Mohon tunggu...
Herman Efriyanto Tanouf
Herman Efriyanto Tanouf Mohon Tunggu... Penulis - Menulis puisi, esai, artikel lepas

Founder dan Koordinator Komunitas LEKO Kupang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memungut Keping-keping Kehancuran "Manusia-manusia Patung"

31 Januari 2019   15:38 Diperbarui: 31 Januari 2019   15:53 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca puisi Manusia-manusia Patung karya Gusty Fahik (Gufak) yang terpampang pada halaman Headline Kompasiana (27/1/2019) menuntut pembaca untuk melakukan aktivitas membaca "beberapa kali". Saya yakin bahwa pembaca gelisah (aktif-kritis) tentu membutuhkan waktu ekstra untuk memaknai dan memahami intensi puisi tersebut. Syukurlah jika ada pembaca yang "sekali baca" langsung memahami motivasi dari puisi tersebut. Apresiasi patut dilayangkan.

Tentunya bukan tanpa alasan "sistem/ kurator" di Kompasiana memberikan label Headline tidak lebih dari 20 menit ketika Manusia-manusia Patung ditayangkan Gufak. Saya sempat "kaget" ketika puisi tersebut langsung diberi label headline, saat itu. Bukan soal kualitas tetapi tempo yang menurut saya terlampau singkat untuk sebuah karya (puisi) lolos kurasi. Gufak yang adalah salah satu penulis (sastrawan) NTT produktif memang sudah tidak diragukan lagi kualitas tulisannya. Ah, agar tidak terjebak dalam subyektivitas, mari kita menyimak interpretasi berikut.

Dalam posisi sebagai pembaca gelisah, ulasan ini mungkin mewakili para pembaca yang sempat berkerut kening ketika membaca puisi tersebut. Gufak dalam proses kreatifnya menghadirkan imaji liar dan kaya akan metafora yang liar pula.

Tentang Manusia-manusia Patung, Gufak seolah mengajak pembaca untuk berfilsafat. Toh, memang karya sastra tidak bisa dilepas-pisahkan dari filsafat. Adalah hambar jika suatu karya sastra dipisahkan dari cabang ilmu tersebut. Demikian puisi lahir dari dunia sunyi penyair. Ia yang menyikapi realitas melalui permenungan mendalam, sebagaimana manusia berfilsafat.

Sebelum mengulas lebih jauh ada baiknya saya lampirkan puisi Gufak. Berikut puisinya:

Manusia-Manusia Patung
 
/1/
Beberapa malam terakhir
entah oleh sebab apa ia terbangun, melihat
sosok-sosok yang telah menjadi patung
saling kunjung

oh, itu bukan patung-patung
mereka manusia
atau yang sesekali waktu
pernah menjadi manusia

seperti dirinya?
Ia bertanya entah tentang siapa.

/2/
Ia telah membeli kaca mata untuk berjaga-jaga
bila terbangun lagi malam ini
ia akan mampu membedakan patung-patung
dari manusia,
dari dirinya

tapi ia tak melihat (si)apa-(si)apa
hanya suara-suara berkisah tentang kemarau panjang
yang membakar ladang-ladang jagung
seperti kabar kematian yang dekat meski tetap asing

/3/
Aku bosan menjadi patung, ia mendengar sebuah suara
Oh, aku sudah lelah menjadi manusia,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun