berbeda. Ketika yang dipuaskan dengan pengejaran benda duniawi adalah nafsu, maka yang dipuaskan oleh kelelahan dalam ketaatan adalah hal yang lain, mungkin ruh.Â
Yang pasti dari pengalaman adalah kepuasan nafsu hanya akan sekejap, sebelum ia akan kembali merasa kurang dan menganga haus kembali, sementara kepuasan ruh, akan berlanjut kepada kebahagiaan. Oleh karena itu, orang-orang tua yang bijaksana suka mengatakan: "Janganlah sekali-kali kehidupan dunia ini memperdayakanmu."
Maka, yang patut kita lakukan saat ini, sebagai permulaan, adalah meng-evaluasi diri, sudah sejauh apa keterlibatan dan keterikatan kita pada "pergumulan nafsu duniawi" ini, dan setelah menetapkan batas-batasnya, mungkin kita untuk selanjutnya dapat working on it.
Batasan masing-masing orang mungkin berbeda; dengan bahasa lain, hal-hal yang cukup bagi seseorang, mungkin tidak cukup bagi orang lain. Orang berusia 40-an, mungkin berbeda kebutuhannya dengan orang dengan usia 20-an. Maka, dalam evaluasi diri ini, hanya diperlukan kejujuran terhadap diri sendiri.
Menurut saya, ukuran yang dapat dikenakan pada diri sendiri adalah: sejauh mana pergumulan duniawi ini akan mengurangi kesempatan kita untuk ber-khidmat dengan kerja-kerja ruhaniah kita. Yang pasti, semakin besar porsi pergumulan kita dengan kerja-kerja ruhaniah ini, akan semakin besar pula kesempatan kita untuk meraih kebahagiaan ruhaniah itu, baik di dunia ini, dan tentu di akhirat kelak.Â
Sebaliknya, semakin sedikit waktu dan usaha yang kita dedikasikan utk itu, akan semakin kecil dan rendah pula pencapaian kita. Jadi, pilihan ini jatuh ke tangan kita sendiri untuk memutuskan.
Selanjutnya, kita dapat mulai working on it: dengan membuat rencana, langkah-langkah kerja, dan mungkin menggunakan tools PDCA, Plan Do Check Action.
Tentu saja dengan keyakinan bahwa Dia jugalah yang menentukan keberhasilannya, karena, La Hawla wa La Quwwata Illa billahi -- Tidak ada daya dan kekuatan kecuali atas anugerah-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H