Mohon tunggu...
Herman Efriyanto Tanouf
Herman Efriyanto Tanouf Mohon Tunggu... Penulis - Menulis puisi, esai, artikel lepas

Founder dan Koordinator Komunitas LEKO Kupang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mempertanyakan Pelarangan Helketa

9 Februari 2022   23:55 Diperbarui: 11 Februari 2022   09:58 1279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Helketa, ritual pranikah bagi Atoin Meto (orang Dawan Timor) yang dilangsungkan bagi calon istri-suami.

Ritual nikah adat ini telah berlangsung lama, diwariskan oleh para leluhur di Timor Barat (Timor Tengah Utara, Belu, dan Malaka) hingga saat ini. Helketa lebih masif dilangsungkan oleh suku-suku tertentu di TTU seperti Biboki, Insana, dan Miomaffo.

Helketa tidak sebatas ritual, tetapi menyimpan makna yang amat dalam, sarat filosofi.  Banyak yang alpa, dan salah kaprah tentang Helketa. Mereka menjadikan ritual ini sebagai trend, akibatnya hampir semua suku di Timor Barat memberlakukan Helketa.

Hal ini yang mungkin menjadi salah satu dasar terbitnya surat Uskup Keuskupan Atambua, Mgr. Dr. Dominikus Saku, Pr tertanggal 05 Februari 2020 dengan nomor 14/2022 perihal Pelarangan Acara Helketa.

Dalam surat tersebut, ada empat poin penting yang ditulis Yang Mulia (YM) Uskup Atambua, antara lain:
1. Bertentangan dengan iman Katolik (praktek superstisi dan mythis-magis);
2. Tidak memiliki dasar dalam kehidupan sosio-kultural;
3. Memecah-belah hubungan kekerabatan dan hubungan antar manusia;
4. Menambah beratnya beban ekonomi keluarga dan masyarakat.

Larangan itu dipertegas lagi dengan pembatalan nikah Gereja bagi pasangan yang ketahuan melangsungkan Helketa. Benar-benar tegas, mau pilih Helketa atau nikah Gereja? Tidak mungkin kedua-duanya dipilih, dan semua memiliki resiko.

Kita bersyukur, pihak Keuskupan Atambua melalui surat yang dikeluarkan YM Bapa Uskup Atambua, menjadi catatan kritis bagi umat Katolik secara khusus masyarakat adat di Timor Barat.

Tentu bukan tanpa alasan surat tersebut dikeluarkan. Semua alasan yang disampaikan Bapa Uskup benar adanya, dan itu bentuk kepedulian Gereja Katolik di Atambua terhadap kehidupan umatnya, masyarakat adatnya.

Namun, saya secara pribadi berharap semoga pihak Keuskupan Atambua bisa mempertimbangkan berbagai masukan ataupun catatan-catatan yang tersebar di media sosial.

Secara khusus soal Helketa, sikap Gereja Katolik mungkin lebih kepada mengembalikan esensi dari Helketa itu sendiri, dan tidak melarang ritual itu dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun