Membaca puisi Manusia-manusia Patung karya Gusty Fahik (Gufak) yang terpampang pada halaman Headline Kompasiana (27/1/2019) menuntut pembaca untuk melakukan aktivitas membaca "beberapa kali". Saya yakin bahwa pembaca gelisah (aktif-kritis) tentu membutuhkan waktu ekstra untuk memaknai dan memahami intensi puisi tersebut. Syukurlah jika ada pembaca yang "sekali baca" langsung memahami motivasi dari puisi tersebut. Apresiasi patut dilayangkan.
Tentunya bukan tanpa alasan "sistem/ kurator" di Kompasiana memberikan label Headline tidak lebih dari 20 menit ketika Manusia-manusia Patung ditayangkan Gufak. Saya sempat "kaget" ketika puisi tersebut langsung diberi label headline, saat itu. Bukan soal kualitas tetapi tempo yang menurut saya terlampau singkat untuk sebuah karya (puisi) lolos kurasi. Gufak yang adalah salah satu penulis (sastrawan) NTT produktif memang sudah tidak diragukan lagi kualitas tulisannya. Ah, agar tidak terjebak dalam subyektivitas, mari kita menyimak interpretasi berikut.
Dalam posisi sebagai pembaca gelisah, ulasan ini mungkin mewakili para pembaca yang sempat berkerut kening ketika membaca puisi tersebut. Gufak dalam proses kreatifnya menghadirkan imaji liar dan kaya akan metafora yang liar pula.
Tentang Manusia-manusia Patung, Gufak seolah mengajak pembaca untuk berfilsafat. Toh, memang karya sastra tidak bisa dilepas-pisahkan dari filsafat. Adalah hambar jika suatu karya sastra dipisahkan dari cabang ilmu tersebut. Demikian puisi lahir dari dunia sunyi penyair. Ia yang menyikapi realitas melalui permenungan mendalam, sebagaimana manusia berfilsafat.
Sebelum mengulas lebih jauh ada baiknya saya lampirkan puisi Gufak. Berikut puisinya:
Manusia-Manusia Patung
Â
/1/
Beberapa malam terakhir
entah oleh sebab apa ia terbangun, melihat
sosok-sosok yang telah menjadi patung
saling kunjung
oh, itu bukan patung-patung
mereka manusia
atau yang sesekali waktu
pernah menjadi manusia
seperti dirinya?
Ia bertanya entah tentang siapa.
/2/
Ia telah membeli kaca mata untuk berjaga-jaga
bila terbangun lagi malam ini
ia akan mampu membedakan patung-patung
dari manusia,
dari dirinya
tapi ia tak melihat (si)apa-(si)apa
hanya suara-suara berkisah tentang kemarau panjang
yang membakar ladang-ladang jagung
seperti kabar kematian yang dekat meski tetap asing
/3/
Aku bosan menjadi patung, ia mendengar sebuah suara
Oh, aku sudah lelah menjadi manusia,