Lalu kisah-kisah mengalir lewat sepasang mulut yang
bertukar suara
Malam basah, rupanya di luar sedang gerimis
dia takut pada gelap, juga lelap
dibiarkan telinganya terbuka,
menangkap suara-suara
/4/
Jadi apakah patung ini harus dirobohkan juga?
Ya. Kasihan. Ini patung paling indah di kota kering ini.
Ia mendengar mesin-mesin bekerja
5/
Tubuhnya rubuh, hancur berkeping-keping
Oh, aku hanya sebuah patung!
Ia berseru, entah kepada (si)apa.
Kupang, 17-19
Â
Agar dapat memaknai Manusia-manusia Patung sebagai teks sastra yang utuh, pembaca diharuskan masuk ke dalam puisi itu sendiri. Tetapi dengan catatan bahwa pembaca "melupakan posisi penyair" dan menjadi "aktor" di dalam puisi tersebut. Artinya sebelum membuka kemungkinan bagi interpretasi-interpretasi lain, terlebih dahulu memposisikan diri sebagai sosok yang dicitrakan dalam puisi.
Meminjam istilah Afrizal Malna (Sastrawan Indonesia), pembaca hendaknya "melakukan pembacaan terhadap puisi dengan cara masuk dan keluar lagi dari puisi yang dibaca". Selain itu bisa menerapkan teknik pembacaan klasik dua dinding internal-eksternal.
Bayangkanlah bahwa di dalam puisi tersebut, Anda (aku/ pembaca) adalah sumber, sense dan intention bagi citraan Gufak. Tetapi jangan sampai terjebak dengan posisi penyair, karena saat puisi sampai di hadapan pembaca penyair seolah "mati".
Sesungguhnya pembaca adalah sosok yang mengalami dan merasakan kegelisahan-kegelisahan dalam puisi tersebut. Setelahnya pembaca kembali mengambil posisi sebagai "pengamat" yang melihat dirinya sendiri dan membuka peluang bagi kompleksitas interpretasi.
Gufak membuka puisinya dengan usaha memahami kegelisahan "sosok-sosok lain" (the second other) setelah memahami diri sebagai "aku yang lain" (the other). Artinya dalam posisinya sebagai kreator, penyair menyadari dan turut merasakan kegelisahan yang dialami sosok tersebut. Kegelisahan macam mana?