Di Indonesia sendiri, Airlangga Pribadi, Pengamat Politik dari Universitas Airlangga menilai, razia buku terjadi sebagai akibat warisan Orde Baru yang membatasi pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap sejarah negerinya sendiri. Aparat ingin menjadikan paham tersebut sebagai mitos (BBC News, 9/1/2019).
Di lain pihak, Romo Magnis yang beberapa bukunya juga turut disita menilai secara tegas, razia buku sebagai tanda kebodohan besar dan kekurangajaran terhadap ilmu pengetahuan, sebagaimana dimuat dalam artikel Tirto.id, "Razia Buku Makassar: Beraksi karena Sampul Marx, tapi Tak Paham Isi". Ia mengganggap, orang-orang yang melakukan razia hanya ingin menyebarkan kegelisahan akan adanya Leninisme dan Marxisme di Indonesia.
Tanggapan-tanggapan tersebut tentu menyayangkan usaha penyingkiran buku dalam segala bentuk. Aksi tersebut pun tanpa melalui proses yang sahih dan tidak dibenarkan. Penyingkiran buku tidak lebih dari bayang-bayang ketakutan akan masa lalu dan vandalisme yang berujung pada hancurnya peradaban bangsa.
Pemerintah dengan dukungan dari berbagai komunitas literasi di Indonesia, bahkan kebanyakan komunitas bergiat dan memilih jalan sendiri, semarak mengkampanyekan literasi sebagai sebuah gerakan. Ada juga usaha beberapa komunitas yang peduli pada literasi dasar itu, turun ke jalanan untuk mendekatkan bahan bacaan kepada masyarakat.
Tantangan paling besar yang sering dijumpai adalah terbatasnya bahan atau akses bacaan. Â Itu sebabnya para pegiat literasi berupaya untuk membangun jaringan yang kiranya mampu mengatasi persoalan yang ada. Di mana-mana, buku-buku didonasikan ke berbagai daerah (pelosok) di Indonesia.
Harapan besar akan generasi Indonesia yang 'melek' baca, sudah ada. Jika kemudian ada usaha-usaha menghalangi peredaran buku, tiada bedanya dengan mematikan geliat literasi itu sendiri. Apalah arti dari Gerakan Literasi Nasional yang dicanangkan pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan?
Indonesia sebagai bagian dari bangsa-bangsa di dunia, perlu mengetahui pemikiran-pemikiran dari luar. Paham 'kiri' atau apalah itu, seperti Marxisme, Leninisme dan lainnya, selagi dibaca sebagai usaha menambah pengetahuan tanpa praksis, hemat saya itu bukan sebuah ancaman bagi ideologi bangsa dan Negara.
Membungkam Ke-MERDEKA-an
Ini hari, 17 Agustus 2019, seluruh lapisan masyarakat merayakan hari ulang tahun ke-74 Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hampir seabad Indonesia merdeka, di mana-mana, lagu-lagu kebangsaan dikumandangkan, Merah Putih dikibarkan di tiang-tiang istana hingga media-media sosial, nasionalisme dan patriotisme digaungkan, di balik itu semua ada bayang-bayang 'mencekam'.
Belum lama dan mungkin akan terjadi lagi tindakan yang tidak beradab, adanya sebagai wujud bayang-bayang itu. Ialah razia buku yang mengindikasikan adanya 'kekuasaan' yang lain. Masyarakat seolah dikungkung kemerdekaannya untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas. Negara melalui 'kekuasaan' itu, tidak lagi menjamin secara mutlak usaha warga Negara untuk berpengetahuan lebih kebebasan menampung ide, dibatasi. Sudahkah bangsa ini merdeka?