Sebenarnya bukan baru-baru ini saja film bergenre horor berjaya. Bangkitnya kembali film nasional setelah sekian lama mati suri, juga atas andil film horor berjudul Jailangkung,tahun 2001, karya bersama sutradara Rizal Mathovani dan Jose Purnomo yang meraih 1,3 juta penonton. Keduanya kembali berduet untuk membuat ulang (remake) film tersebut tahun 2017 dengan judul yang sama, dan sukses!
Setelah ditelusuri lagi, masih ada film-film horor yang masuk daftar box office film Indonesia sepanjang masa. Film-film tersebut antara lain Tali Pocong Perawan, 2008 (1.082.081 penonton), Air Terjun Pengantin (1.060.058), Terowongan Casablanca, 2007 (949.878), dan Setan Budeg, 2009 (871.062).
Film Artistik
Sementara, film-film yang lebih artistik, digarap dengan serius -- bergizi sebagai tontonan dan layak masuk festival -- mulai berkurang jumlahnya. Kalau pun ada yang membuat, hasilnya kurang menggembirakan.
Lihat saja film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta yang diproduksi dengan biaya Rp.40 milyar, ditangani oleh sutradara Indonesia terbaik, Hanung Bramantyo, hanya dilihat oleh kurang dari 50 ribu penonton. Uang yang dihasilkan dari penjualan tiket film tersebut, tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.
Tak kalah menyedihkan nasib film eksyen Buffalo Boys karya sutradara Mike Wiluan yang melibatkan aktor-aktor kelas wahid Indonesia. Film yang digembar-gemborkan sekelas film Hollywood, dan dibuat dengan biaya mahal itu hanya memperoleh kurang dari 100 ribu penonton di Indonesia.
Meskipun dalam catatan terakhir membukukan 1.552.014 penonton, film Wiro Sableng 212 yang merupakan sebuah film joint production antara Lifelike Pictures (Indonesia) dengan perusahaan film terkenal Amerika Serikat, Fox International Production, hasil yang dicapai film tersebut masih di bawah ekspektasi, dan belum menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan hingga film itu beredar di bioskop.
Berbagai kegagalan itu yang membuat produser berpikir panjang untuk membuat film-film serius. Secara bisnis, film bercitarasa artistik kurang menguntungkan dibandingkan membuat film horor. Entah kenapa penonton sendiri seperti sudah terbentuk seleranya.Â
Masih sulit mengembalikan selera penonton untuk menggemari film-film bercitarasa tinggi. Entah kenapa penonton film Indonesia yang rata-rata berusia muda, suka ditakut-takuti dengan cerita horor. Akibatnya banyak pembuat film serius yang jadi martir.Â
Oleh karena itu, untuk melahirkan keragaman genre film Indonesia seperti yang diinginkan jaringan bioskop XXI, dibutuhkan lebih banyak martir, sampai selera penonton film Indonesia kembali ke "jalan yang benar".Â
Namun kecil kemungkinan himbauan itu dituruti. Bisa jadi, daripada jadi martir, banyak produser berhibernasi. Jika itu terjadi, sudah pasti produksi film nasional akan merosot, dan layar yang ada kembali akan diisi film impor.