Bertahun-tahun kota Kupang terus gagal mengatur drainase dan menyediakan air bersih buat warganya. Setiap kali musim hujan air di kota ini semakin bingung mencari jalan menuju elevasi yang lebih rendah. Lihat saja di bundaran Tirosa, setiap kali hujan pasti ada genangan air yang menunggu waktu menguap atau kering dihempas roda-roda kendaraan. Pemerintahan kota yang mengusung program Smart City saat kampanye seakan tak berdaya mengikuti kehendak aliran air permukaan kota ini.
Keadaan menjadi sangat kontras ketika Bundaran Tirosa disempurnakan dengan  rekayasa air mancur termahal dalam sejarah Provinsi NTT. Tepat di ulang tahun NTT ke-62 Air Mancur Menari ini diresmikan Wagub NTT, Josef Nai Soi. Tayangan Youtube menunjukkan betapa indahnya air mancur itu; seakan mengejek air permukaan hujan Desember yang bingung bodoh ke mana harus bergerak.
Jika anda bergerak sedikit ke arah TDM, Pemkot telah menggali saluran yang sampai opini ini ditulis tenggelam karena air bingung mau mengalir ke arah mana. Situasi seperti ini tidak hanya di dataran tinggi Kota Kupang. Di dataran rendah seperti Oesapa pun air tetap kebingungan menemukan jalan menuju ke laut.
Kondisinya diperburuk dengan program taman kota yang menutup sebagian besar area peresapan di antara jalan dua jalur, munkin karena para perencana tidak mempertimbangkan kondisi topografi dan karakteristik litologi setempat. Bukti kasat mata dapat disaksikan di Bundaran Oebobo setelah traffick light: air yang biasanya meresap ke bawah kini meluber ke jalan membawa lumpur hasil erosi tumpukan tanah untuk taman kota.
Jelas terlihat kerja tanpa rencana; karena selain tidak mempertimbangkan karakteristik drainase batugamping, juga tidak mempertimbangkan waktu yang tepat untuk membangun. Patut dicurigai tidak ada kajian dampak lingkungan fisik dan sosial dari program pemerintah macam ini.
Kehadiran ikon Air Mancur Menari ini juga sebuah tamparan keras ke wajah pemerintah sendiri. Mengapa demikian? Sampai hari ini pemerintah kota tidak mampu menyediakan air bersih bagi warga kota. Kehadiran air mancur super mahal untuk ukuran NTT ini bagi Kota Kupang, laksana perempuan berdandan pakaian bermerek dan  emas berlian tetapi beralas kaki sandal jepit berdebu.
Kecantikan dan keindahan kota tak harus mahal dan gemerlap, tetapi selaras dengan tingkat kesejahteraan kota. Bukan pakaian dan perhiasan mahal yang menentukan kecantikan seseorang, tetapi keserasian antara apa yang dikenakan dan kepribadian yang muncul dari inner beauty-nyalah sumber kecantikan seseorang. Kotapun seharusnya tak berbeda: bukan soal lampu jalan yang diganti setiap tahun. Atau soal air mancur miliaran rupiah yang akan terus ditambah. Tetapi bagaimana mensejahterakan rakyat dengan menyediakan infrastruktur dasar secara memadai.
Air adalah prasyarat peradaban karena itulah mengapa sebagian besar pemukiman di kota ini berpusat pada sumber air. Sebut saja Air Nona, Oepura, Oesapa dan sebagainya mengambil nama air (oe) sebagai penanda bahwa air adalah syarat kunci peradaban. Gagal menyediakan prasyarat dasar peradaban kota, gagal pula menyiapkan landasan menuju kesejahteraan kota.
Tak ada yang salah dengan usaha mempercantik kota dengan lampu jalan dan air mancur bernilai mahal. Tetapi kebijakan yang tidak mampu menentukan prioritas adalah kebijakan yang mencederai prinsip kepemimpinan dan manajerial: menentukan tujuan yang benar dan mencapai tujuan dengan benar. Setiap pemimpin memiliki tugas menentukan apa yang harus dilakukan (skala prioritas) dan memastikan segala sesuatu dilakukan secara efisien.
Mengutamakan Air Mancur Menari daripada mengatasi krisis air bersih dan drainase yang menyelamatkan infrastruktur dan air permukaan (surface run off) adalah bentuk kegagalan dalam menentukan skala prioritas. Membiarkan lumpur dan air mengaliri jalan raya karena tidak ada peresapan dan drainase atau peresapan dan drainase tidak berfungsi sebagaimana dibutuhkan adalah bentuk kegagalan tatakelola pembangunan.
Ketika air bodoh di kota pintar, kita perlu berefleksi apa yang salah dengan air ini. Air selalu berusaha mencari jalan menuju elevasi rendah alias tergantung kepada gravitasi. Ketika air tergenang di seputaran Bundaran Tirosa seperti  jamak di tempat lain di Kota Kupang, artinya warga kota bersama pemimpinnya telah membuat bodoh air atau mengkhianati hukum alam. Setiap hukum alam yang dikhianati selalu menjadi senjata makan tuan. Jagalah alam agar alam menjaga kita.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!