Mohon tunggu...
Herman Efriyanto Tanouf
Herman Efriyanto Tanouf Mohon Tunggu... Penulis - Menulis puisi, esai, artikel lepas

Founder dan Koordinator Komunitas LEKO Kupang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mempertanyakan Pelarangan Helketa

9 Februari 2022   23:55 Diperbarui: 11 Februari 2022   09:58 1279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Maka yang harus ditindaki, mungkin soal belis atau resepsi. Tapi lagi-lagi, itu sudah menjadi kebiasaan (tradisi) masing-masing suku/ keluarga yang adanya bukan tanpa alasan. Kalau keluarga berduit, ya pasti ada pesta megah, kalau tidak ya syukuran seadanya. Nah, belis ini yang perlu ditegaskan. Tapi kembali lagi, itu urusan rumah tangga suku/ keluarga tertentu.

Kalau segala wujud budaya dikaitkan dengan iman, sudah tentu bertentangan. Tidak hanya Helketa, tetapi wujud budaya lain di Timor seperti rumah adat, hauteas, ritual tanam, panen, dan segala ritual masyarakat adat sejak kelahiran hingga kematian. Sebab semua praktik kebudayaan yang diwariskan di Timor Barat berwujud superstisi. Bukankah kita lahir dan kehidupan kita dibingkai simbol-simbol? Nama yang diberi dan melekat pada diri kita pun merupakan simbol, identitas.

Pada tahap ini, saya pun membayangkan: ritual syukur panen yang saat ini tengah dilangsungkan di Insana dan daerah-daerah lain pun turut dilarang. Atau, nama suku turut dihapus. Mampuslah masyarakat adat yang sebenarnya mengandalkan kekerabatan.

***

Ibarat tungku:
Tungku 1: Nikah Gereja
Tungku 2: Nikah Sipil
Tungku 3: Nikah Adat

Kalau ketiganya ada, tungku berfungsi dengan baik. Hilang satu, jangan kaget kalau beras atau jagung di periuk berhamburan.

Demikian adat-istiadat, selalu menjadi 'musuh'. Itu salah satu sebab mengapa peradaban kita tidak begitu kuat. Kita semua tahu, di Timor adat telah ada, jauh sebelum agama ada. Keduanya perlu berjalan bersama, tentu dengan batas-batas (kesesuaian).

Dari semua catatan di atas, perlu diingat juga: sebenarnya Helketa, hanya berlaku bagi suku-suku yang berselisih di masa lalu dan saat ini. Kalau tidak ada perselisihan, ya tidak perlu Helketa. Tetapi kita yang ada di masa kini, tidak pernah tahu para leluhur kita pernah berselisih atau tidak,  sehingga Helketa tetap dilangsungkan. Selebihnya perlu dimaknai sebagai ritual pembersihan dari segala, sebelum sepasang anak manusia sah sebagai istri-suami di hadapan agama, pemerintah, dan tentu adat itu sendiri.

Efek dari kebijakan itu: mobilisasi massa ke acara Helketa tentu berkurang. Bila perlu hanya pasangan, orang tua kandung, dan 1 - 2 atoin amaf. Tidak perlu bawa banyak keluarga. Hewan kurban juga cukup ayam saja, tidak perlu bawa babi, kambing, sapi, apalagi kerbau. Kalau kebijakannya seperti ini, bolehlah.

Di sisi lain, umat dan/atau masyarakat adat di Timor perlu paham soal Helketa itu sendiri. Helketa itu bukan sebuah trend, sehingga tidak semua suku di Timor bisa memberlakukan Helketa, kalau itu terjadi maka selama ini umat keliru. Apalagi suku-suku yang mau Helketa tidak punya sejarah konflik atau lasi bata

Masyarakat adat secara khusus tokoh-tokoh adat, para atoin amaf juga perlu menyederhanakan ritual helketa. Jangan sampai keluarga harus mengeluarkan banyak anggaran dan terbeban; yang menjadikan Gereja Katolik di Atambua menilai itu sebagai beban bagi umat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun