Mohon tunggu...
Herman Efriyanto Tanouf
Herman Efriyanto Tanouf Mohon Tunggu... Penulis - Menulis puisi, esai, artikel lepas

Founder dan Koordinator Komunitas LEKO Kupang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenang "Si Burung Merak"

29 Januari 2019   22:48 Diperbarui: 29 Januari 2019   23:24 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia memang ditakdirkan untuk meninggal pada suatu waktu, tetapi tidak akan pernah mati jika ada karya yang ditinggalkan. Demikian hidup bertumbuh di atas kematian. Namun kematian selalu menyisakan kenang. Adanya kematian oleh sebab adanya kehidupan. Sebagaimana awal mula manusia diciptakan dari debu tanah dan akan kembali menjadi debu.

Tulisan ringan dan singkat ini, didedikasikan kepada Si Burung Merak. Melalui tulisan ini pula, saya mengapresiasi setiap mereka yang masih sempat mengenang walau sebatas doa di hati, di puisi, di panggung dan di wujud-wujud apresiasi lainnya.

Tentang Si Burung Merak, tentunya masih hangat dalam benak kita akan Budayawan, Seniman, Sastrawan legendaris yang membongkar eksklusifnya dunia sastra. Ialah Willibrordus Surendra Broto Rendra (W.S. Rendra), almarhum. Rendra lahir di Solo pada tanggal 07 November 1935 dan meninggal dunia pada tanggal 06 Agustus 2009 dalam usia 73 tahun.

Foto: sastranews.wordpress.com
Foto: sastranews.wordpress.com
Karya-karya Rendra berupa puisi, cerpen, esai sastra, skenario drama dan juga mendirikan Bengkel Teater. Beberapa karya yang pernah digelar adalah Oedipus the King, Antigone, Lysistrata, dan lain-lain. Semua disajikan dalam ramu yang berakar pada Bertold Brecht (Penyair dan penulis naskah drama asal Jerman). Brecht adalah salah satu tokoh yang menentang kekuasaan Nazi, terutama ideologinya.

Sebagaimana Brecht, Rendra pun melakukan gerakan yang sama dengan menyajikan masalah-masalah sosial dan politik (melawan kesewenang-wenangan pemerintah Orde Baru). Itu sebabnya, Rendra dalam beberapa karyanya, seperti Perjuangan Suku Naga, Panembahan Reso mendapat tekanan dari pemerintah karena dianggap melawan.

Si Burung Merak sendiri adalah julukan yang diberikan oleh seorang sahabatnya  asal Australia ketika Rendra mengajaknya jalan-jalan ke Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Di tengah khusyuk mengamati binatang-binatang yang dikandangkan, tibalah mereka di kandang burung merak. Saat itu ada tiga merak jantan mengembangkan ekornya. Ada keindahan yang ditawarkan dan mereka benar-benar menikmatinya.

"Itu (burung merak) saya!" kata Rendra kepada sobatnya yang menanyakan (dalam nada canda) alasan diajak ke sana. Seketika sobatnya mengiyakan sekaligus merestui kalau "keindahan" dari burung merak sangat cocok untuk Rendra. Sejak saat itu (sekitar tahun 1968), Si Burung Merak disematkan dan menyebar dimana-mana, terutama bagi para pegiat dan penikmat sastra.

Geliatnya dalam dunia seni khususnya sastra telah membawa suatu perubahan besar dalam khazanah sastra Indonesia dan tentunya dunia. Sebab dalam beberapa periode tertentu bahkan hingga saat ini, sebagian orang masih menjadikan sastra sebagai dunia yang terlampau eksklusif.

Ada asumsi bahwa dunia sastra hanya dihuni oleh orang-orang sastra (para pegiat). Hal ini pun yang menjadi sumber kegelisahan bagi Mario Vergas LIora (Novelis dan Politikus asal Peru, Peraih Nobel Sastra tahun 2010).

Mario menandaskan bahwa dewasa ini sastra dibutuhkan hanya sebagai produk konsumsi, hiburan semata-mata, dan sumber informasi yang cepat basi. Menjawabi kegelisahan Mario Vergas, jauh sebelum itu W.S. Rendra adalah salah satu tokoh yang mengembalikan sastra ke dunianya.

Foto: 1001 Indonesia.net
Foto: 1001 Indonesia.net
Ia kembali mendekatkan sastra kepada masyarakat. Sebagai contoh, tampilan puisinya berbeda dengan puisi-puisi konvensional yang cenderung kaku dan sulit dipahami oleh sebagian besar masyarakat. Tanpa harus berkerut kening, sedikitnya pembaca sudah bisa memaknai image yang hendak disampaikan.

Kecenderungan Rendra menulis puisi naratif dan panjang menggambarkan "perlawanan" dalam berbagai wujud. Selain itu, puisi-puisinya memang lahir sebagai suara rakyat. Rendra dalam sebagian besar karyanya menjadikan situasi rakyat sebagai image yang paling intim.

Melalui motivasi dan intensi di dalam karya-karyanya, hemat saya Rendra adalah sosok penyelamat dan "sempurna" (dalam ide). Entah kebetulan atau tidak, kelahirannya di tanggal 7 menyisakan makna yang mendalam. Semua kita tentu tahu, bahwa angka 7 dalam berbagai mitos ataupun ajaran-ajaran agama merujuk pada keberuntungan, kesempurnaan, keselamatan, dan lain sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun