Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... Administrasi - Pedagang tempe di Pasar Depok

berminat dengan tulis menulis

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Membaca Surat Cinta Bioskop XXI untuk Produser Film

1 Desember 2018   15:51 Diperbarui: 3 Desember 2018   19:08 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada tanggal 29 Oktober 2018 lalu PT. Nusantara Sejahtera Raya,  pengelola jaringan bioskop 21/XXI, mengirim "surat cinta" kepada produser dengan tembusan tiga organisasi produser film di Indonesia, yakni APFI (Asosiasi Produser Film Indonesia) PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia) dan APROFI (Asosiasi Produser Film Indonesia).

Surat tersebut berisi himbauan kepada produser film, agar menjaga momentum pertumbuhan film Indonesia, dengan memperhatikan keragaman genre film yang diproduksi.

Isi surat tersebut cukup mencengangkan karena, baru kali ini pihak bioskop peduli terhadap genre film yang dibuat oleh produser film di Indonesia. Padahal buat bioskop, yang penting film disukai penonton dan tiket ludes terjual.

Sekilas dapat dilihat betapa mulianya pemikiran pihak bioskop, sehingga perlu memberi himbauan kepada produser film agar memperhatikan keragaman genre film yang akan diproduksi.

Pemerintah sendiri -- dalam hal ini Pusbang Film Kementerian Pendidikan yang selama ini menempatkan diri sebagai pembina perfilman -- tidak pernah meributkan soal genre film yang ada di Indonesia. 

Dalam dua tahun terakhir ini, film bergenre horor memang menguasai layar bioskop di Indonesia. Ada yang sukses, dan banyak pula yang gagal.

Film horor masih dipercaya sebagai pembawa rejeki, sehingga roduksi film horor terus berlangsung hingga hari ini. Dipastikan setiap minggu tak ada layar bioskop yang tak memutar film horor. Dari 100 judul lebih produksi film Indonesia, 70 persen di antaranya bergenre horor.

Memproduksi film horor kabarnya tidak terlalu sulit atau membutuhkan biaya besar. Pemainnya sedikit, lokasi atau set-setnya terbatas, tidak memerlukan penata kostum khusus yang berbiaya mahal, atau effect-effect yang rumit, sehingga biayanya bisa ditekan sangat murah. Di Indonesia banyak yang bisa membuat film horor dengan bujet Rp.600 juta hingga Rp.1 milyar.

Masuknya sutradara ternama seperti Joko Anwar yang berhasil membuat Pengabdi Setan menjadi film terlaris tahun 2017, harus diakui telah membuat film horor Indonesia naik kelas. Keberhasilan itu membuat banyak produser dan sutradara tidak malu-malu lagi untuk masuk ke dalam film horor.

Anggapan "film horor disukai penonton" seperti menjadi pegangan oleh banyak pembuat film, sehingga penyakit latah yang sudah demikian akut di masyarakat, menghinggapi orang-orang film juga. Sikap latah itu pada gilirannya menjadi kontraproduktif, karena jumlah produksi film horor melambung!

Karena begitu banyak film yang masuk ke bioskop, penonton akhirnya harus selektif. Sebab tidak mungkin juga harus menonton semua film. Maka dipilihlah film-film yang menurut penonton baik dalam penggarapan, dibintangi oleh artis-artis kelas satu dan ceritanya menarik.

Sedangkan film-film yang dianggap biasa-biasa saja, ditinggalkan. Bisa jadi penonton telah jenuh, walau pun masih banyak film bergenre horor yang antri masuk bioskop.

Pihak 21/XXI yang memiliki data penonton, merasa perlu mengingatkan bahwa jika tren pembuatan film horor tidak direm, maka "kiamat sudah dekat" bagi perfilman nasional.

Namun kenyataan berkata lain. Seperti ingin memecut pembuat surat, sebulan setelah surat itu muncul, film Suzanna Bernapas Dalam Kubur, meledak. Sampai dengan akhir November 2018, jumlah penonton film ini sudah mencapai hampir 3 juta orang. Film ini dipastikan bakal jadi film kedua  terlaris tahun 2018 setelah Dilan 1990.

Dari judulnya saja kita tahu termasuk genre apa film itu. Jadi surat dari pengelola bioskop 21/XXI itu terasa ironis. Apakah dengan keberhasilan Suzanna itu pihak 21/XXI masih akan bicara keragaman genre?

Bagi produser, isi surat itu tidak bisa dianggap main-main. Jika masih memaksakan membuat film dengan biaya rendah, yang berakibat pada kualitas film yang dihasilkan, siap-siap saja film yang dibuatnya hanya akan mengisi gudang.

Jangan juga dibaca isi surat ini mengandung semangat untuk memperbaiki mutu film nasional melalui keragaman genre. Bagi bioskop tak ada urusan dengan film bermutu. Yang penting film diminati penonton, hasil penjualan tiket lumayan. Bisa jadi munculnya surat ini karena begitu banyak film horor yang gagal karena dibuat seadanya, sehingga tidak menghasilkan penonton memuaskan.

Sukses genre horor

Di Indonesia sendiri produksi film horor memiliki sejarah yang panjang, dan terus berlangsung hingga hari ini. Dipastikan setiap minggu tak ada layar bioskop yang tak memutar film horor. Dari 100 judul lebih produksi film Indonesia, 70 persen di antaranya bergenre horor.

Genre horor merupakan jenis film yang disukai oleh penonton film Indonesia.

Tahun 2018, 8 dari 15 film yang tergolong sukses bergenre horor. Ke-8 film tersebut adalah: 1. Danur 2 (Maddah / 2.572.133), 2. Asih (1.174.798), 3. Jailangkung 2: (1.498.635), 4. Sabrina (1.337.510), 5. Kuntilanak (1.236.000), 6. Sebelum Iblis Menjemput (1.122.187), 7. Rasuk (900.019), dan 8. Suzanna Bernapas Dalam Kubur (2.7 juta). Hasil yang dicapai Suzanna Bernapas Dalam Kubur diperkirakan akan terus melonjak, karena film itu baru masuk ke bioskop tanggal 15 November 2018.

Di tahun 2017, 5 dari 10 film laris bergenre horor. Kelima film tersebut adalah: 1. Pengabdi Setan (4,2 juta penonton), 2. Danur: I Can See Ghost (2,7 juta), 3. Jailangkung (2,5 juta), 4. The Doll (1,2 juta) dan 5. Mata Batin (1,13 juta).

Sebenarnya bukan baru-baru ini saja film bergenre horor berjaya. Bangkitnya kembali film nasional setelah sekian lama mati suri, juga atas andil film horor berjudul Jailangkung,tahun 2001, karya bersama sutradara Rizal Mathovani dan Jose Purnomo yang meraih 1,3 juta penonton. Keduanya kembali berduet untuk membuat ulang (remake) film tersebut tahun 2017 dengan judul yang sama, dan sukses!

Setelah ditelusuri lagi, masih ada film-film horor yang masuk daftar box office film Indonesia sepanjang masa. Film-film tersebut antara lain Tali Pocong Perawan, 2008 (1.082.081 penonton), Air Terjun Pengantin (1.060.058), Terowongan Casablanca, 2007 (949.878), dan Setan Budeg, 2009 (871.062).

Film Artistik

Sementara, film-film yang lebih artistik, digarap dengan serius -- bergizi sebagai tontonan dan layak masuk festival -- mulai berkurang jumlahnya. Kalau pun ada yang membuat, hasilnya kurang menggembirakan.

Lihat saja film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta yang diproduksi dengan biaya Rp.40 milyar, ditangani oleh sutradara Indonesia terbaik, Hanung Bramantyo, hanya dilihat oleh kurang dari 50 ribu penonton. Uang yang dihasilkan dari penjualan tiket film tersebut, tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.

Tak kalah menyedihkan nasib film eksyen Buffalo Boys karya sutradara Mike Wiluan yang melibatkan aktor-aktor kelas wahid Indonesia. Film yang digembar-gemborkan sekelas film Hollywood, dan dibuat dengan biaya mahal itu hanya memperoleh kurang dari 100 ribu penonton di Indonesia.

Meskipun dalam catatan terakhir membukukan 1.552.014 penonton, film Wiro Sableng 212 yang merupakan sebuah film joint production antara Lifelike Pictures (Indonesia) dengan perusahaan film terkenal Amerika Serikat, Fox International Production, hasil yang dicapai film tersebut masih di bawah ekspektasi, dan belum menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan hingga film itu beredar di bioskop.

Berbagai kegagalan itu yang membuat produser berpikir panjang untuk membuat film-film serius. Secara bisnis, film bercitarasa artistik kurang menguntungkan dibandingkan membuat film horor. Entah kenapa penonton sendiri seperti sudah terbentuk seleranya. 

Masih sulit mengembalikan selera penonton untuk menggemari film-film bercitarasa tinggi. Entah kenapa penonton film Indonesia yang rata-rata berusia muda, suka ditakut-takuti dengan cerita horor. Akibatnya banyak pembuat film serius yang jadi martir. 

Oleh karena itu, untuk melahirkan keragaman genre film Indonesia seperti yang diinginkan jaringan bioskop XXI, dibutuhkan lebih banyak martir, sampai selera penonton film Indonesia kembali ke "jalan yang benar". 

Namun kecil kemungkinan himbauan itu dituruti. Bisa jadi, daripada jadi martir, banyak produser berhibernasi. Jika itu terjadi, sudah pasti produksi film nasional akan merosot, dan layar yang ada kembali akan diisi film impor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun