Setiap tahun umat katolik selalu disuguhi bacaan Injil dari Luk 15:1-32, tentang dua anak yang satu tinggal di rumah bapaknya, yang tetap merasa miskin. Salah satunya memilih meninggalkan ayahnya dan baru sadar ternyata hidup terpisah dari sang ayah, untuk makan makanan babi pun tidak diperolehnya. Kisah ini sangat mengesankan mereka yang merenungkannya: Hidup di luar Allah sengsara, hidup bersama Allah berkelimpahan.Â
Alkisah, si anak bungsu secara kurang ajar meminta bagian harta warisannya walau orangtuanya masih hidup, kemudian pergi berfoya-foya hingga habis dan menderita hingga berbagi makanan babi yang dijaganya pun tak diijinkan. Pengalaman mengenaskan ini menyadarkannya: betapa di rumah ayahnya, orang upahanpun diperlakukan sebagai manusia yang pantas.Â
Pilihannya meninggalkan rumah mendatangkan sengsara yang mengenaskan dan merendahkan nilai dirinya di bawah kelas babi. Ia memutuskan untuk pulang ke rumah, bukan untuk mengklaim kembali martabatnya sebagai anak, tetapi cukup menjadi budak sang ayah.Â
Tetapi ayahnya justeru menyambutnya dan memulihkan martabatnya dengan memberi pakaian dan perhiasan, serta membuatkan pesta bergelimang makanan terbaik di rumahnya. Â Ayahnya merindukannya siang dan malam menunggunya di depan rumah. Ia terus-menerus memandang ke jalan entah kapan anaknya kembali. Itulah representasi Allah Maharahim yang selalu setia menunggu dalam penderitaan ketika kita memutuskan pergi dariNya.
Kejadian berbeda dengan si anak sulung, yang menghabiskan hidupnya mengabdi dan tinggal bersama ayahnya. Ia merasa tak memiliki apa-apa dan tak mendapatkan apapun selama hidup. Maka naik pitamlah dia melihat adik durhakanya, yang telah berfoya-foya menghabiskanwarisannya, pulang disambut pesta meriah. Dia tidak menyadari bahwa semua yang dimiliki ayahnya adalah miliknya juga. Jika dia sadar, tak pantaslah dia menghitung lembu seekor karena dia memiliki semua ternak yang dimiliki ayahnya. Tetapi hidup bergelimang berkat tak membuatnya bersyukur tetapi justeru menganggapnya sebagai satu kewajaran hidup.
Kedua tokoh ceritera ini menggambarkan dinamika hidup manusia. Kita sering hidup bergelimang berkat bersama Allah tetapi merasa bahwa semuanya bukan apa-apa. Dan kita berkhayal bahwa hidup di luar Allah lebih wah dan membahagiakan. Itulah mengapa Adam dan Hawa memilih mengikuti hasutan setan dan pergi dari Taman Allah, Eden.
Anak bungsu mewakili mereka mengambil keputusan untuk mengikuti tawaran setan lain untuk menikmati hidup di luar Allah. Ia pergi membawa serta segala berkat hidup yang telah didapatkannya. Yang terjadi adalah berkat-berkat itu sirna satu per satu sampai mencampakkan dirinya pada titik lebih hina dari babi. Hidup di luar Allah membuat kita lebih rendah dari binatang yang paling rendah sekalipun.
Anak sulung adalah representasi mereka yang tak berani pergi walau tak merasakan kebahagiaan bersama Allah. Inilah tipe manusia yang  menjalani hidup secara supervisial sehingga tak mampu menyadari betapa berlimpahnya dia bersama Allah. Hidup tak lebih dari siklus derita (Menangis waktu lahir, menangis selama hidup, menangis saat ajal). Hidup, bagi mereka, adalah kutukan yang melahirkan mentalitas Kain: susah melihat orang senang dan senang melihat orang susah.
Kegagalan menyadari realitas kelimpahan bersama Allah menjadikan kita laksana tikus mati di lumbung padi. Pengalaman berbenturan dengan masalah mengajari kita untuk memverifikasi hidup: apakah hidup bersama Allah lebih baik daripada hidup di luar Allah atau sebaliknya.Â
Paradoksnya, kalau Allah itu mahabaik, mengapa Dia membiarkan kita meninggalkan Dia untuk sengsara? Atau mengapa Allah membiarkan kita tidak melihat berkat yang disediakanNya kepada kita? Bukankah gampang tinggal buka lebar-lebar mata hati kita? Â Allah tak mau memerdekakan kita dari penderitaan atau setan, hanya untuk membelenggu kita dengan cinta-Nya. Â Ada lagu yang mengatakan bahwa burung pun tak pernah senang hidup dalam sangkar walaupun terbuat dari emas. Cinta yang dipaksakan senikmat apapun tetap berujung penderitaan.
Itulah mengapa Allah menganugerahkan kehendak bebas kepada kita agar tinggal bersamaNya adalah suatu pilihan bebas penuh kesadaran. Pengalaman  hidup dengan Allah harus menuntun kita menyimpulkan bahwa memilih bergantung kepada Allah adalah pilihan yang paling masuk akal dan menguntungkan. Petrus menyadari itu dengan baik, sehingga ketika ribuan orang meninggalkan Allah saat ditantang Yesus untuk ikut pergi, ia menjawab, "Tuhan, kepada siapa kami akan pergi?"
Benturan hidup ketika  mengambil jarak dari Allah jika disadari akan menuntun pada kesimpulan: masih lebih baik di rumah Allah. Hidup di luar Allah memakan makanan babi pun tak dipantaskan. Karena itu, keputusan untuk kembali kepada Allah adalah keputusan yang paling tepat dan bijaksana, paling rasional. Siapa yang mau menderita di luar sana?Â
Kita dapat memaklumi mengapa anak sulung mencak-mencak. Ia belum pernah tinggal terpisah dari Allah. Ia belum pernah tahu betapa menderitanya tidak bersama Allah. Ketika kita telah mengalami di luar Allah adalah derita, kita akan mensyukuri apapun yang kita dapatkan dalam hidup, sepahit apapun itu. Karena di luar Allah jauh lebih menggetirkan lagi.
Kehendak bebas untuk memilih bersama atau terpisah dari Allah adalah metode yang disiapkan Allah kepada manusia untuk melakukan verifikasi pengalaman hidupnya. Setiap mereka yang pernah jauh dariNya akan menyadari bahwa tak ada yang lebih baik daripada tinggal di rumah Allah. Karena Dialah kerinduan terdalam setiap hati kita. Allah adalah jawaban dari semua pencarian kita: Bahagia!Â
Tak ada kebahagiaan sejati dan paripurna di luar Allah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H