Mohon tunggu...
Herman Efriyanto Tanouf
Herman Efriyanto Tanouf Mohon Tunggu... Penulis - Menulis puisi, esai, artikel lepas

Founder dan Koordinator Komunitas LEKO Kupang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Razia Buku "Kiri", Upaya Mematikan Geliat Literasi dan Membungkam Ke-Merdeka-an

17 Agustus 2019   13:58 Diperbarui: 18 Agustus 2019   07:12 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini razia buku yang diduga berhaluan 'kiri' marak terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Pada akhir Desember 2018, razia buku terjadi di Kota Kediri, Jawa Timur yang dilakukan oleh aparat TNI dari Kodim 0809 Kediri. Razia tersebut dilakukan setelah aparat bersangkutan mendapat laporan dari warga setempat. Sebanyak ratusan judul buku yang berhasil dirazia sebagaimana dilansir BBC News dalam artikel berjudul Razia buku: Mengapa buku-buku kiri menjadi sasaran (9/1/2019). Beberapa di antaranya, Manifesto Partai Komunis, Catatan Perjuangan 1946-1948, Gerakan 30 September dan Oposisi Rakyat.

Berselang dua minggu, razia buku terjadi lagi di Kota Padang, Sumatera Barat, tepatnya 8 Januari 2019. Razia tersebut melibatkan apparat gabungan TNI, POLRI dan Kejaksaan Negeri. Terdapat enam eksemplar dari tiga judul buku yang dirazia, antara lain, Mengincar Bung Besar: Tujuh Upaya Pembunuhan Presiden Sukarno, Kronik 65 dan Jasmerah.

Lima bulan setelah peristiwa itu (27 Juli 2019), aksi yang sama dialami dua mahasiswa asal Jawa Timur yang tergabung dalam Komunitas Vespa Literasi. Lagi-lagi, razia dilakukan oleh aparat POLRI dari Kepolisian Sektor Kraksaan, Probolinggo, Jatim dan didukung oleh MUI. Sesuai laporan reporter Tirto.id dalam artikel berjudul Razia Buku Sudah Dilarang, Kok Pembawa Buku DN Aidit Ditangkap? ada beberapa buku yang berhasil 'direbut' antara lain, D.N. Aidit: Sebuah Biografi Ringkas, Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara, Menempuh Djalan Rakjat D.N. AIDIT dan Marxisme & Leninisme.

Setelah seminggu, publik terutama di dunia maya dihebohkan lagi oleh beberapa oknum yang mengatasnamakan Brigade Muslim Indonesia, ini bukan aparat keamanan seperti TNI dan POLRI. Beberapa buku yang berhasil disita, seperti dimuat di Tirto.id (2/8/2019) adalah Dalam Bayang-Bayang Lenin: Enam Pemikiran Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka dan Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Kedua buku tersebut ditulis oleh Franz Magnis-Suseno, Pastor, Budayawan dan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Beberapa kasus di atas menjadikan literasi baca-tulis di Indonesia 'berwajah' melankolik. Buku bukan lagi menjadi teman setia bagi setiap mereka yang ingin hidup secara beradab. Ialah mereka yang senantiasa merawat ingatan dengan membaca dan menulis. Sebagai actus, membaca tentu bisa dilakukan oleh siapa saja, tetapi tidak bagi aktivitas menulis.

Ditilik dari beberapa judul yang ada, maka dapat diketahui bahwa buku-buku tersebut meyimpan catatan panjang dan mendalam tentang sebagian sejarah di ini negeri. Bukankah adanya Negara tidak terlepas dari situasi historis? Bagaimana mungkin sebuah bangsa mengetahui seluk-beluk adanya Negara yang tengah dihuni tanpa membaca? Sudahkah bangsa di ini negeri menghargai para pemikir dan penulis yang menjadikan mereka sangat beradab?

Buku-buku yang memuat catatan sejarah, berhasil dirawat oleh oleh para penulis yang mencintai ingatan. Cara mereka mencintai bukanlah sebuah imajinasi belaka, sebagaimana ketika Anda membaca karya-karya fiksi sampah yang mengandalkan romantisme belaka. Ketahuilah bahwa cinta yang mereka wujudkan itu melalui riset bertahun-tahun, data dikumpulkan, diolah, otak diperas dengan seperangkat teori dan kemampuan menulis mumpuni, hingga akhirnya menjadi sebuah buku.

Lantas bagaimana cara kita menghargai buah pikir dan usaha kreatif para penulis? Cukuplah dengan membaca, kalau tidak punya selera, baca buku lain saja, bukan dengan cara menjarah, menghancurkan, merazia atau sejenisnya. Sangat disayangkan, ketika buku-buku direbut tanpa proses dan alasan masuk akal apalagi tidak dibaca.

Bagaimana Seharusnya Mereka Bertindak?

Tanggapan dari berbagai pihak terkait razia buku yang marak terjadi, menimbulkan kecurigaan publik terhadap oknum-oknum tersebut. Kecurigaan itu bisa kita simpulkan dalam sebuah pertanyaan mendasar: Sudahkah mereka baca buku-buku yang dirazia?

Pertanyaan sekaligus kegelisahan itu muncul sebagai akibat dari kurangnya pemahaman dari pihak-pihak yang melakukan razia. Buku-buku yang diduga memuat paham 'kiri' dirazia tanpa suatu proses yang dapat dipertanggungjawabkan. Mereka bertindak sewenang-wenang tanpa alasan yang mampu diterima nalar sehat (orang-orang beradab).

Sejauh ditelusur, mereka hanya melihat tampilan buku, baik judul, warna cover maupun ilustrasi. Hal terpenting yang luput dari perhatian adalah isi buku. Dapat disimpul, pihak-pihak yang melakukan razia itu, sebelumnya memang tidak membaca isi buku samasekali.

Tidak membaca bukan berarti tidak paham, juga bukan berarti oknum-oknum tersebut tidak tahu membaca, ini kan namanya sin namkak! Tindakan itu justru dilandasi oleh pemahaman lebih tentang paham-paham berhaluan 'kiri', sayangnya dibangun di atas fanatisme yang berlebihan.

Fanatisme dalam paksaan ego menjadikan mereka bertindak tanpa suatu pertimbangan matang, juga tanpa melalui proses yang diamanatkan dalam peraturan. Jika kemudian tindakan itu didasarkan pada Ketetapan MPRS Nomor XXV tahun 1966 yang berisi tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan larangan paham komunisme di Indonesia dalam segala bentuk, Undang-Undang Nomor 27 tahun 1999 tentang Perubahan Pasal 107 KUHP, maka tindakan itu sangat keliru.

Walaupun produk-produk hukum tersebut tetap berlaku hingga saat ini, tetapi tindakan tersebut tetap harus melewati proses yang tepat. Salah satu proses yang harus ditempuh adalah seizin pengadilan sebaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 13 Oktober 2010.

Dalam putusan itu, MK menegaskan bahwa kewenangan pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung sesuai Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4/PNPS/ 1963, bertentangan dengan konstitusi. Artinya, segala pendekatan terhadap ancaman paham 'kiri' harus sesuai hukum yang berlaku, bukan sebaliknya bertindak sewenang-wenang.

Menghancurkan Peradaban, Mematikan Geliat Literasi

Adanya sebuah buku berkaitan erat dengan salah satu literasi dasar, yakni baca-tulis. Sebagai literasi yang memiliki peran (fungsional), membaca dan menulis memampukan seseorang memiliki pengetahuan dan kehidupan yang baik. Membaca tidak terbatas pada aktivitas di tengah waktu luang, tetapi sebagai kebutuhan paling mendasar bagi siapa saja. Demikian pun dengan menulis adalah respon atas segala realitas masyarakat dan semesta.

Peradaban sebuah bangsa hanya akan kokoh oleh kedua actus tersebut. Jika membaca adalah usaha mendulang pengetahuan, maka menulis adalah usaha kreatif untuk 'menyediakan' ide atau pengetahuan itu sendiri. Upaya merazia buku-buku yang menyimpan segudang pengetahuan, itu sama saja menghancurkan peradaban sebuah bangsa.

Fernando Baez dalam bukunya Penghancuran Buku dari masa ke masa (terjemahan Lita Soerjadinata) yang diterbitkan oleh Penerbit Marjin Kiri (2013), menggambarkan secara dramatis upaya penghancuran buku oleh para biblioklas (penghancur buku).

Baez di halaman awal bukunya, menyuguhkan kepada pembaca sebuah kisah melankolik yang dialami seorang profesor sejarah abad pertengahan di Bagdad. Profesor itu meratapi peristiwa penjarahan dan penghancuran buku di perpustakaan Universitas Bagdad, tempat ia mengajar. "Kenangan kita tidak ada lagi. Tempat lahir peradaban, tulisan, dan hukum, musnah terbakar. Sisanya tinggal abu," ungkap profesor tersebut seturut kisah Baez (hal. 3).

Baez juga mengisahkan sejarah penghancuran buku dari zaman Dunia Kuno, Byzantium sampai abad k-19, selanjutnya abad ke-20 sampai saat ini. Baez setelah melakukan riset selama 12 tahun kemudian mencapai suatu kesimpulan bahwa para penghancur buku adalah orang-orang terpelajar yang berupaya menyingkirkan buku-buku oleh sebab tekanan mitos-mitos apokaliptis, depresif, perfeksionis, egois dan cenderung berada dalam lembaga yang berada dalam kekuatan yang sedang berkuasa (Baez, hal. 22).

Di Indonesia sendiri, Airlangga Pribadi, Pengamat Politik dari Universitas Airlangga menilai, razia buku terjadi sebagai akibat warisan Orde Baru yang membatasi pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap sejarah negerinya sendiri. Aparat ingin menjadikan paham tersebut sebagai mitos (BBC News, 9/1/2019).

Di lain pihak, Romo Magnis yang beberapa bukunya juga turut disita menilai secara tegas, razia buku sebagai tanda kebodohan besar dan kekurangajaran terhadap ilmu pengetahuan, sebagaimana dimuat dalam artikel Tirto.id, "Razia Buku Makassar: Beraksi karena Sampul Marx, tapi Tak Paham Isi". Ia mengganggap, orang-orang yang melakukan razia hanya ingin menyebarkan kegelisahan akan adanya Leninisme dan Marxisme di Indonesia.

Tanggapan-tanggapan tersebut tentu menyayangkan usaha penyingkiran buku dalam segala bentuk. Aksi tersebut pun tanpa melalui proses yang sahih dan tidak dibenarkan. Penyingkiran buku tidak lebih dari bayang-bayang ketakutan akan masa lalu dan vandalisme yang berujung pada hancurnya peradaban bangsa.

Pemerintah dengan dukungan dari berbagai komunitas literasi di Indonesia, bahkan kebanyakan komunitas bergiat dan memilih jalan sendiri, semarak mengkampanyekan literasi sebagai sebuah gerakan. Ada juga usaha beberapa komunitas yang peduli pada literasi dasar itu, turun ke jalanan untuk mendekatkan bahan bacaan kepada masyarakat.

Tantangan paling besar yang sering dijumpai adalah terbatasnya bahan atau akses bacaan.  Itu sebabnya para pegiat literasi berupaya untuk membangun jaringan yang kiranya mampu mengatasi persoalan yang ada. Di mana-mana, buku-buku didonasikan ke berbagai daerah (pelosok) di Indonesia.

Harapan besar akan generasi Indonesia yang 'melek' baca, sudah ada. Jika kemudian ada usaha-usaha menghalangi peredaran buku, tiada bedanya dengan mematikan geliat literasi itu sendiri. Apalah arti dari Gerakan Literasi Nasional yang dicanangkan pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan?

Indonesia sebagai bagian dari bangsa-bangsa di dunia, perlu mengetahui pemikiran-pemikiran dari luar. Paham 'kiri' atau apalah itu, seperti Marxisme, Leninisme dan lainnya, selagi dibaca sebagai usaha menambah pengetahuan tanpa praksis, hemat saya itu bukan sebuah ancaman bagi ideologi bangsa dan Negara.

Membungkam Ke-MERDEKA-an

Ini hari, 17 Agustus 2019, seluruh lapisan masyarakat merayakan hari ulang tahun ke-74 Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hampir seabad Indonesia merdeka, di mana-mana, lagu-lagu kebangsaan dikumandangkan, Merah Putih dikibarkan di tiang-tiang istana hingga media-media sosial, nasionalisme dan patriotisme digaungkan, di balik itu semua ada bayang-bayang 'mencekam'.

Belum lama dan mungkin akan terjadi lagi tindakan yang tidak beradab, adanya sebagai wujud bayang-bayang itu. Ialah razia buku yang mengindikasikan adanya 'kekuasaan' yang lain. Masyarakat seolah dikungkung kemerdekaannya untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas. Negara melalui 'kekuasaan' itu, tidak lagi menjamin secara mutlak usaha warga Negara untuk berpengetahuan lebih kebebasan menampung ide, dibatasi. Sudahkah bangsa ini merdeka?

Jika Belanda dan Jepang adalah masa kelam bagi Indonesia di masa lalu, maka di kekinian Indonesia sebagai sebuah Negara tengah menjajah bangsanya sendiri dalam segala bentuk. Selain kemiskinan, kesenjangan sosial, kriminalitas, dan lain-lain, kebodohan juga menjadi salah satu masalah besar di ini Negara. Kebodohan itu sendiri tidak terbatas pada orang-orang yang memang tidak memiliki pengetahuan samasekali, tetapi ada pada mereka yang merasa pintar. Eh, bukannya harus pintar merasa?

Kita boleh sepakat dengan pernyataan Romo Magnis bahwa razia buku adalah tanda kebodohan dan kekurangajaran terhadap ilmu pengetahuan. Lebih jauh dari itu, razia buku menjadi upaya dari pembodohan terhadap bangsa, secara individu. Upaya pembodohan inilah suatu bentuk hegemoni yang sebenarnya tengah dibangun dengan dalil 'ancaman' terhadap ideologi. Catatan riil di masa lampau dijadikan mitos yang tentunya menghancurkan peradaban.

Razia buku, itu usaha mendatangkan 'ancaman' yang lebih besar. Semakin marak dilakukan, masyarakat semakin ingin tahu akan paham-paham 'kiri'. Tampilan fisik boleh saja dirazia, disingkirkan dan dihancurkan, tetapi akan semakin banyak e-book yang tersebar di mana-mana, mudah diakses siapa saja. Apapun tindakan itu, jangan sampai menghancurkan peradaban, mematikan spirit literasi yang tengah dibangun dan menjadikan bangsa senantiasa dijajah. MERDEKA!

***

Kupang, Agustus 2019
HET

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun